Sora mematung di dalam mobil. Melihat kerumunan awak media yang menunggu di luar area gereja.
"Nona, kita pulang sekarang?"
Sora tak melirik suara rendah milik manajer barunya, Lisa. Perempuan muda yang sangat gesit dan cekatan sekaligus bertemperamen tegas. Usia baginya bukan penghalang menjalani tanggung jawab sangat berat. Termasuk mengingatkan sang artis asuhan bahwa mereka sudah menunggu di sini hampir tiga jam lamanya.
"Sebentar lagi," jawab Sora halus.
Lisa ikut melongok melewati setir mobil. Mata berlensa kontak birunya berkilat gelisah melihat para wartawan semakin banyak. "Maafkan aku karena tak berhasil mendapatkan undangan pernikahan itu. Kata Manajer Park, prosesi pemberkatan hanya dihadiri keluarga dekat dua mempelai saja."
Itu artinya tak dihadiri orang lain. Ucap Sora dalam hati. Dia tahu mempelai perempuan tak punya keluarga lain, yatim-piatu sejak kecil. Lalu keluarga mempelai lelakinya berbaik hati membagi kelompok jadi dua. Satu mendampingi sang pengantin lelaki, satu lagi bertindak sebagai perwakilan keluarga perempuan.
Sora mendengus. Mereka mungkin bisa mengelabui pendeta. Tapi Tuhan dalam ajaran para manusia itu tak akan mungkin dibohongi.
Tubuh semampai Sora menegang. Mata berpelapis lensa kontak kehijauan itu menghunjam lurus ke arah pintu keluar gereja. Bibirnya terkatup rapat. Dengan mata kepalanya sendiri, dia melihat Kim Shou dan Kim Hee Young berjalan menyongsong kerumunan wartawan. Pemberkatan pernikahan telah usai dan kedua mempelai terlihat memasuki mobil.
Tinju kecil Sora terkepal. Bagaimana bisa Shou-nya terlihat begitu bahagia?
~~oOo~~
"Aku suka melihatmu tanpa penutup wajah."
Hee Young semakin merapat ke pintu mobil. Menjaga jarak teraman di bawah dua meter yang mampu dikendalikan mentalnya. Wajahnya sudah semerah kepiting rebus, kontras dengan gaun perak sederhana yang dikenakannya. Takut, panik, cemas campur-aduk jadi satu tak karuan.
"Kau kenapa menjauh begitu, sih?" Shou menggoda istri barunya. Tubuhnya condong menghampiri Hee Young.
"Kau sendiri, kenapa mendekat padaku?"
"Aku, kan, sudah jadi suami resmimu," jawab Shou kalem.
Hee Young melotot galak. Apa sudah terlambat menyesali keputusan menikah dengan lelaki penggoda ini?
"Pasti sekarang kau menyesal telah menikahiku."
Hee Young bengong. "Kau membaca pikiranku, ya?"
"Shou bisa membaca ekspresi wajah," sahut Taehyung dari kursi pengemudi. Tepat sebelum artisnya itu membuka mulut.
"Dan Nyonya Kim, Anda memang sangat cantik," puji Shou tulus lewat spion.
"Dia milikku, Hyung," Shou berkata dingin.
Hee Young melirik penasaran interaksi dua orang itu. Shou terasa mengerikan dengan ekspresi wajah sedingin es. Sangat berbeda dengan ekspresinya selama ini yang terlihat nakal dan malas-malasan. Hee Young merenung menyadari mimik muka baru yang tak sungkan ditunjukkan Shou saat bersamanya.
Sementara Taehyung terlihat duduk tegang. Bahunya menjauh dari sandaran kursi. Meski lihai menutupi, perempuan itu tahu ada krisis di antara mereka berdua.
Taehyung menyalakan lampu sein. Mobil berhenti di tepi jalan raya. Dia lantas turun dan berpamitan pada Hee Young. "Selamat menempuh hidup baru, Nyonya Kim. Aku senang kau bisa mendampingi Shou."
Giliran Shou pindah ke kursi pengemudi. Hee Young tetap duduk di belakang. Dia sudah tahu pergantian posisi ini setelah prosesi pemberkatan selesai.
"Kita mau ke mana?" Hee Young penasaran.
