San Fransisco, United State of America
Julia POV
Seorang wanita turun dari mobil sedan BMW 320i keluaran tahun '90-an dengan satu koper besar di tangannya. Ia tengah memandang sebuah rumah kecil namun terlihat nyaman untuk di tinggali di depannya. Wanita tersebut menghirup udara sebanyak-banyaknya dan mengeluarkannya lewat mulut secara perlahan.
"Hari baru sudah mulai, saatnya membuka lembaran baru."
Ia berjalan menuju rumah tersebut namun, langkahnya terhenti saat ia mendengar seseorang memanggilnya. Julia menengok ke belakang dan mendapati seorang wanita sebaya dengannya sedang berlari kecil menghampirinya. "H-halo? Apa... lo tetangga di sini?" Julia hanya menganggukkan kepalanya.
Orang tersebut tersenyum dan menatapnya. Julia hanya menghela napasnya kasar. "Kalo gak ada yang penting, gue mau..." omongan terpotong saat wanita di hadapannya tersenyum dan mengulurkan tangannya.
"Irene Iskandarita Putri. Panggila aja gue Irene." Julia hanya menganggukkan kepalanya tanpa membalas uluran tangan Irene.
"Gue Julia," ucapnya singkat.
Irene hanya menganggukkan kepalanya dan menarik uluran tangan tersebut. "Mana mobil pindahan lo? Kok gak ada... eh! Tunggu!" Irene mengejar Julia dan ia membiarkan pintunya terbuka.
"Gue pindahan dari Indonesia. Lagian kalo..." Irene tidak menggubris perkataan Jullia ia berjalan menghampiri salah satu kotak dan membukannya. Irene menggendong seekor anjing husky dewasa yang kini sedang menjilat-jilat wajahnya.
Irene hanya tertawa geli, sedangkan Julia hanya bisa menghela napasnya. "Wolfie, stop!" Mendengar ucapan Julia, Wolfie langsung menghentikannya. Irene menurunkan Wolfie dan membiarkan anjing tersebut berjalan ke arah pemiliknya.
"Gapapa kok. Gue dog person orangnya." Ucap Irene sambil tersenyum dan mengusap kepala Wolfie. Julia hanya menghela napasnya panjang dan berjalan menuju dapur. Ia membuka salah satu kotak yang berisi peralatan makan dan gelas.
Dengan hati-hati, ia membukannya dan menyalakan keran. "Maaf gue cuman punya air putih," ucapnya sambil menyalakan keran.
Irene hanya tertawa kecil dan mengangguk. "Asal lo darimana? Kalo gue... dari Indonesia. Keluarga gue mutusin buat menetap di sini." Julia tidak menjawab pertanyaan Irene. Ia masih mengeluarkan peralatan makan dan menatanya.
Irene hanya bisa diam dan menatap Julia. "Lo udah... dapet kerja belom?" Irene berusaha untuk tidak berhenti mengobrol dengannya. Julia sesekali menengok dan ke belakangnya.
Julia hanya menganggukkan kepalanya. "Udah kok. Gue kerja di Kenwood Wedding Orginizer, kenapa?"
Irene hanya menggelengkan kepalanya dan menyandarkan punggungnya. "Enggak apa-apa kok. Cuman tanya aja," ucapnya. Julia menghampiri Irene dan menyodorkan segelas air putih. Irene tersenyum dan menerimanya.
"Maaf, gue gak bisa lama-lama ngobrolnya," ucap Julia sambil meletakkan vas bunga di tengah-tengah coffee table tersebut. Irene menganggukkan kepalanya dan meletakkan gelas kosong tersebut di meja.
Julia berjalan mengikutinya dan membukakan pintu untuk tamu pertamanya tersebut. "Kalo ada apa-apa... lo bisa samperin ke rumah gue. Rumah gue dua blok dari sini kok."
Julia hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan. "Gue bakalan inget kata lo kok. Makasih udah mau mampir dan... maaf masih berantakkan."
Irene hanya tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya. Matanya kini menatap mata hijau Julia dan tersenyum. "Kalo gitu... gue pamit dulu." Julia menganggukkan kepalanya. Julia masih menatap Irene dari ambang pintu.
