Sophia memendam perasaan kesalnya pada Helen demi sahabatnya. Dia tidak mau Bianca terseret ke dalam masalah pribadi diantara dirinya dan Helen.
"Terima kasih karena kamu mau mengantarku ke ruang kesehatan. Kamu boleh kembali ke kelas," ujar Bianca dengan lesu. Gadis itu memang nampak tidak bersemangat.
"Apa kamu yakin bisa ditinggal sendirian?" tanya Sophia.
"Tentu saja, ada perawat yang berjaga disini, aku pasti baik saja," ucap Bianca meyakinkan Sophia. Gadis berkulit putih itu mengangguk dan bersiap meninggalkan sahabatnya untuk beristirahat di ruang kesehatan.
"Baiklah, Jaga dirimu!" pamit Sophia sebelum berlalu meninggalkan ruang kesehatan. Sekilas dia menatap ke arah perawat berpakaian putih yang duduk di meja sambil memeriksa beberapa berkas kesehatan milik siswa. Perawat berbadan subur itu biasa dipanngil Mrs Dawney.
"Aku permisi, Mrs Dawney!" pamit Sophia dengan sopan. Perawat itu hanya mengangguk dan membiarkan Sophia berlalu begitu saja.
Sepanjang jalan Sophia tidak bisa berhenti memikirkan sahabatnya yang sedang sakit. Sebenarnya dia ingin menemani tetapi dia juga memiliki tanggung jawab untuk kegiatan pelajaran di kelas.
Sophia masuk ke dalam ruangan untuk melanjutkan tugas mengenali beberapa macam darah yang sudah disiapkan di atas mejanya. Mr. Sean menatap ke arahnya sekilas sebelum kembali larut dalam buku-bukunya. Sejak tadi sang guru sibuk dengan beberapa berkas yang ada di hadapannya.
Sophia hendak berjalan ketika tiba-tiba hidungnya mengendus aroma darah yang menghilang dari tubuh Mr Sean. Gadis itu mengingat dengan jelas aroma darah yang terpancar dari tubuhnya tetapi mengapa sekarang menghilang tanpa bekas. Dia menatap ke arah sang guru dengan penuh pertanyaan di kepalanya.
"Apakah ada yang bisa kubantu Mrs Adam?" tanya Mr Sean.
Sophia menggelengkan kepalanya sesaat sebelum kembali ke meja kerjanya. Sekarang dia harus mengerjakan semua tugas sendirian karena Bianca sedang sakit. Secepat mungkin Sophia menyelesaikan tugasnya karena jam pelajaran akan berakhir kurang dari sepuluh menit lagi. Dia tidak mau membuat tugas pertamanya gagal.
Andrew menoleh ke arah Sophia untuk melihat apakah gadis itu sudah menyelesaikan tugasnya atau belum. Nampaknya Sophia terlalu sibuk hingga tidak membalas tatapan Andrew kepadanya. Pemuda itu terlihat mencemaskan Sophia yang terpaksa mengerjakan semuanya seorang diri.
"Teeeeetttttt," bel panjang berbunyi. Sophia menoleh ke arah teman-temannya yang bersiap berdiri untuk mengumpulkan tugas sedangkan dirinya masih belum selesai. Dia berusaha mengerjakan semampunya meski ada beberapa nomor yang belum terisi.
Andrew bermaksud untuk mendatangi Sophia ketika tiba-tiba teman lelakinya menghampiri dan mengajaknya makan siang. Andrew tidak kuasa menolak dan hanya bisa menatap Sophia dengan perasaan iba.
"Maafkan aku, Sophia," bisik Andrew lirih.
Sophia mengangkat kepalanya ketika mendengar suara Andrew. Dia merasa heran mengapa pemuda itu meminta maaf padanya. Sophia melihat Andrew sedang berjalan bersama beberapa teman lelakinya. Gadis itu masih bingung dengan ucapan Andrew yang hendak meminta maaf.
"Mungkin aku hanya salah dengar," gumam Sophia sebelum melanjutkan pekerjaannya.
"Apakah kamu sudah selesai Mrs Adam?" tanya Mr Sean kepada Sophia yang masih menulis jawaban dari tugas yang diberikan. Sophia segera bangkit dan menyerahkan buku tugasnya kepada guru yang sedang melihat ke arahnya.
"Maafkan atas keterlambatan saya dalam mengumpulkan," pinta Sophia dengan sopan kepada Mr Sean. Guru tersebut mengerti situasi yang dihadapi oleh salah satu siswa di kelasnya tersebut. Sebenarnya dia sudah mendengar beberapa desas-desus mengenai sosok Sophia tetapi dia hendak mengujinya secara langsung.
"Baiklah, aku mengerti kesulitanmu. Aku tidak akan memberikan sanksi apapun karena aku ingin mengetahui sesuatu tentangmu," ungkap Mr Sean.
Sophia mengedipkan matanya karena merasa heran dengan sikap gurunya. Sebenarnya apa yang ingin diketahui olehnya. Dulu Mr Anthony juga mengujinya dengan beberapa darah dan sekarang Mr Sean juga penasaran tentang dirinya. Sebenarnya ada apa dengan dirinya. Sophia merasa cemas dengan dirinya sendiri.
"Apa yang ingin anda ketahui tentang saya?" tanya Sophia penasaran.
