"Bentar, Sury. Jangan terburu-buru. Em…"
"Ya, apa lagi Revan?"
Wajah Revan seketika terlihat begitu iba. Ia tadinya sudah berpikir tingkat percaya diri yang tinggi bahwa Sury akan merasa bahagia ditelfon olehnya.
Ternyata benar kata orang. Sury salah satu perempuan yang tidak mudah diambil hatinya. Padahal, Revan sebenarnya naksir diam-diam dengan wanita cerdas itu.
"Lu ke rumahnya Ica nanti malam naik apa?"
"Sama kakak gue. Dia antar gue. Kenapa?"
"Em.. kalau kita barengan saja bagaimana?"
"Gak makasih!"
TIIIT!
Sambungan telfon diputuskan sepihak oleh Sury. Revan menghela nafas pasrahnya dan mengatupkan bibirnya disana. Suci dan Ira kompak meneuk-nepuk punggung teman kelasnya itu.
"Kasihan sad boy, ternyata Sury ogah sama lu," kata Suci.
"Makanya, Revan. Lu bareng gue aja. Dijamin tidak ada penolakan dariku. Aneh juga tuh Sury. Masa cowok tampan begini ditolak. Sok cantik banget gak sih dia, Suci?" tanya Ira menatap Suci.
"Iya, muka standar, sok jual mahal,"
Revan berdecak lidah dan tidak terlihat lagi banyak berbicara. Batinnya meringis sesaat. Tapi walau bagaimana pun dinginnya Sury ke dia, Revan pasti tidak akan goyah.
'Baru permulaan. Dicoba terus,' kata Revan menyemangati dirinya.
"Sudah ya, gaes. Gue mau ke Adit. Gue mau pulang sekarang," pamit Revan.
"Oke, tapi nanti malam jadi bareng ke rumah Ica 'kan?" tanya Ira was-was dan penuh harap.
"Iya, terserah kamu saja. Nanti gue jemput," jawab Revan berlari keluar.
"Yuhuuu," Ira bersorak bahagia. Suci yang mlihat tingkah temannya itu hanya bisa menutup mata. Sangat memalukan bagi Suci dekat-dekat dengan teman heboh macam Ira.
***
"Woy, Bro. Lu ngapain disini?" sapa Revan di dalam mobil.
"Nungguin lu. Sekalian terbebas dari wanita di dalam sana,"
"Maksud lu si Ira dan Suci?"
"Lebih tepatnya sih Ira. Dia maksa banget mau diajak bareng ke rumah Ica," jawab Adit malas.
Revan tertawa lepas. Sial, yang menjadi tumbal kali ini adalah dirinya.
"Lu tenang aja, Bro. Ira bisa bernafas lega dan tidak mengejarmu untuk beberapa saat,"
"Kenapa begitu?" tanya Adit terheran.
"Gue yang pergi bareng dia ke rumah Ica," jawab Revan lesu.
"Hahaha, thanks, Bro. Lu memang selalu menjadi penyelamat,"
"Terpaksa, Bro. By the way, lu sendiri nanti malam ke rumah Ica dengan siapa?"
"Rena," jawab Adit antusias.
"Memangnya lu sudah janjian?"
"Belum, tapi gampanglah. Nanti tinggal datang ke rumahnya lebih cepat,"
"Ngasih surprice lu?"
Adit tertawa renyah mendengar.
"Belagak lu, Rev. Sudah kayak orang dewasa banget,"
"Masalahnya gini, bro. Kalau lu belum menghubungi dan janjian dengan Rena, mending lu hubungi sekarang deh," saran Revan dengan wajah serius.
Adit sejenak terdiam. Tidak kepikiran jika dirinya harus menghubungi Rena. Yang ia tau, Rena itu orangnya tidak pernah menolak. Jadi untuk apa bagi Adit mengabari Rena. Toh ia sudah pasti tau jawabannya juga.
Revan terlalu bersemangat. Ia lalu memberikan ponselnya ke Adit.
"Nih lu coba hubungi Rena dulu. Barangkali aja nasib lu sial kayak gue,"
"Memangnya lu mendapatkan kesialan apaan?'
Revan menarik nafas panjang. Ia bersandar di jok mobil dengan perasaan jengkel.
"Gue tadi telfon Sury. Eh gak taunya gue pikir dia bakalan mau diajak bareng ke pesta Ica. Malah ditolak mentah-mentah. Apesnya, Ira deh yang menemani,"
"Hahaha, itu mah karena Sury memang anti sama lu," jawab Adit santai.