Ia menunggu Irene hingga ia benar-benar sudah tidak terlihat kembali, lalu ia menutup pintu. Julia menghirup napasnya dalam-dalam dan mengeluarkannya dari mulut perlahan.
"Aku tidak ingin orang lain keberadaan ku di sini. Jadi aku mohon untuk... tidak terlalu mencurigakan." Julia menatap ke arah pojokan ruangan dan menghela napasnya. Ia menatap bayangan hitam yang tertutup sinar mentari sore, membuat mata biru yang kini sedang menatapnya bersinar.
"Apa..." Julia menggelengkan kepalanya.
"Aku hanya ingin memiliki kehidupan normal, Walter, untuk saat ini." Seakan mengerti, bayangan tersebut berjalan mundur dan menghilang.
Rose POV
Rose menyandarkan punggungnya dan menatap ke arah dokumen yang ada di mejanya. Suara ketukan pintu membuatnya langsung menegakkan badannya. "Masuk!" Dua ekor serigala berbulu hitam gelap berjalan menghampiri meja kerjanya.
Seakan mengerti, Rose hanya menganggukkan kepalanya dan saat itu seseorang masuk dan membungkuk memberikan hormat kepada dua ekor serigala di depannya. Seorang pria memasuki ruangan tersebut dengan tergesa-gesa.
"Anda...."
"Cepat cari tahu siapa dia, Han. Jika perlu beli properti di sekitar tempat dimana ia tinggal!" Pria yang bernama Han hanya bisa menganggukkan kepalanya dan segera melakukan apa yang ia perintah.
Rose berjalan mendekat kedua serigala berbuu hitam tersebut dan mengusap-usap kepalanya. "Kalian berhati-hatilah, jangan terlalu sering menampakkan diri." Kedua serigala tersebut hanya menganggukkan kepalanya dan mereka berdua langsung pergi melewati jendela yang terbuka di belakangnya.
Rose menghela napasnya dan meletakkan kembali foto tersebut di mejanya dan menatap pemandangan kota San Fransisco dari jendela besar yang ada di kantornya.
Julia POV
Julia merebahkan tubuhnya di lantai dan menatap lekat-lekat atap rumahnya. Ia menyamping dan menatap Wolfie yang sedang tertidur di sampingnya dengan lelap. Julia hanya tersenyum dan mengusap-usap kepalanya.
Suara ketukan di pintu membuat Wolfie bangun dan berjalan menghampiri pintu. Ia menggaruk-garuk pintunya dan menggonggong. Julia hanya menghela napasnya dan membukakan pintu. "Oh, Irene."
Irene hanya tersenyum dan melambaikan tangannya. "Hai tetangga dingin," sapa Irene dengan senyuman menghiasi wajahnya.
Julia mempersilahkannya masuk, lalu ia menutup pintunya. "Ada apa ke sini?" Irene menghela napasnya dan menatap Julia dari kaki hingga kepala.
Julia hanya menaikkan satu alisnya sambil menatap Irene. "Umm... nyokap gue ngundang lo nih buat makan malam." Julia hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.
"Lo... bisa gak bilang ke nyokap lo kalo..."
"Nyokap gue terlanjur masak banyak ini. Masa di buang? Kan sayang." Julia hanya bisa menghela napasnya kasar. Ia menatap Wolfie yang kini sedang balik menatapnya. "Anjing lo gapapa kok di bawa. Lagian... gue juga punya peliharaan anjing juga. Namanya Max."
Julia menganggukkan kepalanya."Gue... mandi dulu aja gimana? Apa... masih bisa nunggu?" Irene menggelengkan kepalanya. Julia hanya bisa menghela napasnya kasar dan tersenyum getir. "Yaudah... gue mau ambil leash-nya Wolfie dulu."
Julia berjalan menuju dimana ia menyimpan leash-nya dan memasangkannya di tengkuk Wolfie. Ia juga tidak pernah lupa untuk memberikan treat kepada Wolfie dan mengusap-usap kepalanya. "Udah siap?"
Julia hanya menganggukkan kepalanya. Mereka bertiga berjalan keluar dari rumah Julia. Sang tuan rumah juga tidak lupa untuk mengunci pintu utama dan meletakkannya di tempat yang hanya di ketahui olehnya saja.