Shou tak menjawab. Lelaki itu menggeber gas kencang, mengemudi seperti kesetanan. Tak memedulikan jika Hee Young ketakutan di kursi belakang. Beruntung jalanan cukup sepi hingga mereka tak perlu khawatir menyerempet kendaraan lain.
"Shou, kita mau ke mana?" Hee Young mengulangi pertanyaannya.
"Menjauhkanmu dari pers," jawab Shou tanpa mengalihkan konsentrasi.
Alis Hee Young terangkat tinggi. Mereka masih berada di jalur perkotaan meskipun tak seramai Seoul. Mobil perak itu meliuk-liuk lincah di jalanan lalu memasuki gerbang besar dengan pintu otomatis. Gerbang yang menjulang sangat tinggi dan rapat, secara efektif memblokade orang luar dari pemandangan indah di baliknya.
"Shou, ini ...."
"Selamat datang di kediaman pribadiku, Hee Young."
Hee Young ternganga. Laju mobil mulai pelan hingga berhenti di depan teras lapang berperabot kayu antik. Shou turun dan membukakan pintu mobil untuknya. Hati-hati dia memastikan gaun istri barunya tak tersangkut pintu mobil.
"Kupikir kau tinggal di Seoul?"
"Ini masih di Seoul." Shou membimbing Hee Young menaiki undakan. "Rumah yang pernah kau datangi itu hanya tempat peristirahatan sementara. Di sana cukup mudah diakses orang-orang yang bekerja denganku. Namun, tak memberi banyak privasi."
"Di sini berbeda?" tanya Hee Young.
"Pengamanan di sini sangat ketat. Kita bisa menyamakannya dengan kamp pelatihan militer. Aku membuang banyak uang untuk keamanan rumah ini, kau tahu?"
Hee Young mengikuti Shou masuk dan lagi-lagi dibuat tercengang. Dilihat dari depan, fasad bangunan ini memang megah, tapi tak semegah yang ditampilkan ruangan di balik pintu. Karena, begitu mereka masuk ke dalam, luasnya rumah ini sangat patut dipertanyakan.
Hee Young berjalan melewati foyer super lebar dan berdesain interior layaknya sebuah lobi. Penuh pencahayaan lembut dan lukisan-lukisan indah. Tentu saja tak ada meja resepsionis di sana. Sebagai gantinya, dua patung malaikat setinggi dua meter berdiri mengapit lorong menuju ke ruang tamu.
Ruang tamunya sendiri adalah mahakarya. Sofa-sofa raksasa ditata artistik menghadap perapian besar. Lalu dinding jendelanya berhasil menampilkan keindahan taman bunga di halaman luar. Kandelar kristal menggantung berat dari langit-langit yang sangat tinggi. Dinding-dindingnya juga tak luput dari lukisan-lukisan menawan. Sementara langit-langitnya yang berbentuk kubah dipenuhi mural langit biru di musim panas. Lengkap dengan lukisan malaikat yang tengah mengendarai pegasus.
Selintas pandang saja Hee Young pemilik rumah ini adalah seorang pecinta seni. Berbagai barang bernilai artistik tinggi terhampar di mana-mana. Dan langit-langit itu, Hee Young menahan napas, adalah mahakarya yang luar biasa. Butuh usaha sangat besar untuk melukis di tempat setinggi itu.
"Wow!" Hee Young benar-benar terpesona. Kepalanya tolah-toleh antara pintu masuk dan ruang tamu. Bertanya-tanya apa rumah ini punya kekuatan magis macam Hotel Del Luna, drama favoritnya yang rela Hee Young tonton maraton.
"Ke sini." Shou menepuk sofa di sebelahnya.
"Apa rumahmu ini rumah ajaib?" Hee Young seketika melupakan fobianya. Dia duduk begitu saja di samping Shou. Dia bahkan tak menyadari jika lengan lelaki itu melingkar di bahunya. "Kusangka rumah ini hanya besar. Dari luar terlihat besar, sih. Tapi masuk ke sini, ini benar-benar besar." Hee Young memberi penekanan pada kalimatnya.
"Kau cantik," bisik Shou.
"Apa?" Hee Young menoleh. Disorientasi. Bingung dengan perubahan topik pembicaraan yang sangat mendadak. Lalu terbelalak dan segera bergeser menjauh.
Tapi gerakannya kalah cepat dengan Shou. Lelaki itu menariknya mendekat, mendudukannya di pangkuan, tak membiarkannya lari.
