Suara erangan dari dalam sebuah kamar begitu menggetarkan hati. Sebab erangan itu bukan karena terlampiaskan syahwat yang menggebu. Melainkan erangan kekecewaan yang keluar dari perasaan yang tidak puas karena tidak mendapatkan apa yang di inginkan.
Usai bercinta dengan suaminya, Ammara kini sedang duduk menyendiri di atas sebuah balkon rumahnya. Menatap ke arah langit yang di penuhi oleh bintang-bintang.
Bayangan bercinta dengan Devan yang tidak pernah lagi ia rasakan nikmatnya membuatnya meradang dan stress hingga menjambak rambutnya frustasi.
Sudah satu tahun belakangan ini, Ammara tidak lagi bisa merasakan klimaks dari percintaannya bersama Devan. Dan hal itu tidak pernah bisa ia ungkapkan pada Devan karena khawatir jika Devan akan kecewa pada dirinya sendiri.
Padahal di sisi lain, Devan juga ikut meradang. Ia menuntaskan hasratnya dengan melanjutkannya sendiri di dalam kamar mandi. Dan Ammara tidak pernah tahu tentang itu.
***
"Sayang, hari ini kamu akan kemana?" tanya Devan, lembut. Sembari menghampiri Ammara yang sedang mengoleskan selai pada roti bakar yang baru saja ia buat. Lalu mengecup puncak kepala sang istri.
Ammara terdiam sejenak, seperti sedang berpikir.
"Sepertinya ... Aku harus menemui editorku. Ada naskah baru yang ingin aku susun," jawab Ammara, seraya tersenyum.
"Oh baiklah," sahut Devan.
Ia pun mengambil tempat untuk duduk di samping Ammara dan meraih roti bakar selai yang baru saja selesai di oles oleh istrinya itu.
"Ini enak sekali. Istriku ini sangat pintar membuat roti bakar," puji Devan. Tanganya mengusap lembut puncak kepala istrinya.
Ammara tersenyum senang. Devan sangat pandai membuat hatinya berbunga-bunga. Padahal jika boleh jujur, roti bakar itu memang akan enak jika di olesi selai seperti itu. Devan hanya sedang ingin membuatnya bahagia.
"Terima kasih ..." ucap Ammara, kemudian mengecup pipi Devan dengan cepat. Lalu ikut memakan roti bakar selai tersebut di hadapannya.
"Oke, sepertinya aku harus segera ke kantor. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Dan sepertinya, aku harus lembur malam ini," jelas Devan, sembari bangkit dari duduknya.
Ammara juga ikut bangkit dari duduknya. Lalu meraih tangan suaminya. Mengecup punggung tangan Devan dalam waktu yang cukup lama.
Setidaknya, hal ini mungkin bisa menutupi kekecewaannya karena tidak bisa merasakan kepuasan semalam.
Devan memandangi istrinya dengan tatapan selidik. Tidak biasanya Ammara bersikap seperti ini.
"Sayang, kamu enggak apa-apa?" tanya Devan, khawatir.
Satu hal yang Devan khawatirkan dari Ammara. Ia takut jika Ammara juga tidak lagi merasakan nikmat saat bercinta dengannya, sama seperti yang ia rasakan sekarang.
Namun ketakutan Devan luruh tatkala melihat senyuman lebar dari istrinya.
"Aku enggak apa-apa. Aku cuma masih kangen sama kamu," ucap Ammara seraya masuk dalam pelukan suaminya dengan manja.
Devan tersenyum. Kemudian mengecup kening Ammara.
"Kita ketemu lagi nanti malam, okey?" tutur Devan, meminta pengertian dari istrinya itu.
"Okey ..." jawab Ammara seraya tersenyum. Dan kembali memeluk suaminya dengan erat.
Rutinitas keduanya terlihat sangat romantis. Bahkan para tetangga di sekitar ikut iri jika melihat kedua pasangan itu. Seakan Tuhan tidak adil pada mereka karena menciptakan pasangan sesempurna itu.
Namun di antara mereka, tidak ada satupun yang tahu. Jika di sebuah rumah mewah dan di penuhi pasangan sempurna itu, ada sebuah misteri yang di liputi oleh ketidaksempurnaan.
