Chereads / Sama-Sama Mendua / Chapter 2 - Godaan

Chapter 2 - Godaan

Jeana terkesiap mendengar pertanyaan yang keluar dari lisan Ammara.

Ammara bertanya tanpa rasa malu dan tidak berkedip. Mungkin ia terlalu resah untuk menyimpan perasaannya sendiri dan ingin mengutarakannya. Setidaknya pada orang yang bisa memberikannya solusi.

"Kenapa kamu bertanya hal itu? Bukankah memang seharusnya klimaks menjadi inti dari bercinta?" ujar Jeana, balik bertanya.

Keduanya tidak merasa enggan untuk berbicara tentang hal yang cukup tabu itu. Toh, Ammara dan Jeana sudah sama-sama dewasa. Mereka juga bahkan sudah pernah merasakan surga dunia itu.

"Iya, kamu benar ..." balas Ammara, lirih. Kemudian menundukkan kepalanya.

Jeana mulai menangkap gelagat aneh dari penulisnya ini. Seulas senyum pun hadir di bibirnya.

"Apa kamu tidak lagi bisa merasakan klimaks saat bercinta dengan suamimu?" tebak Jeana, dengan nada yang serius.

Ammara mengangkat kepalanya demi melihat Jeana. Wanita itu pintar sekali menebak apa yang telah terjadi pada dirinya.

"Apakah itu hal penting dalam sebuah hubungan?" Ammara tidak menjawab, tapi kembali memberikan pertanyaan.

Hahahhah!

Jeana tergelak mendengar penuturan dari Ammara.

Sesaat kemudian, ia menatap netra Ammara dengan intens.

"Kamu tahu sendiri, Ra. Bahwa mencapai klimaks dan pelepasan itu sangat penting dalam seks," jawab Jeana, serius.

Ammara terdiam membisu. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Nyatanya, apa yang Jeana katakan benar adanya. Pelepasan itu sangat penting. Dan ia merasa sangat frustasi karena tidak lagi merasakan itu satu tahun terakhir ini.

Tapi apa yang harus ia lakukan untuk mencapai kenikmatan itu? Ia tidak mungkin berpaling dari Devan--pria yang ia cintai, hanya karena hal tersebut.

Sementara di dalam sebuah ruangan kantor. Devan masih menatap kosong ke arah meja yang disana terdapat tumpukan berkas yang bahkan tidak bisa ia sentuh sejak tadi.

Pikiran Devan berkelana dan selalu tidak puas. Ia benar-benar frustasi sekarang.

Arnold yang masih berada di ruangan tersebut menghembuskan napasnya kasar. Merasa kesal dengan keadaan Devan saat ini. Pria itu bahkan tidak membuka mulutnya sedikitpun.

"Devan!" panggil Arnold.

Devan masih setia dalam lamunannya. Ia sama sekali tidak mendengarkan Arnold yang memanggilnya sejak tadi.

"Devan Jacob!!" panggil Arnold sekali lagi, dengan menyebutkan nama lengkap pria tampan itu.

"Ah, i-iya!" jawab Devan, gelagapan. Sesaat kemudian kembali memperbaiki ekspresinya untuk tetap tenang.

"Ada apa memanggilku?" tanya Devan, malas.

"Kamu yang ada apa. Sebenarnya kamu kenapa? Apa ada masalah dengan rumah tanggamu?" tebak Arnold.

'Sialan, Arnold! Tebakannya selalu tepat,' batin Devan, semakin kesal.

"Apa kamu masih belum meninggalkan kantorku? Aku sedang sibuk sekarang. Jadi tinggalkan aku sendiri," usir Devan.

Arnold bangkit dari duduknya. Sepertinya Devan memang sedang tidak ingin di ganggu.

"Okey, aku akan pergi. Tapi ingat, jika kamu butuh wanita untuk melampiaskan hasratmu. Maka hubungi aku. Aku punya banyak," ucap Arnold, penuh percaya diri.

Devan mendelik tidak suka atas pernyataan dari Arnold. Memangnya dia laki-laki apaan? Devan bahkan tidak menginginkan siapapun kecuali Ammara. Ia sangat mencintai istrinya itu. Meski kini sekarang hubungan keduanya sedang di uji oleh nafsu yang tidak tuntas.

"Aku tidak butuh! Pergi keluar sekarang!" jawab Devan, sarkas.

Arnold menyeringai. "Enggak usah munafik! Sebagai lelaki bebas seperti kita. Aku tahu perasaanmu. Satu wanita tidak akan pernah cukup," sahut Arnold, tidak mau kalah.

Devan hanya bisa mendengus kesal karena ucapan Arnold yang tidak salah sama sekali. Namun ia tidak ingin mengakui itu. Baginya, cinta mungkin akan tetap menguatkannya.

***

Ammara pulang dari kafe menuju rumahnya dengan langkah gontai setelah turun dari mobilnya.

Ucapan Jeana terus terbayang dalam pikirannya. Dan apa yang wanita itu katakan benar adanya.

"Pelepasan itu sangat penting dalam hubungan."

Akhhhhh!!!

