"Semuanya tidak ada yang ketinggalan 'kan, Pak?" tanyaku setelah sampai di stasiun kereta api.
"Tidak ada. Tapi seharusnya kamu tidak perlu belikan oleh-oleh sebanyak ini."
"Tidak apa-apa, Pak. Untuk keluarga di kampung." Aku tersenyum.
"Bapak tidak enak padamu. Kami datang ke sini hanya untuk menyelesaikan masalah kalian. Tapi malah merepotkan seperti ini."
"Apanya yang merepotkan, Pak? Aku tidak repot sama sekali."
Bapak dan Ibu saling melempar pandang, lalu kembali menatapku sendu. Ibu maju mendekat, lalu memelukku dan kembali terisak.
"Bu," panggilku seraya menepuk-nepuk lembut punggungnya.
"Ibu sedih harus kehilangan menantu sebaik kamu, Aina. Ibu ikut sakit hati dengan kehancuran rumah tangga kalian."
"Maafkan aku, Bu," lirihku dengan mata berkaca-kaca.