Cinta mereka yang tulus mungkin akan di katakan sebagai cinta yang munafik jika saja mereka tahu bahwa tidak ada ketenangan batin yang di rasakan oleh dua sejoli itu.
***
"Akhhhhh!!!" erang Devan, frustasi.
Sepanjang perjalanan, ia melihat begitu banyak wanita seksi yang bertebaran. Tapi baginya, Ammara selalu lebih seksi dan menggoda dari mereka. Namun kenapa, setahun belakangan ini ia tidak pernah lagi merasakan kenikmatan itu? Devan benar-benar frustasi.
Cklek~
"Hey, Bro? Ada apa denganmu?" tanya Arnold, sahabat Devan.
Devan mendelik tidak suka pada Arnold. Karena telah sembarangan masuk ke dalam ruanganya tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Namun Devan tidak bisa memberikan protes apapun. Karena percuma saja. Pria itu tidak akan mendengarkan dirinya sama sekali.
"Kenapa kamu terlihat frustasi seperti itu?" tanya Arnold, sembari menaikkan kedua alisnya penasaran.
Devan diam saja. Ia masih enggan untuk menceritakan tentang masalah yang ia hadapi saat ini dengan Arnold.
Mungkin memang Arnold bisa membantunya dan memberikan jalan keluar padanya. Sebab Arnold adalah seorang gigolo--pria panggilan yang terkenal sangat ahli membuat wanita tergila-gila padanya.
"Katakan! Apa yang telah terjadi?" desak Arnold. Ia sangat penasaran. Dan berharap bisa memberikan bantuan pada Devan.
Devan hanya menggeleng lemah. Ia terdiam membisu dan menyibukkan dirinya dengan pekerjaan.
Sementara di sisi lain, Ammara kini sedang berada di sebuah kafe yang cukup asri karena dekat dengan taman-taman di sekitarnya.
Ammara duduk berhadapan dengan seorang wanita cantik dan dewasa yang tidak lain adalah Jeana--editornya.
Jeana sedang serius menjelaskan apa saja yang harus Ammara perbaiki pada naskah mentah yang wanita itu perlihatkan padanya.
Namun sayangnya, Ammara sama sekali tidak fokus pada penjelasan Jeana. Matanya lebih serius memindai dari atas dan samping tubuh seksi dan molek editornya tersebut.
"Ammara! Ada apa denganmu? Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Jeana. Ia merasa risih di tatap seperti seekor mangsa oleh Ammara.
"Kenapa dadamu bisa sebesar itu?" Bukannya menjawab pertanyaan dari Jeana, Ammara malah kembali bertanya. Bahkan dengan pertanyaan yang terdengar cukup vulgar.
Jeana tersenyum dan bernapas lega karena Ammara bertanya dengan suara yang berbisik. Dan juga tidak ada anak-anak di sekitar tempat itu.
"Kenapa kamu menanyakan hal itu?" Jeana bertanya balik. Ia penasaran apa hal yang membuat penulisnya ini menanyakan hal se-sensitif itu padanya.
Ammara terdiam sejenak kemudian menghembuskan napasnya panjang.
"Karena dada mu lebih besar dariku. Padahal, kamu belum menikah, bukan? Kenapa bisa sampai seperti itu?" tanya Ammara, jujur.
Jeana memang belum menikah. Namun sayangnya, Ammara tidak tahu jika Jeana aktif berhubungan dengan para pria yang berbeda-beda.
Profesinya yang sebagai editor, seakan menuntun Jeana untuk melakukan hal tersebut. Ia tidak bisa memeriksa naskah dari para penulisnya begitu saja. Tapi ia juga harus melakukan riset yang mendalam. Bahkan riset yang ia lakukan, lebih mendalam dari riset yang para penulisnya itu lakukan.
"Kamu pasti mengetahui bukan kenapa bisa sampai seperti ini?" tantang Jeana. Ia memang tidak malu sama sekali.
Hubunganya dengan beberapa penulisnya memang cukup dekat. Bahkan ia juga pernah bercinta dengan salah satu penulisnya sendiri. Tentu saja, mereka lakukan itu demi untuk mendapatkan riset yang lebih baik, katanya.
Ammara mengatupkan bibirnya. Ia masih tidak percaya dengan apa yang Jeana katakan.
"Jadi, apakah kamu seringkali merasakan klimaks saat bercinta?"