Aaron Liu baru saja menghabiskan malam bersama beberapa temannya sebelum ponsel miliknya berdering keras, benar-benar mengganggu kesenangannya.
"Ada apa, Ma?" sahutnya pada seseorang yang berada di ujung telepon.
"Apa maksud, Mama? Aku akan pulang ke mansion sekarang juga." Pria muda itu mengambil beberapa lembar uang di dalam dompet dan melemparkannya ke atas meja. Aaron Liu tak peduli saat dua orang sahabatnya memanggilnya.
Dengan terburu-buru, ia masuk ke dalam mobil menuju mansion di mana kedua orang tuanya tinggal.
Tak berapa lama, sampailah dia di sebuah rumah besar dan mewah dengan pagar tinggi yang cukup berkelas. Aaron Liu menghentikan mobilnya tepat di depan pintu utama dari rumah milik keluarganya itu. Begitu masuk ke dalam rumah, terlihat seluruh pelayan dan juga pekerja di rumah mewah itu sedang berkumpul bersama sang empunya rumah.
"Untuk apa kalian semua berkumpul di sini?" tanya Aaron Liu dengan wajah polos karena sama sekali tak mengetahui apapun tentang keluarganya.
Seorang wanita yang terlihat masih sangat cantik dengan wajah yang terlihat menawan berjalan mendekatinya. Dia adalah Jenny Liu, ibu dari pria yang baru saja datang dengan wajah bingung.
"Aaron ... "
Wanita itu menatap sosok pria yang sangat disayanginya dan selalu dimanjakan seumur hidupnya.
"Keluarga kita bangkrut, semua telah habis tak bersisa. Apartemen yang kamu tempati juga akan disita oleh bank. Kita benar-benar kehilangan segalanya," jelas Jenny Liu dengan wajah sedih dan tak bersemangat.
"Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah Papa pernah mengatakan harta kita tak akan habis selama tujuh turunan?"
Aaron Liu masih tak dapat mempercayai semua yang baru di dengar. Dia bisa melihat jika wanita yang sudah melahirkannya itu juga merasa hancur karena kebangkrutan keluarganya.
Tanpa sadar, Aaron Liu menarik rambutnya sendiri. Pria itu merasa sangat frustasi akan takdir di dalam keluarganya. Dengan segala kekuatan yang tersisa dan dalam keputusasaan yang terbesar di dalam hidupnya, ia menghampiri ayahnya yang duduk terdiam dengan pandangan kosong di sebuah kursi di sudut ruangan.
"Apakah semua yang terjadi adalah nyata, Pa? Bagaimana dengan pernikahanku yang sebulan lagi akan digelar?" tanyanya pada pria tua yang terlihat kehilangan harapan atas hidupnya.
"Kamu bisa mendatangi calon istrimu dan menjelaskan semuanya. Tentu saja Miranda akan tetap menerimamu jika dia benar-benar mencintaimu," terang Johnny Liu, ayah kandung dari Aaron Liu. Sebagai orang tua, dia hanya bisa mendoakan yang terbaik bagi putranya. Dia tak rela jika anak lelaki satu-satunya itu terjebak dalam cinta palsu.
"Miranda sangat mencintaiku, dia pasti akan menerimaku meskipun keluarga kita telah bangkrut," tegas Aaron Liu dengan sangat yakin.
Aaron Liu menyakini jika tunangannya itu tak akan meninggalkan dirinya hanya karena keluarganya telah bangkrut. Terlebih, hubungan mereka terjalin cukup lama. Tak ada alasan bagi Miranda Choi untuk meninggalkan dirinya.
Johnny Liu bangkit dari tempat duduknya lalu menepuk pundak anak laki-laki di keluarganya.
"Papa hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu. Besok pagi, kami berdua akan berangkat ke Pulau Chyou. Kami akan mengelola kebun anggur peninggalan kakekmu."
Sebuah senyuman tulus dan juga penuh kasih sayang ditunjukkannya oleh Johnny Liu. Ia berharap jika anak laki-lakinya itu bisa melewati masa-masa terburuk dalam keluarganya.
"Maafkan, Ayah. Tak bisa lagi memberikan kemewahan dan hidup yang layak untukmu," sesal pria tua itu dengan wajah sedih dan kecewa terhadap dirinya sendiri.
Jenny Liu mendekati anaknya lalu menggenggam kedua tangan anak sulungnya.