"Tuan Kim, lepaskan aku." Kepanikan Hee Young kembali sangat cepat.
"Kupikir lebih baik kau pakai penutup wajah terus setiap keluar rumah." Shou mengamati lekat-lekat wajah pucat di hadapannya. "Ah, kau takut lagi padaku."
"Aku akan terus pakai penutup wajah bahkan saat di depanmu," sentak Hee Young.
"Wah, aku jadi tak bisa leluasa mencium dirimu kalau begitu," seloroh lelaki itu jahil.
"Kim Shou!"
"Ya, Nyonya Kim?" Shou menjawil puncak hidung Hee Young. "Kau hanya boleh terlihat cantik di hadapanku. Aku tak suka berbagi dirimu dengan lelaki lain."
"Aku bukan barang."
"Memang bukan. Kau istriku dan aku tak suka istriku dikagumi lelaki lain."
Hee Young ternganga. "Jadi kau mulai jatuh cinta padaku sekarang?"
"Untuk seorang yang fobia lelaki, kau cukup tangkas berkomentar," decak Shou. "Tidak, aku tidak mencintaimu. Aku hanya ingin melindungimu."
Untuk sesaat Hee Young merasa perasaannya hampa. Namun, secepat itu datang secepat itu pula lenyap. Hee Young mengenyahkan jauh-jauh pemikiran melodramatis yang sempat hinggap di benaknya.
"Kalau begitu, lepaskan aku," pinta Hee Young. "Aku mau ganti baju. Di mana letak kamarku?"
"Kubawa kau ke sana." Shou tiba-tiba berdiri.
Hee Young yang tak siap menjerit kaget. Lengannya refleks melingkar erat di leher Shou. Suara tawa bernada dalam terdengar pelan. Shou membopong Hee Young menaiki tangga melayang yang didesain khusus dari kayu jati. Melalui lorong berkelok dengan dinding kaca di salah satu sisi, mata Hee Young sangat dimanjakan pemandangan indah di luar sana.
"Malam ini kita tidur bersama." Shou berbelok ke kiri dan berjalan lurus menyusuri lorong panjang dengan satu-satunya pintu di ujung.
"Rumah sebesar ini pasti punya banyak kamar, kan? Aku ingin kamar terpisah darimu," tolak Hee Young. Dia memalingkan muka menghindari tatapan tajam suaminya.
"Saat melamarmu, kau setuju untuk tidur denganku." Shou menggeser pintu dengan lengan. Ruangan di baliknya temaram. "Dan aku seorang yang berprinsip suami-istri harus tidur bersama, tak terpisah apapun, tak tersekat apapun, bahkan oleh guling."
Shou menunduk. Seringai khasnya tercetak jelas. Rambut berombak lelaki itu jatuh menutupi dahi. Pantulan cahaya dari belakang Shou menimbulkan ilusi menyeramkan. Lelaki itu sudah bertekad dan tak akan mundur hanya karena fobia Hee Young pada lelaki.
Hee Young mematung. Bahkan dalam keremangan ruangan, wajah sepucat mayat perempuan itu makin terlihat jelas.
Shou tak berkata lagi. Dia melangkah masuk. Lalu perlahan menutup pintu kamar dengan lengannya. Meninggalkan kesunyian di luar menuju kesyahduan sakral di dalam.
***
Menjadi wanita seutuhnya memang menakutkan. Namun, perlakuan Shou yang sangat lembut sedikit demi sedikit mengikis histeria Hee Young. Dalam satu hari statusnya berubah, dari seorang nona biasa menjadi Nyonya dari lelaki luar biasa. Lalu, dalam semalam, derajat kegadisannya telah naik tingkat menjadi seorang wanita paripurna.
Pagi ini matahari masih bersinar seperti biasa. Cuaca mulai dingin pertanda musim bersalju segera menyapa. Hee Young yang masih memerah padam sejak bangun tidur, terus bergelung di balik selimut. Perutnya keroncongan karena dari semalam tak sepotong pun makanan yang disantap. Shou terlalu aktif menciptakan kegiatan yang membuat Hee Young lupa makan. Dan efeknya baru terasa pagi ini.
"Bangun, Pemalas."
Sebuah kecupan mendarat di kening Hee Young. Perempuan itu tersentak kaget. Seseorang menarik turun selimut yang membungkus tubuhnya. Bahu halus Hee Young terekspos jelas di bawah tatapan emas Shou. Mata lelaki itu berkilat.
