Sophia berulang kali menolak tuduhan yang diucapkan oleh Helen kepadanya. Dia memang membenci gadis itu namun tidak berarti Sophia akan nekat melakukan sesuatu sejahat yang dituduhkan kepadanya.
"Tolonglah, percaya kepadaku! Aku tidak mengambil buku tugasmu," ucap Sophia untuk membela dirinya. Helen yang sedang diliputi amarah hanya menatap nanar ke arahnya seakan hendak menelan Sophia secepatnya. Sophia hanya memasang wajah memelas karena tidak bisa membela dirinya sendiri.
"Apa kamu pikir aku bakal percaya dengan ucapan dari gadis campuran sepertimu!" hina Helen. Sophia merasa kesal setiap kali gadis itu membahas mengenai asal usul keluarganya. Meski dia berasal dari darah cempuran, Sophia tetaplah seorang werewolf yang pantas dihargai.
"Kenapa kamu melotot? Apakah kamu tidak terima dikatakan sebagai darah campuran? Ataukah kamu mau dipanggil darah kotor?" imbuh Helen yang semakin membuat hati Sophia meradang. Kalau bisa memilih, dia tidak akan mau dilahirkan berdarah campuran. Dia juga ingin menjadi seorang werewolf murni yang berkulit gelap. Kedua rekan yang berada di dekat Helen ikut menertawakan Sophia. Pedih hati Sophia mendengar suara tawa mereka yang seakan menganggap rendah dirinya.
"HENTIKAN! Apa yang kalian lakukan?" suara seorang pemuda mengejutkan Helen dan kedua temannya. Mereka berbalik dan mendapati ketua asrama sedang melihat ke arah Sophia yang sedang duduk di lantai dengan lutut berdarah. Pemuda itu terlihat iba kepadanya.
"Apa kalian melakukan pembulian di sekolah?" tanya pemuda itu sembari melangkah perlahan untuk mendatangi Sophia.
Helen terdiam dan menoleh ke arah dua temannya yang sama takutnya. Mereka tidak berani menatap ke arah pemuda yang berdiri di hadapan mereka. Sophia merasa heran siapa pemuda tersebut dan mengapa Helen begitu takut.
"Aku akan mencatat pelanggaran kalian!" ancam pemuda itu seraya mengeluarkan buku dari dalam tas kecilnya. Dia menulis selama beberapa menit dan melihat identitas milik Helen dan teman-temannya. Nampaknya pemuda tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar di sekolah.
"Maafkan kami! Ini semua hanya bercanda dan tidak serius," kilah Helen untuk mencegah pemuda itu memberikan hukuman. Suaranya terdengar panik dan kebingungan. Sophia tidak menyangka ternyata seorang Helen juga memiliki ketakutan selama di sekolah.
"Katakan saja alasanmu di sidang pelanggaran yang akan diadakan hari ini setelah makan malam," ucap pemuda itu sambil memberikan tiga buah kertas kepada Helen dan rekannya. Sophia masih bertanya-tanya apa yang sedang mereka lakukan dan dia tidak mengerti tentang sidang pelanggaran. Pemuda itu mendatangi Sophia dan melihat ke arah lututnya.
"Apakah rasanya sakit?" tanya pemuda itu dengan penuh perhatian. Sebuah mata cokelat yang menawan. Mungkin itulah gambaran yang terpancar dari wajah pemuda di hadapannya. Sophia tidak mampu berkata apa-apa selain mengangguk perlahan.
"Aku akan mengantarkanmu ke ruang kesehatan!" ajak pemuda tersebut seraya mengulurkan tangan untuk membantu Sophia berjalan. Gadis itu merasa malu dan canggung ketika ada seorang pemuda begitu baik kepadanya. Sophia merasa seakan terbang ke angkasa dengan sejuta keindahan.
"Siapa namamu?" tanya pemuda itu sambil memapah Sophia untuk berjalan.
"Sophia," jawab Sophia singkat sambil mencuri pandang ke arah pemuda berbadan tegap tersebut. Pemuda itu sangat tinggi sehingga Sophia merasa kesulitan untuk meraih pundaknya.
"Nama yang indah. Namaku Erick Thomas, tentunya kamu sudah pernah melihatku di perkenalan ketua asrama sebelumnya bukan?" tanya Erick sambil melirik ke arah Sophia yang terlihat bingung karena tidak merasa pernah bertemu dengan pemuda itu sebelumnya.
Erick memberikan senyumannya kepada Sophia. Dia belum pernah melihat gadis werewolf yang memiliki kulit seputih Sophia.
"Terima kasih," balas Sophia. Keduanya berjalan bersama menuju ruang kesehatan. Sophia merasa senang dengan perhatian yang diberikan oleh Erick kepadanya.
Mrs Dawney merawat luka di lutut Sophia. Dengan sebuah usapan lembut telah membuat gadis itu tidak merasakan perih lagi.