"Mama sudah menyuruh seseorang untuk membereskan semua barangmu di apartemen, sebentar lagi mereka pasti akan datang," terangnya dengan tidak bersemangat. Sebagai seorang ibu, ia merasa gagal untuk memberikan kehidupan yang baik untuk putranya. "Lebih baik besok pagi, kamu ikut kami berangkat ke Pulau Chyou. Kita sudah tak memiliki apapun di sini," lanjut Jenny Liu sambil menatap lembut wajah anaknya.
"Kalian tak perlu mengkhawatirkan aku. Ada sebuah rumah di pusat kota yang baru kubeli untuk Miranda beberapa waktu lalu. Untuk sementara waktu aku akan tinggal bersama tunanganku. Kami berdua bisa mengembangkan bisnis fashion yang sedang dijalankan olehnya." Aaron Liu merasa tak mengkhawatirkan apapun. Dia merasa jika selama ini sudah memberikan segala kemewahan untuk tunangannya.
Pria itu berpikir jika sekarang saatnya dia menikmati apa yang sudah ditaburnya. Sebuah rumah mewah di pusat kota, bisnis fashion yang sedang naik daun dan berbagai barang mewah sudah diberikannya pada sang tunangan.
Jenny Liu akhirnya bisa tersenyum dengan sangat lega. Paling tidak dia bisa memastikan jika anaknya akan menjalani hidup dengan baik.
"Mama percaya padamu. Kabari kami jika terjadi apa-apa denganmu. Kami harus beristirahat duluan." Wanita itu mengajak suaminya untuk beristirahat ke kamar. Mereka berdua harus mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang ke Pulau Chyou.
Di dalam kamar miliknya, Aaron Liu menatap sebuah pigura besar yang memperlihatkan kemesraannya dan Miranda Choi di pesta pertunangan mereka. Dia tak pernah menyangka jika keluarganya bisa bangkrut dan tak memiliki apapun lagi. Jalan satu-satunya yang ada di benaknya adalah sang tunangan. Toh ... semua yang dimiliki oleh perempuan itu berasal dari keluarganya. Secara tak langsung, dia berhak untuk merasa memilikinya juga.
Pagi-pagi sekali, ayah dan ibu Aaron Liu sudah bersiap pergi. Beberapa kali mengetuk pintu kamar anaknya tak mendapatkan jawaban, membuat pasangan itu pergi tanpa berpamitan pada anak lelakinya. Hanya sebuah amplop dan catatan kecil sekedar ucapan selamat tinggal yang sengaja diberikan untuk sang anak.
Tak berapa lama, Aaron Liu keluar dengan penampilan yang cukup rapi. Ternyata dia baru saja selesai mandi. Begitu keluar dari kamar, seorang pelayan mendatanginya.
"Selamat pagi, Tuan muda. Tuan dan Nyonya besar baru saja berangkat ke Pulau Chyou. Nyonya besar menitipkan ini untuk Anda." Pelayan itu memberikan sebuah amplop kepada Aaron Liu. "Kalau begitu saya pamit Tuan. Selamat tinggal." Pelayan wanita itu langsung keluar dari rumah majikannya.
Semua pelayan dan pekerja di rumah besar itu telah diberhentikan. Sang empunya rumah beralasan tak mampu mempekerjakan mereka lagi.
Aaron Liu membuka amplop itu dan mendapati beberapa lembar uang dan juga secarik ucapan selamat tinggal dari ibunya. Setelah membacanya, ia langsung membawa sebuah koper miliknya dan meninggalkan rumah besar yang selama ini ditinggalinya.
Aaron Liu memanggil sebuah taksi untuk mengantarkan dirinya ke rumah Miranda Choi yang berada lumayan jauh dari tempat tinggalnya itu.
Hampir satu jam perjalanan, akhirnya sampai juga Aaron Liu di depan rumah yang cukup mewah yang pernah dibelinya untuk sang kekasih. Dengan yakin dan cukup bersemangat, ia berjalan memasuki gerbang tinggi yang sedikit terbuka itu. Melangkahkan kakinya menuju pintu utama, rasanya ia sudah tak sabar ingin berjumpa dan memeluk tunangannya.
Belum juga sampai di depan pintu, Miranda Choi sudah keluar dengan wajah cantik dan juga penampilan yang anggun seperti biasa. Perempuan itu memberikan tatapan aneh pada tunangannya.
"Untuk apa kamu datang ke rumah ini?" tanya perempuan itu sinis dengan wajah tak senang. Seolah Miranda Choi tak menginginkan kehadiran Aaron Liu di rumah itu.