"Baikah, pertanyaannya sepele. Aku hanya ingin mengetahui siapa ayahmu," ungkap Mr Sean. Sophia terkejut karena ada seseorang yang ingin mengetahui latar belakang keluarganya.
"Maaf, Mr sean tetapi aku tidak pernah bertemu dengan ayahku sebelumnya. Ibuku mengatakan ayah kandungku merasa kecewa setelah mengetahui asal usul keluarga ibu yang seorang werewolf. Dia meninggalkan ibuku ketika sedang mengandung diriku," ungkap Sophia dengan polos.
Mr sean terlihat memperhatikan setiap gerakan dari Sophia. Dia ingin menguji kejujuran dari ucapan Sophia dan ternyata dia menemukannya. Sophia memang gadis yang jujur.
"Baiklah. Aku bisa mendengar kejujuranmu dari detak jantungmu. Sekarang, apakah selama bertahun-tahun ayahmu pergi, tidak ada niatnya bertemu dengan dirimu?" tanya Mr sean.
Sophia menggelengkan kepala karena dia memang tidak pernah bertemu dengan ayah kandungya sekalipun. Meski sebenarnya dia berharap untuk bertemu namun rasa itu dipendamnya supaya tidak menyakiti perasaan ibunya.
"Aku mengenal ibumu dan dia adalah seorang werewolf yang terpandai di sekolah kala itu. Rasanya mustahil kalau seorang Liliana Adam akan tertipu rayuan manis seorang manusia biasa kecuali manusia tersebut benar-benar luar biasa," ucap Mr Sean dengan penuh keyakinan.
Sophia membelalakkan matanya karena terkejut, benarkah Mr sean pernah satu sekolah dengan ibu kandungnya.
"Benarkah anda mengenal ibu saya?" tanya Sophia.
"Tentu saja. Kamu bisa mencari foto kami dalam buku album yang tersimpan di perpustakaan sekolah. Intinya, ibu dan kakekmu bukan werewolf sembarangan. Mereka pemilik sejarah sebagai kaum werewolf terhebat yang banyak dibicarakan. Makanya aku akan kaget kalau dirimu tidak mewarisi kemampuan hebat mereka," tantang Mr Sean.
Sophia tertunduk dan merasa terbebani dengan nama besar keluarganya. Dia tidak berharap orang akan mengenal dirinya karena keluarganya melainkan ingin dikenal karena kemampuannya sendiri.
"Saya tidak sehebat mereka. Saya adalah Sophia yang tidak memiliki sesuatu yang pantas untuk dibanggakan," ucap Sophia dengan sedih.
"Jangan begitu! Sekarang katakan apa yang ada di dalam lemariku?" tanya Mr Sean. Sophia melihat ke arah yang ditunjukkan oleh sang guru. Dia tidak melihat apapun di luar lemari hanya saja hidungnya mengendus beberapa binatang hidup di dalamnya.
"Maaf, saya tidak mengetahui apa yang ada di dalam lemari. Saya hanya merasa ada hewan disana namun rasanya tidak mungkin ada hewan yang bisa bertahan di dalam lemari," jawab Sophia dengan polos.
Mr Sean terkejut mendengar jawaban dari Sophia dan seketika wajahnya menegang. Lelaki itu segera bangkit dan membuka lemarinya. Dia merasa kaget ketika melihat beberapa ekor bayi burung hutan baru menetas di dalam lemarinya. Seketika sang guru menelan ludah dan menoleh ke arah Sophia.
"Anda menyimpan telur burung di dalam lemari?" tanya Sophia heran.
Mr Sean mengangguk dan kembali melihat ke arah burung-burung kecil yang nampak sedang mencari induknya.
"Kupikir pembicaraan kita hari ini cukup sampai disini. Aku harus menyerahkan bayi burung ini kepada penjaga sekolah supaya bisa diantar ke dalam hutan. Terima kasih atas bantuanmu," ucap Mr Sean.
Sophia segera pamit undur diri dan berlalu dari ruang kelas dengan berseri-seri. Dia senang melihat beberapa anak burung yang tadi berada di dalam kelas. Rasanya ingin memiliki binatang peliharaan sendiri.
Sophia terjatuh karena tiba-tiba ada yang mendorong tubuhnya hingga tersungkur ke lantai. Gadis itu merasakan lututnya memar karena berbenturan dengan lantai.
"Astaga, sakit sekali," keluh Sophia sambil membersihkan tangan dan lututnya yang kotor. Gadis itu menatap ke arah tiga siswi yang berdiri di hadapannya.
"Helen, apa yang kamu lakukan?" tanya Sophia heran.
"Hei, kamu! Sudah berulang kali kukatakan untuk tidak membuat masalah denganku tetapi mengapa kamu terus menggoda kesabaranku?" tuduh Helen. Sophia tidak mengerti maksud dari ucapan Helen kepadanya.
"Aku tidak mengerti maksudmu?" tanya Sophia.
"Jangan berpura-pura sok lugu! Aku sudah mengetahui niat busukmu untuk membuatku dihukum di sekolah. Kamu kan yang sengaja menyembunyikan buku tugasku? Sejak semalam aku sudah mengerjakannya dan pagi ini buku itu raib begitu saja. Kalau bukan kamu yang mengambil lalu siapa lagi?" tuduh Helen.
Sophia menggelengkan kepalanya untuk menolak segala tuduhan namun sepertinya tidak mempan untuk Helen dan teman-temannya.