Ammara frustasi dan melempar naskah mentah yang ada di tangannya setelah ia masuk ke dalam kamarnya.

Pandangannya tertuju pada ranjang. Dimana tempat itu menjadi saksi bisu, betapa ia sangat merindukan waktu-waktu seperti dulu.

Dimana bercinta dengan Devan--suaminya menjadi hal yang paling ia tunggu-tunggu.

Bahkan pernah ia dan Devan satu pekan lamanya tidak keluar dari kamar. Mereka habiskan hanya dengan bercinta.

Tapi sekarang, lihatlah ranjang itu. Seakan sedang mengejek dirinya. Begitu rapi tanpa aroma percintaan lagi seperti biasanya.

Devan selalu mencari alasan karena pekerjaan. Begitupun dengan dirinya, menggunakan menulis cerita sebagai alasan agar tidak memenuhi syahwat suaminya.

Bukan Ammara menolak. Tapi ia tahu bahwa dirinya akan kecewa ketika harus bercinta dengan suaminya.

"Apa Devan juga merasakan hal yang sama, ya?" tanya Ammara dalam hati.

Selama ini, ia tidak pernah tahu bagaimana perasaan pria itu. Karena baik ia maupun Devan tidak pernah sama sekali membahasnya. Seakan semuanya baik-baik saja. Padahal nyatanya, tidak demikian.

"Ah, tidak mungkin. Jika Devan juga kurang puas dengan itu. Kenapa ia tidak pernah mengatakan apapun?" Ammara menyanggah ucapannya sendiri. Ia menolak kenyataan jika Devan juga tersiksa selama satu tahun terakhir ini.

Bukan tidak mungkin untuk Ammara berpikir demikian. Sebab menurutnya, laki-laki lebih tidak nyaman jika tidak merasakan kepuasan. Tapi selama ini, ia melihat bahwa Devan baik-baik saja.

"Tapi apa mungkin itu hanyalah sandiwara?" ujar Ammara kembali bertanya-tanya.

Ammara menghela napas panjang. Kemudian melepaskan seluruh pakaiannya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Ia harus mendinginkan otaknya agar tidak berpikir yang macam-macam.

***

Hari kini telah berganti malam. Pekerjaan Devan juga telah selesai. Ia pun bangkit dari kursi kebesarannya dan segera beranjak keluar dari kantor.

Belum sempat Devan melangkahkan kakinya. Kedatangan sang sekretaris cantik dan seksinya itu menghentikkan langkahnya.

"Maaf, Bos. Apa anda sudah ingin pulang?" tanya Tina--sekretaris pribadi Devan. Dengan nada yang lembut dan menggoda.

Devan tidak menjawab. Tapi ia malah fokus memindai seluruh lekuk tubuh Tina yang terlihat begitu menggoda di matanya.

Tubuh bagian atas yang membusung , seakan merayunya untuk segera meremas dada itu.

"Bos? Ada apa dengan anda?" tanya Tina, merasa senang di pandangi seperti itu oleh Devan.

Tina akui jika Devan adalah pria yang sangat ia tunggu-tunggu untuk masuk dalam kehidupannya. Namun ia sadar diri jika Devan kini telah memiliki istri. Sehingga selama ini ia tidak berani menggoda Devan dengan pakaian kurang bahan seperti itu.

Namun satu tahun terakhir ini, ia melihat Devan begitu stress. Seperti orang yang tidak tersalurkan syahwatnya. Oleh karena itu, dia memberanikan diri untuk mendekati pria itu.

Devan segera merapalkan mantra untuk menyadarkan dirinya dari godaan napsunya yang menggoda.

"Sadar Devan!!! Ada Ammara yang sedang menunggumu di rumah!" batin Devan, menyentak dirinya sendiri agar sadar.

Kemudian dengan cepat, Devan memalingkan wajahnya. Tidak ingin terjebak terlalu lama dalam lingkaran kegelapan hawa napsunya.

"Tina!" panggil Devan.

"Iya, Bos?" tanya Tina dengan nada manja. Ia sangat mengharapkan agar benda milik Devan, segera masuk pada tubuhnya saat ini juga.

Namun sayang sekali. Apa yang Tina harapkan, sama sekali tidak terwujud. Bahkan Devan memberikan kultum (kuliah tujuh menit) padanya.

"Lain kali ganti pakaian kamu. Kamu kesini sebagai pekerja kantoran bukan wanita bayaran!" ujar Devan. Lalu segera keluar dari tempat tersebut. Ia takut dirinya akan khilaf dan mengkhianati cintanya dengan Ammara.

"Heuh! B-baik, Pak," jawab Tina, gelagapan. Ia tidak menyangka jika Devan akan menolaknya secara tidak langsung seperti ini.

Devan keluar dari kantornya dengan terburu-buru. Ia harus segera pulang dan menuntaskan hasratnya dengan sang istri.

Karena terburu-buru. Devan tidak sengaja bertabrakan dengan seorang wanita. Dan parahnya, wanita itu membuat tubuh bagian bawahnya semakin sesak.

"Sial!!!" teriak Devan dalam hati.