Siang itu, Andra sedang disibukkan dengan pekerjaan dan tugas-tugasnya di kantor. Raut wajahnya yang kusut sudah cukup menjadi bukti betapa lelahnya pria itu.
Kedua mata Andra tertuju tepat ke layar laptop, mimik wajahnya begitu serius mengamati grafik penjualan produksi yang tertera di sana. Sesekali lelaki itu menghela napas panjang sambil mengusap wajah yang tampak kusut.
Fokusnya tiba-tiba terganggu ketika ponsel miliknya yang tergeletak di atas meja berdering. Kontak bernama 'Papa' tertera di sana. Tangan Andra segera terulur untuk meraih benda elektronik tersebut.
"Halo, Pa?"
"Halo, Andra."
Andra menyandarkan punggung di kursi kerjanya, "Ada apa, Pa?" tanyanya dengan nada suara dibuat sebaik mungkin.
"Papa cuma mau mengabari, malam ini ada pesta pernikahan anak teman papa. Om Adrian, menikahkan anak pertamanya. Papa diundang, tapi papa tidak bisa datang. Kebetulan juga, tetangga kita mengadakan pernikahan juga. Papa nggak enak kalau nggak datang. Jadi, papa mau kamu yang datang ke acara pernikahan anaknya Om Adrian, untuk menggantikan papa. Di sana juga banyak teman-teman kamu yang datang, bukannya kamu dan anaknya Om Adrian dulu satu kampus saat kuliah?"
Andra tersenyum kecil, "Papa ingat aja. Ya, kebetulan anak Om Adrian memang teman kampus aku dulu," jawabnya.
"Ya sudah, papa serahkan sama kamu ya. Pergi ke sana jangan lupa ajak Andine."
Kedua mata Andra seketika membelalak. Jadi, dirinya harus pergi bersama Andine? Ah, iya juga, mana mungkin ia pergi sendiri sementara sudah memiliki istri. Andra mengusap wajahnya yang semakin kusut tersebut.
"Bisa 'kan, Ndra?" Lelaki di seberang telepon itu kembali memastikan sebab sang putra tak kunjung merespon antara iya atau tidak.
"I-iya, Pa." Akhirnya pria berkemeja coklat itu menyahut.
"Ya sudah, papa tutup teleponnya." Obrolan pun seketika terhenti, dan Andra kembali menyimpan benda pipih tersebut di atas meja kerjanya.
"Duh ... aku lupa kalau udah punya istri, jelas Andine harus ikutlah!" Andra menggerutu sambil menggaruk kepalanya dengan penuh frustasi.
Jadilah sepulang kerja Andra segera mengabari istrinya, pria itu pulang lebih awal sekitar jam lima. Ia melihat sosok Andine sedang duduk bersantai di ruang keluarga sambil menyalakan televisi, ia duduk di sofa dengan tatapan mengarah ke layar besar tersebut, sedangkan di pangkuannya terdapat cemilan berupa keripik kentang.
Andra menghampiri Andine dan berdiri tak jauh dari wanita itu duduk.
"Enak ya, sore-sore nyantai," sindir Andra dengan wajah datar tanpa ekspresi.
Andine sontak menoleh ke sumber suara, mulutnya yang sedang mengunyah lantas berhenti bersamaan dengan kedua mata membulat kaget. Gadis itu kemudian menunduk menghindari tajamnya tatapan sang suami.
Andra melipat kedua tangan di depan dada, sedangkan Andine berdehem kecil kemudian menjawab, "Bukannya bagus, Mas? Jam segini aku udah di rumah, nggak pulang terlambat lagi. Bukannya itu yang kamu mau?"
Kalimat yang dilontarkan Andine langsung membuat Andra salah tingkah, "I-iya, memang," gumamnya dengan suara lirih.
Andine menatap suaminya dengan tatapan yang sulit dimengerti, pria itu menggaruk bagian belakang kepalanya seperti salah tingkah sendiri. Aneh memang, ada apa dengannya?
Andra berdehem kecil, "Aku cuma mau ngasih tahu, malam ini kita akan pergi ke acara pernikahan teman papa. Kebetulan papa nggak bisa datang jadi kita yang menggantikan. Siap-siaplah dari sekarang, kita berangkat jam tujuh," jelas pria itu kemudian, sambil sedikit mengangkat kepala Andra bicara, bermaksud agar terlihat sedikit angkuh kala bicara. Padahal hanya agar tak terlihat malu yang sebelumnya.
