Sophia merasa tidak nyaman dengan pandangan dari rekan-rekan asrama yang ditujukan kepadanya. Serasa ada sebuah kesalahan besar yang telah dilakukan olehnya. Gadis itu merasa tidak nyaman dan gelisah sepanjang waktu.
"Hei, kamu kenapa?" tanya Rosie kepada Sophia yang sejak tadi melamun di dalam kamarnya. Sophia langsung kaget ketika melihat Rosie menyentuh bahunya. Pikirannya yang sedang melayang seketika kembali ke dunia nyata.
"Tidak ada apa-apa," sahut Sophia terbata.
Rosie bisa merasakan kebimbangan yang ada di dalam diri sahabatnya tersebut. Dia pun segera beranjak duduk di sampingnya.
"Apakah ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiranmu?" tanya Rosie dengan lembut. Sophia merasa senang karena sikap Rosie yang begitu lembut dan penuh perhatian kepadanya.
"Tidak ada apapun yang sedang menggangguku," sanggah Sophia untuk menutupi kegusarannya.
"Sebenarnya mungkin ada sedikit yang mengusik pikiranku," imbuh Sophia seketika sambil menunjukkan bulatan kecil dengan jemarinya.
"Apakah itu? Mungkin aku bisa membantumu," tawar Rosie.
"Hmmm bukan masalah serius hanya saja aku merasa seakan pandangan teman-teman di asrama tertuju kepadaku. Mereka seakan hendak menelanku bulat-bulat," ungkap Sophia dengan lugu. Rosie langsung tertawa mendengarnya.
"Mengapa kamu tertawa?" tanya Sophia heran.
"Kamu aneh. Mana mungkin ada yang seperti itu?" ucap Rosie sambil menunjukkan tawa renyahnya yang membuat Sophia membulatkan kedua matanya.
"Tetapi mereka terus melihat ke arahku ketika aku pulang makan siang," ungkap Sophia sembari mengenang betapa tidak nyaman berada di dalam posisi dirinya. Sophia baru masuk ke dalam asrama ketika beberapa siswa perempuan tengah berkumpul dan menyindirnya sebagai darah campuran. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai gadis pencari perhatian. Sophia bisa mengerti semua tuduhan itu memang dialamatkan kepadanya karena mereka sengaja mengeraskan suara ketika dirinya lewat.
"Kamu ceritakan semua padaku supaya aku bisa membantumu!" pinta Rosie kepadanya. Sophia pun langsung mengungkapkan apa yang sedang dirasakan olehnya beserta semua kejadian secara runtut. Rosie merupakan pendengar yang baik. Dia tidak menyela ketika Sophia tengah bercerita.
"Astaga, benarkah mereka melakukan semua itu padamu?" tanya Rosie.
Sophia mengangguk lesu dan menatap ke arah sahabat baiknya.
"Sekarang aku harus bagaimana? Kupikir mereka sedang kesal karena masalah sidang pelanggaran yang akan dihadapi oleh Helen dan teman-temannya. Bukankah mereka berasal dari asrama yang sama dengan kita?" ucap Sophia sambil merebahkan dirinya di dinding kamar. Gadis itu merasa tidak berdaya menghadapi bullyan yang terus teruju kepadanya selama ini.
"Aku tidak mendengar apapun mengenai masalah itu di asrama. Hanya saja kalau memang semua terjadi karena Helen, mungkin masuk akal. Helen memiliki pengaruh yang besar di asrama," ungkap Rosie.
"Lalu aku harus bagaimana sekarang?" tanya Sophia dengan lesu. Gadis itu nampak sedih dengan perlakuan teman-teman lainnya. Rosie merasa iba dan menatap lekat wajah Sophia yang cantik dengan kulit putihnya.
"Jangan cemaskan apapun! Tujuan kita kemari adalah untuk belajar menjadi seorang werewolf. Semua yang terjadi hanya selingan dan godaan selama berada disini, jadi jangan pernah patah semangat menghadapinya," ucap Rosie yang membuat senyuman Sophia kembali melengkung. Kedua gadis itu saling berpandangan dengan penuh ketulusan. Sophia merasa beruntung karena memiliki teman sebaik Bianca dan Rosie.
"Terima kasih karena berkenan mendengarkan ceritaku," ucap Sophia sambil menggenggam tangan Rosie dengan lembut.
"Bukankah itu manfaatnya memiliki seorang teman," kata Rosie sambil tersenyum.
"Aku akan menghadiri pelajaran sore dan sekarang aku hendak bersiap. Kamu ada pelajaran juga bukan?" tanya Rosie yang sudah berdiri di samping ranjang milik Sophia.
"Iya, aku ada materi ramalan. Aku akan mandi sebelum menghadiri kelas," ucap Sophia sebelum bangkit dan bersiap membersihkan diri.