"Udah... gak usah di kunci-kunci segala." Julia hanya mengerutkan keningnya. "Di sini tuh, lingkungannya aman... jarang kok ada yang kehilangan barang."Julia hanya menganggukkan kepalanya dan ia masih berjalan bersampingan dengan Irene.
"Masa se aman itu?" Tanya Julia membuka percakapan. Irene hanya menganggukkan kepalanya dan ia berjalan mundur di hadapan Julia.
"Iya..." Irene tidak sengaja tersandung batu. Julia langsung menahan lengan, lalu menariknya.
"Kalo jalan... mending lo liat ke depan deh. Kasian juga kalo lo jatoh. Sakitnya gak seberapa, tapi malu banget." Irene hanya tertawa kecil dan tersenyum.
"Lo ada benernya juga sih." Irene dan Julia melanjutkan perjalanan mereka. "Udah punya pacar?" Pertanyaan Irene membuat Julia terdiam sejenak. "Kalo gak mau di jawab..."
"Gue baru putus dari mantan gue," ucapnya.
Irene hanya terdiam dan menganggukkan kepalanya. Keadaan kini menjadi canggung. Julia hanya diam dan sesekali menatap ke atas langit dan menghela napasnya kasar. Mereka sudah tiba di sebuah rumah bergaya minimalis.
Irene langsung membuka pagarnya dan mempersilahkan Julia untu masuk ke dalam. Julia hanya diam saat ia melihat rumah Irene di pagar. "Kalo misalnya aman... kenapa rumah lo di pagerin?" Irene tidak menggubris pertanyaan yang di lontarkan oleh Julia.
Mereka berjalan menuju teras rumah tersebut dan membiarkan Irene membuka pintunya.
"Bark... bark... bark..."
Julia mengerutkan keningnya dan menatap Irene. Irene hanya bisa menghela napasnya kasar dan menatap Julia.
"Gue... keknya pulang dulu ya? Kalo ada lebih makanannya tolong aja anter ke rumah gue, ini... keknya dia laper." Julia langsung buru-buru keluar dari perkarangan rumah milik Irene. Wolfie terus menggonggong tanpa henti.
"Wolfie. Good boi," panggil Julia sambil mengusap-usap kepalanya dengan lembut. Wolfie kemudian diam dan menatapnya. Julia hanya menghela napasnya kasar dan mengangguk. "Aku merasakan hal yang sama... semuanya terlalu janggal bagiku."
Julia mengusap-usap dadanya dan berusaha untuk mencerna apa yang terjadi barusan. Di rasa sudah tenang, Julia langsung bergegas berjalan menuju rumahnya. "Buat makan malam hari ini mending delivery order kali." Julia mengeluarkan handphone miliknya.
Di depan rumahnya terdapat sebuah mobil Mercedes berwarna hitam terparkir tepat di depan perkarangan rumahnya. "Siapa lagi sih!? Banyak bener yang ngedatengin gue." Gumamnya.
Julia langsung menghampiri wanita tersebut dan menepuk pundaknya. "Um..."
"Aurellia," ucap Rose sambil menatap wajahnya.
Julia mengerutkan keningnya. "Saya bukan..." wanita tersebut langsung mencium bibir Julia. Julia hanya bisa membelalakkan matanya. Rose mendorong pundaknya pelan dan menatap matanya lalu, tersenyum.
"Aku membawakan hadiah untuk mu," Julia menatap ke arah sebuah paper bag cokelat dan menghela napasnya kasar.
"Ma-maaf, mbak? Saya bukan..." Rose langsung berjalan menuju dimana ia memarkirkan mobilnya dan pergi dari perkarangan rumahnya.
Julia hanya bisa terdiam dan menatap paperbag cokelat tersebut dengan nanar. "Apes banget hari ini gue." Julia hanya menghela napasnya kasar. Ia masuk ke dalam rumah dengan Wolfie dan satu paperbag cokelat di tangannya.
.
.
.
.
.
.
Jangan lupa untuk share, vote, komen, dan tambahkan ke library! Karena setiap hal kecil yang kalian lakukan dapat membantu Author makin termotivasi untuk menulis.