Ia lalu mencari kontak Rena di ponsel Revan. Sahabatnya Adit itu tau saja jika ponsel Adit tidak menyala karena lowbat.
"By the way, lu kenapa bisa tau ponsel gue?" tanya Adit berbasa-basi sambil menunggu sambungan telfon di Rena.
"Tadi gue telfon lu tapi gak tersambung. Ya sudah, gue langsung paham,"
Adit mengangguk-angguk. Kemudian sambungan telfon pun terhubung di seberang sana.
"Halo, Adit?" sapa Rena lebih dulu.
"Eh, Ren. Nanti malam gue jemput di rumah lu, ya? Kita bareng pergi ke rumahnya Ica,"
"Okey, siap,"
"RENA!"
Tiba-tiba mamanya Rena menyela pembicaraan anaknya. Adit yang mendengar suara mamanya Rena terdiam disana dan hanya mendengarkan apa yang diperbincangkan dibalik sambungan telfon itu.
"Itu yang menelfonmu Adit 'kan?" tanya mamanya Rena kepada anaknya.
Rena langsung menjauhkan ponselnya ke telinga. Lalu melihat mamanya dengan tatapan penasaran.
"Iya. Kenapa memangnya, Ma?"
Rena bertanya sepert itu karena Ika langsung berteriak lantang saat mendengar teriakan menggema dari mamanya saat mendengar Rena menyebut nama Adit.
"Sini, berikan ponselnya sama mama," tegas Ika.
Rena terlihat pasrah saja disana. Ia memberikan ponselnya ke Adit.
"Halo, Nak Adit. Ini tante, mamanya Rena,"
"Iya, Tante,"
"Kamu tidak usah mengajak Rena pergi bersama ke rumah temanmu. Nanti tante yang mengantar Rena kesana,"
"Oh... ba-baik, Tante," ucap Adit sedikit tergugup.
Suara mamanya Rena terdengar keras disana. Sepertinya ada yang tidak beres Adit rasakan.
"Ma," desah Rena kebingungan.
Mamanya pun langsung mematikan ponsel. Disana ia menatap anaknya dengan kesal.
"Gak usah pergi sama Adit! Mana sudah malam! Masa jalan berduaan sama laki-laki?"
Rena mengerucutkan bibirnya. Maksudnya, mustahil jika itu alasan mamanya melarang. Rena selalu keluar bersama Adit. Tapi dengan tujuan yang jelas. Misal Adit yang datang ke rumahnya untuk sekedar belajar. Atau Adit dan Rena ke museum untuk urusan organisasinya. Harusnya, Ika bisa mempercayai anaknya seperti itu.
"Ma, mama lagi gak kesambet sesuatu?" selidik Rena.
"Kesambet apa, Rena? Sudahlah, mama mau nimbang botol dulu," ketus Ika disana.
Sebenarnya Ika memang melarang Adit dekat dengan Rena. Padahal sebelumnya sudah memaafkan kesalahan Keny.
Tapi gara-gara persoalan mamanya Adit yang mencibirnya sebagai pelakor dan terjadi kesalahpahaman, membuat Ika mencari cara untuk menjaga jarak antara anaknya dengan anaknya Keny itu.
Sekali lagi, Ika tidak mau Rena tau masa lalunya antara dirinya dengan ayahnya Keny.
Sementara di tempat Adit, ia mendadak kebingungan. Revan pun terlihat kebingungan menatap Adit.
"Lu kayak dibenci sama mamanya Rena, Dit," ujar Revan menduga-duga.
"Perasaan mamanya Rena gak terlalu ambil pusing permasalahan kemarin. Harusnya sih mommy yang menggebu-gebu melarang. Kok malah mamanya Rena lagi yang begini?" tanya Adit ikut kebingungan.
"Sudahlah. Yang penting kita semua berkumpul nanti malam di acara Ica." ucap Revan memberi semangat.
Walaupun terdengar menenangkan jawaban Revan, tetap saja Adit merasa belum tenang. Ia kembali memikirkan jika pasti ada hal lain yang terjadi. Bisa saja mamanya kembali berulah. Makanya sikap mamanya Rena makin marah juga.
'Gue harus kasih tau mommy' pikir Adit disana.
"Jalan, Bro. Jangan mengkhayal. Nanti lu kerasukan!" titah Revan bernada meledek.
Adit langsung menggeleng kepala dan mengerdipkan matanya secepatnya. Ia tidak sadar sibuk dengan jalan pikiran. Adit pun terkesiap memutar kunci mobil.
"Siap!" kata Adit.
TO BE CONTINUED