Bukannya mengangguk mengerti dan mengiyakan perkataan sang suami, dahi Andine justru berkerut membuat keningnya berlipat. Ia kemudian melirik ke arah jam dinding dan melihat bahwa jarum pendeknya masih tertuju di angka lima.
"Mas, tapi ini masih jam lima. Masa udah disuruh siap-siap? Aku capek baru sampe rumah, baru juga istirahat sambil nonton TV di sini," protesnya.
Andra menatap sang istri dengan tatapan tajam menghujam, "Perempuan itu kalau dandan lama, bisa hampir tiga jam. Makanya aku suruh siap-siap dari sekarang! Jangan sampe nanti aku nungguin kamu karena belum selesai siap-siap," jelas Andra kemudian.
Andine tersenyum miring, ia tak habis pikir dengan pemikiran lelaki yang ia sebut sebagai suami tersebut.
"Memangnya semua perempuan kaya gitu? Mas pikir, aku kalau dandan sampe hampir tiga jam gitu? Ya ampun." Wanita berhidung mancung itu menggelengkan kepalanya tak mengerti.
"Ya, terserahlah! Yang penting jam tujuh pas kita harus berangkat," putus Andra kemudian, ia pun bergegas melangkahkan kaki meninggalkan wanita itu seorang diri.
Andine menatap punggung sang suami yang semakin menjauh dari pandangannya, bibirnya sedikit terbuka dengan tatapan tak berkedip begitu mengamati sosok Andra yang sudah semakin jauh dari jarak pandang.
Pria itu ... memang tidak bisa ditebak. Tingkahnya aneh, dan terkadang membuat Andine jadi bingung sendiri.
Selarik senyum tipis tercipta di bibir Andine, entah mengapa saat bicara dengan suaminya seperti ada sesuatu yang berbeda. Andine merasa bahwa sebenarnya lelaki itu tak semenakutkan yang ada di pikirannya. Mungkin ini permulaannya di mana ia masih bisa meneruskan rencana.
Andra mungkin memang tidak bisa menerima pernikahan ini, Andra mungkin belum bisa menerima Andine sebagai istrinya. Namun, Andine mungkin bisa bernegoisasi dengan lelaki itu. Dengan tidak buru-buru membahas soal hubungan percintaan mereka, Andine mungkin bisa perlahan-lahan mendekati suaminya dengan dalih mengajak berteman.
Ya, teman. Jika mereka tidak bisa menjadi pasangan suami istri sungguhan layaknya pasangan yang lain, maka mereka berdua bisa menjalin hubungan layaknya teman. Kenapa tidak?
Andine tersenyum miris, "Apa mungkin? Apa aku bisa sabar menghadapi sikap Mas Andra yang terkadang suka emosi tak terkendali, dan suka berkata ketus menyakiti hati." Wanita itu bergumam sendiri dengan berbagai kemungkinan yang bersarang di kepalanya.
Sejurus kemudian selarik senyum tipis terukir, "Tapi, apa salahnya mencoba? Siapa tahu semakin hari waktu berjalan, Mas Andra bisa perlahan membuka hatinya untukku, lalu dia berubah menjadi baik." Andine tertawa kecil membayangkan harapan yang tersusun di dalam kepalanya.
Tentang Andra yang semoga saja bisa menerima pernikahan mereka, menerima Andine sebagai istri sepenuhnya, serta menerima bahwa dirinya adalah seorang suami yang patutnya menyayangi dan melindungi sang istri.
Andine hanya ingin mimpi buruk di dalam pernikahannya ini segera usai, lelah dirinya harus berpura-pura baik-baik saja pada semua orang. Terlebih pada malam nanti, di depan semua orang, di hadapan para tamu undangan, di mana Andine akan melihat mungkin banyak dari mereka berpasang-pasangan. Ia dan sang suami harus bersikap layaknya pasangan yang bahagia, meskipun kenyatannya tidak demikian.
Bukankah sebuah hal yang melelahkan saat harus berpura-pura pada mereka bahwa kita bahagia? Bagaimana Andine menciptakan senyum palsu agar terlihat sangat nyata? Bukankah itu hal yang menyulitkan?
Andine menghela napas sambil tersenyum samar dengan berbagai kemungkinan di kepala.