Jika tidak ada yang percaya akan istilah, jatuh cinta pada pandangan pertama. Mungkin orang tersebut belum pernah merasakannya.
Tania kini tengah mengalami itu, ia mulai menyukai Arya, serta sosoknya yang asik diajak bicara. Padahal, sayangnya Arya tak pernah berpikir sama dengan gadis itu. Sikapnya yang ramah dan demikian, adalah karena ia menghormati lawan bicaranya. Tania ia anggap hanya sebagai seorang teman, tidak lebih. Karena memang, tak semudah itu membuatnya jatuh hati.
Setelah pertemuan itu, Arya mengantarkan sang ibu untuk pulang. Sepanjang perjalanan, senyum di bibir Naumi tak kunjung luntur sejak tadi. Tetap merekah sambil diam-diam mengamati sosok sang putra dari tempat duduknya.
"Udah ngobrol sama Tania?" tanya wanita yang duduk di sebelah Arya itu.
Pemuda yang sedang fokus pada kemudinya kemudian menoleh singkat ke arah sang ibu, "Udah, Ma," jawabnya.
"Gimana anaknya?" Naumi dengan penuh antusias kembali bertanya, kini soal penilaian sang putra pada anak gadis temannya tersebut.
Masih dengan wajah datar tanpa ekspresi berarti, Arya pun menjawab tanpa menoleh ke arah sang ibunda. "Ya gitu ... kaya perempuan pada umumnya. Lumayan nyambung pas diajak ngobrol," jawabnya.
Jawaban yang tidak mengecewakan tapi juga tak memuaskan bagi Naumi, wanita itu memperhatikan mimik muka sang putra, yang menurutnya biasa saja dan tak menunjukkan ketertarikan.
Apakah anaknya ini tidak merasakan sesuatu yang berbeda pada wanita yang baru saja ia ajak bicara berdua?
"Kalian ngobrolin apa aja tadi?"
Arya tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, lebih tepatnya sedang berusaha mengingat-ingat, pembahasan apa saja yang tadi ia bicarakan pada Tania.
"Obrolan umum, tanya soal kerjaan dan kesibukan masing-masing. Pendidikan, dan—"
"Tunggu, obrolan macam apa itu?" Dahi wanita paruh baya itu tampak berkerut bingung, ia menatap putranya tak mengerti.
"Kenapa, Ma? Emangnya salah?" Arya balik bertanya.
Naumi menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala, "Kamu 'kan bisa ajak ngobrol soal masa depan, Ar. Tanya apa planning atau rencana dia ke depan ini, atau, apakah dia masih punya target yang belum terpenuhi. Kira-kira di umur berapa dia berencana untuk menikah. Atau apa pun, atau kamu bisa tanya, apakah dia sedang menjalin hubungan dengan seseorang saat ini. Kamu bisa jadikan obrolan itu sebagai jalan untuk pendekatan," jelas wanita paruh baya berwajah cantik itu.
Arya menggelengkan kepala sambil mengembuskan napas lelah, dengan raut wajah memuakkan ia menanggapi kalimat yang baru saja terlontar panjang lebar dari bibir wanita di sebelahnya tersebut.
"Ma ... kenapa ujung-ujungnya jadi ke arah sana?" tanya Arya tak mengerti, "Lagipula, apa sopan tanya hal-hal kaya gitu padahal aku baru pertama kali ketemu sama dia? Aku rasa kurang etis aja tanya hal kaya gitu, takutnya dia malah berpikir yang bukan-bukan." Tatapan Arya lurus ke depan bersama dengan mimik muka yang datar.
Naumi menepuk pelan jidatnya sambil menghela napas panjang, "Memangnya kenapa kalau kalian baru bertemu? Toh, tujuan mama mempertemukan kalian memang untuk itu. Mama berniat menjodohkan kamu dengan Tania!"
Arya bergegas menepikan kendaraan roda empatnya dan sedikit memarkirkannya dengan asal, hingga membuatnya harus mengerem mendadak. Naumi yang terkejut tampak syok dengan apa yang dilakukan oleh sang putra.
Bersamaan dengan amarah yang berusaha diredam di hadapan ibundanya, Arya mendengkus kesal dengan tatapan mengarah pada wanita itu.
"Ma, Arya nggak suka dijodoh-jodohin!" tegasnya menentang apa yang diinginkan sang bunda, pria itu, walaupun sedang marah dan muka sedikit memerah, tapi ia masih berusaha menahannya agar tidak meninggikan suara, tapi hanya sedikit menekannya pada setiap kata. Hanya agar membuat wanita yang sudah membesarkannya tersebut mengerti.