"Mau makan di sini apa di bawah?" Shou tak melepas pandangan dari kulit putih dada Hee Young.
Perempuan itu tanggap. Cepat dia menarik selimut hingga dagu. Membatasi akses mata jelalatan suami barunya. Tepat saat itu, ekor matanya mendapati nampan perak sarat makanan.
"Kau buat sarapan?" Hee Young kaget.
"Aku koki yang hebat," senyum Shou, "keluarga besar kami memiliki pasukan lelaki yang mahir memasak. Jadi, makan di sini?"
Hee Young mengangguk. Tersipu malu. Kondisinya saat ini yang hanya berbalut selimut tebal sangat riskan turun dari tempat tidur, tanpa menjadi santapan mata tajam Shou. Tangannya semakin rapat memeluk selimut.
"Kau masih juga malu, padahal aku sudah melihat seluruh tubuhmu," ujar Shou santai.
Hee Young merah padam. Teringat lagi ulah usil – tapi sangat menyenangkan – yang dilakukan Shou ke tubuhnya. Lelaki itu dengan lembut membimbingnya menuju tempat yang belum pernah didatanginya seumur hidup. Saat kembali turun ke bumi, perasaan Hee Young begitu nyaman dan tenang. Seolah dalam periode singkat kenikmatan itu, Shou berhasil menghalau seluruh mimpi buruknya dan hanya menjanjikan kesenangan.
Bibir tipis itu bungkam. Sebagai gantinya, Hee Young susah-payah menggunakan sumpit logam dari balik selimut, yang memunculkan desah tak sabar Shou.
"Sini, aku suapi." Lelaki itu mengambil alih sumpit dan menyuapkan sepotong daging ke mulut istrinya.
Hee Young sejenak terpana, tapi segera membuka mulut. Bergantian lauk dan nasi berpindah ke perut ramping Hee Young hingga hanya menyisakan sesuap kecil.
"Hyung meneleponku tadi pagi." Shou berkata tanpa mengalihkan pandangan dari mangkuk nasi. "Ada aktris baru di agensi. Dia ingin kau menjadi penata gaya pribadinya."
"Aku?" tunjuk Hee Young kaget.
"Kupikir setelah dekat dengan seorang Kim Shou, popularitasmu melejit sangat cepat," lirik Shou dari balik bulu matanya yang panjang.
Hee Young termangu. Manik cokelatnya menatap lurus wajah tampan Shou. "Dan kau menerimanya?"
"Kau masih terikat kontrak eksklusif denganku." Jemari ramping Shou terulur hendak membersihkan sisa saus di sudut bibir Hee Young. Namun, dia berubah pikiran. Sangat cepat Shou maju dan menjilat saus itu, lalu melumat lembut bibir merah muda Hee Young.
"Shou ...."
"Kau nikmat," gumam Shou linglung, "setelah sekian lama, baru kau yang berhasil membangkitkan gairahku."
"Shou, apa-apaan, sih? Bagaimana dengan aktris baru itu?" Hee Young tergesa mengalihkan topik. Astaga, suami barunya kenapa sebegini mesum?
"Kau hanya milikku. Titik." Shou menyingkirkan nampan dari atas kasur. Lalu meraih pinggang kecil Hee Young. Perempuan itu memekik kaget.
"Apa artinya itu?"
"Yang mana? Pelukan ini, atau si anak baru?" Shou menciumi leher mulus Hee Young. Perempuan itu bergetar.
"Si anak baru," jawab Hee Young susah-payah.
"Tak kuijinkan dia memonopolimu. Hyung mempertimbangkan untuk meminjamkanmu sebentar demi hubungan baik dengan agensi. Daepyo-nim sepertinya suka dengan perempuan itu."
"Kenapa semua orang memutuskan sesuatu tanpa berdiskusi denganku dulu?"
Shou menghentikan aktivitas intimnya menggerayangi dada mungil Hee Young. "Aku tak pernah memikirkan hal itu."
"Sekarang kau harus memikirkannya, Shou."
"Kau benar," renung Shou, "yang akan menjalani pekerjaan itu adalah dirimu. Kau yang lebih berhak membuat keputusan. Jadi, apa kau setuju bekerja untuk Jung Sora?"