Rosie sedang menyiapkan buku pelajaran ketika Sophia meninggalkan dirinya. Dia merasa sedih melihat nasib Sophia yang terus menjadi bahan bullyan dari teman-temannya. Sebenarnya bukan kesalahan Sophia ketika terlahir dari orang tua campuran namun semua seakan menjadi hakim untuknya.
Rosie kembali terkenang kehidupan keluarganya yang jauh dari kata bahagia. Kedua orang tuanya merupakan werewolf sehingga dia berdarah murni. Rosie tidak pernah merasa bahagia di dalam keluarganya karena mereka selalu bertengkar karena suatu hal yang terjadi di masa lalunya.
Seorang werewolf lelaki biasanya akan menggigit leher calon pasangan yang kelak menjadi pendampingnya. Ketika seorang werewolf lelaki sudah yakin maka dia bisa melakukan proses perjodohan dengan werewolf perempuan jika usia mereka telah mencapai dewasa. Ketika itu, ibu kandung Rosie tengah menyukai salah seorang werewolf lelaki dan berharap mereka berjodoh. Namun sayangnya, ayah Rosie terlanjur menggigit leher ibunya sehingga mereka memiliki ikatan yang tidak bisa diputuskan siapapun. Hal tersebut sudah menjadi hukum yang dipatuhi oleh seluruh kawanan. Perjodohan yang tidak diinginkan namun terjadi membuat ibu Rosie berduka. Dia memang menikah dengan ayah Rosie namun tidak ada cinta di dalamnya. Setiap hari yang mereka lakukan hanya bertengkar dan membuat Rosie tidak tahan berada di dalam rumahnya.
"Aku berharap mereka tidak akan bertengkar sewaktu aku berada di sekolah," bisik Rosie seraya menghela napasnya. Dia seakan berusaha menguatkan hatinya yang rapuh setiap kali mengenang masalah di dalam keluarganya.
Sore harinya semua siswa tengah berada di dalam kelasnya masing-masing. Sophia dan Bianca sedang menghadapi kelas ramalan sedangkan Rosie menghadiri kelas pertahanan diri. Mereka memiliki jadwal yang berbeda sehingga bisa bertukar pikiran ketika sedang belajar bersama.
"Aku tidak menyukai pelajaran meramal karena hanya anak yang berbakat saja yang bisa melakukannya," sahut Bianca ketika mereka tengah mengikuti pelajaran.
Sophia tersenyum karena bukan kali ini saja sahabatnya tersebut mengeluh soal pelajaran. Sebelumnya dia juga merasa tidak enak dengan pelajaran mengenai darah.
"Bukankah pelajaran ramalan sangat penting untuk mengetahui waktu yang tepat dalam berburu?" tanya Sophia.
Bianca menatap wajah Sophia yang nampak bersemangat. Dia merasa iri karena tidak memiliki hal tersebut di dalam dirinya.
"Kamu benar! Pelajaran ini mencakup banyak hal. Hanya aku yang terlalu banyak mengeluh," ucap Bianca sambil mengeluarkan buku pelajaran dari dalam tas punggungnya.
"Ayahmu merupakan seorang tetua, tentunya kamu sudah kerap melihat aksinya meramalkan cuaca sebelum berburu bukan?" tanya Sophia. Dia memang penasaran mengenai kehidupan seorang tetua. Sebenarnya Kakek Sophia juga seorang tetua hanya saja mereka jarang bertemu karena ibu kandungnya membatasi kedekatan diantara mereka. Sepertinya pertengkaran diantara kakek dan ibunya terjadi karena pernikahan sang ibu dengan manusia yang membuat kakek kecewa. Sebagai seorang tetua, kakek tentunya berharap putrinya menikah dengan seorang werewolf, bukan seorang manusia biasa.
"Ayahku memang tetua dan kerap meramal cuaca. Aku tidak tertarik untuk belajar darinya karena aku lebih menyukai bela diri. Ayah tidak mau mengajarkannya sehingga aku diam-diam melihatnya ketika sedang melatih kakakku," ucap Bianca dengan polos.
"Mengapa ayahmu mengaji kakakmu saja?" tanya Sophia.
"Karena dia laki-laki. Ayah selalu membedakan perlakuannya terhadap kami berdua," ungkap Bianca.
Sophia memasang wajah iba kepada sahabatnya. Dia tidak menyangka Bianca memendam perasaan seperti itu di dalam hatinya.
"Jangan berpikiran yang negatif. Aku yakin ayahmu tidak membedakan kasih sayangnya pada kalian. Mungkin dia hanya merasa kamu belum cukup kuat untuk belajar bela diri," ungkap Sophia untuk menghibur Bianca.
"Mungkin," jawab Bianca singkat.
"Apakah kamu tidak merasa aneh karena Helen tidak nampak berada di dalam kelas padahal malam ini ada sidang pelanggaran," lanjut Bianca.
Sophia menatap sekeliling ruangan dan memang tidak menemukan sosok cantik Helena diantara teman-temannya. Memang sesuatu yang aneh kalau gadis itu membolos pelajaran.