Naumi dengan mata membulat kaget dan dada bergemuruh menatap wajah sang anak yang tengah memberontak itu, persis sekali dengan wajah suaminya yang sudah tiada.
"Jangan membuat Arya harus buru-buru menikah, Ma. Jangan paksa, Arya ...."
"Mama nggak paksa kamu, Ar," elak Naumi kemudian, "Mama cuma mau yang terbaik untuk kamu, ingin melihat kamu bahagia dengan wanita yang kamu cinta juga mencintai kamu. Apa mama salah mengharapkan kebahagiaan anak mama?"
Arya menghela napas sambil mengusap wajahnya frustasi, mau bagaimanapun ia berdebat dengan sang ibu, tetap pria itu akan kalah.
"Mama cuma ingin kamu melakukan pendekatan dulu dengan Tania, setidaknya kalian bisa mengenali karakter masing-masing. Kalau memang cocok, nggak ada salahnya kalian menjalin hubungan ke jenjang yang lebih serius. Itu yang mama mau," jelas Naumi.
"Tapi nggak harus tanya soal masa depan juga sama orang yang baru aku temui," ucap Arya, "Lagian Arya udah pernah bilang 'kan? Untuk saat ini, Arya belum mau menjalin hubungan serius dulu. Arya masih mau sendiri—"
"Tapi sampai kapan, Ar? Kamu lupa, kalau umur kamu akan semakin bertambah? Dan jatah hidup mama juga akan semakin berkurang. Kamu nggak pernah berpikir sampai ke sana? Mama mau kamu menikah dan memberikan cucu untuk mama, Arya ... apakah sulit mengabulkan permintaan mama yang satu itu?" Akhirnya amarah Naumi tak lagi bisa ditahan, dengan penuh gejolak di dalam dadanya ia mengomel tak tentu arah, hingga membuat sang putra semakin berdenyut kepalanya.
"Mau sampai kapan lagi, Arya? Mama lelah, Nak ...." Terdengar parau suara wanita itu, sekuat tenaga ia menahan agar tak jatuh setetes pun air dari ujung matanya.
"Mama cuma ingin yang terbaik untuk kamu, mama mau kamu bahagia dengan pasangan kamu. Itu saja. Kenapa rasanya sulit sekali, Arya? Atau, apakah kamu sedang mencintai seorang wanita? Siapakah dia? Kenapa kalian tidak bersama? Apakah wanita itu yang membuat kamu memutuskan untuk sendiri dulu dan selalu menunda pernikahan?"
Feeling seorang ibu, mungkin kini sedang terjadi pada Naumi kepada putranya sendiri. Entah firasat atau pikiran darimana, pertanyaan dan dugaan seperti itu terlontar begitu saja tanpa ia duga sebelumnya.
Namun nyatanya, berhasil membuat Arya terperanjat kaget hingga membuat jantungnya berdetak sangat keras. Dalam debar yang semakin menggila dan keterkejutan yang begitu tiba-tiba, membuat pria itu harus mati-matian menahannya agar sikap anehnya tidak terbaca oleh sang mama.
"Katakan saja, dan jelaskan pada mamamu ini. Mama akan mendengarkannya, Sayang," bujuk Naumi pada anak semata wayangnya tersebut.
Arya menghela napas panjang, berusaha bersikap biasa saja padahal dadanya tengah bergemuruh hebat.
"Arya ... sedang tidak mencintai siapa pun, Ma," jawab pemuda itu akhirnya, meski dengan hati yang berat sebab harus membohongi perasaan sendiri. "Tidak ada satu pun perempuan yang ada di hati, Arya. Arya memang ingin sendiri dulu," jelasnya. Meski dengan batin yang bergejolak sebab bibirnya tak sejalan dengan perasaan.
Naumi menghela napas lega, dengan tatapan sendu ia pun mengusap lembut lengan sang putra dengan penuh kasih sayang.
"Mohon mengertilah akan keadaan mama, Arya, mengerti juga akan keadaan diri kamu. Bagaimanapun juga, usia kamu sudah sangat pantas untuk menikah dan memiliki keluarga," jelas wanita itu, bertujuan membuat anaknya merenung dan berpikir.
Padahal, tidak semudah itu. Arya sendiri pun tidak tahu kapan ia bisa memulai menjalin hubungan baru dengan wanita lain, jika di hatinya masih tersimpan sebuah nama yang sayangnya tak bisa dimiliki olehnya.