"Terima kasih Mrs Dawney," ucap Sophia dengan ceria. Perempuan berwajah lembut itu tersenyum dan meminta Sophia untuk berhati-hati ketika berjalan. Mereka tidak boleh ceroboh selama berada di sekolah. Sophia menyetujui saran dari perawat dan hendak berbalik untuk menjenguk sahabatnya namun Bianca sudah keluar dari ruang perawatan.
"Temanmu sudah lebih sehat dan mengatakan akan makan siang bersama di aula," jelas Mrs Dawney.
"Baiklah kalau begitu, aku akan mendatangi dirinya ke aula. Sekali lagi terima kasih Mrs Dawney," ucap Sophia dengan manis. Erick yang sejak tadi berdiri di dekat Sophia merasa senang melihat kelincahan dan keramahan yang diperlihatkan oleh Sophia.
"Terima kasih karena kamu telah mengantarku ke ruang kesehatan. Sekarang aku sudah merasa lebih baik untuk menuju ke aula," ucap Sophia di depan ruang kesehatan. Dia tidak mau merepotkan Erick yang tentunya memiliki tugas lain yang lebih penting untuk dilakukan.
"Baiklah kalau kamu merasa sudah mendingan. Aku akan menuju ke ruang kegiatan sebelum makan siang. Sampai jumpa di aula," pamit Erick seraya melambaikan tangannya kepada Sophia. Gadis itu tersenyum bahagia melihat kebaikan yang diperlihatkan Erick kepadanya.
"Dia memang pemuda yang baik," simpul Sophia sebelum beranjak menuju aula untuk makan siang. Sepanjang perjalanan, Sophia memikirkan mengenai Helen yang semakin jahat kepadanya. Dia tidak mengerti bagaimana caranya bersikap di hadapan gadis itu.
Suasana aula terlihat ramai dengan siswa yang tengah menikmati hidangan makan siang. Menu hari ini adalah daging sapi panggang dengan kentang goreng. Sophia sangat menyukai aroma yang memenuhi aula.
"Hei, kamu kemana saja? Mengapa terlambat makan siang?" tanya Bianca yang terlihat sudah ceria seperti biasanya. Gadis itu tidak menampakkan gejala sakit seperti yang dialaminya beberapa waktu yang lalu.
"Aku mengalami sedikit kejadian yang tidak menyenangkan yang membuatku berurusan dengan ruang kesehatan," jelas Sophia sembari mengambil piring makannya yang masih tergeletak di tengah meja besar. Setiap siswa sudah mendapatkan jatah makannya sehingga tidak ada yang berlaku curang dengan mengambil milik orang lain.
"Ruang kesehatan? Apakah itu ada hubungannya dengan lututmu yang diberikan plester luka?" tanya Rosie dengan penasaran.
Sophia mengangguk setuju sembari memasukkan makanan ke dalam mulutnya . Dia sudah sangat kelaparan sehingga tidak mau banyak mengobrol.
"Bagaimana kamu mendapatkan luka tersebut?" selidik Bianca.
"Seseorang mendorongku dan aku jatuh tersungkur," jelas Sophia singkat. Dia tidak melihat ekspresi kaget yang nampak dari wajah kedua sahabat dekatnya. Bianca dan Rosie saling berpandangan dan bingung siapa yang telah mendorong Sophia.
"Helen dan kedua temannya yang melakukan semua itu. Kalian tidak perlu cemas karena Erick sudah mengatur sidang pelanggaran untuk mereka yang diadakan malam ini," imbuh Sophia supaya kedua temannya tidak bingung.
"Erick?" tanya Bianca dan Rosie nyaris bergantian. Mereka takut salah dengar makanya mengulangi secara serempak.
"Iya, Erick Thomas. Dia mengaku sebagai ketua asrama dan dia juga akan mengundang Helen menghadiri sidang nanti malam," jelas Sophia. Dia sudah hampir menghabiskan setengah menu yang tersaji di atas piringnya. Dia tidak merasa terbebani kendati kedua temannya melihat dirinya dengan lekat.
"Sejak kapan kamu mengenal Erick Thomas?" tanya Bianca.
Sophia menatap ke arah Bianca dengan penasaran. Mengapa sahabatnya begitu ingin tahu mengenai perkenalannya dengan Erick Thomas.
"Dia sedang bertugas ketika melihat Helen dan kedua temannya sedang melakukan tindakan pembulian kepadaku. Hanya sebatas itu saja perkenalan kami," ungkap Sophia berterus terang.
"Ooh begitu," ucap Bianca dengan lega. Sophia bisa merasakan reaksi sahabatnya mendadak santai setelah sebelumnya terlihat tegang. Gadis itu merasa curiga dengan sikap yang diperlihatkan oleh Bianca.
"Kamu bisa melanjutkan makan sebelum kita istirahat siang," lanjut Bianca dengan ramah. Sophia membalas senyuman Bianca dengan sebuah anggukan kepala. Dia pun kembali melanjutkan makan siangnya.