Deon baru saja pulang dari sekolah dengan emosi yang bergemuruh. Aisha benar-benar keterlaluan! Setidaknya, jika dia tidak menyukai Beni. Jangan menjelekkan namanya di papan mading seperti itu. Itu sungguh memalukan!
Saat Deon berjalan hendak menuju rumahnya, samar-samar terdengar suara Beni dalam semak-semak. Ia tampak merintih meminta pertolongan dari orang lain.
"Tolong.. Tolong aku.." lirih Beni.
Deon yang menyadari ada suara minta tolong pun kemudian langsung mencari keberadaan Beni. Dan, ditemukanlah Beni dengan banyak sayatan di badannya. Ia sedang meringkuk memeluk dirinya sendiri sekarang.
"Beni?! Apa yang terjadi?!" tanya Deon kaget.
"I.. Bu.. Ku... Marah.. Padaku.. Dia.. Hampir saja... Mencin..cangku," ucap Beni terbata-bata.
Deon terpaku diam. Salahnya tadi dia tidak menolong Beni. Tapi, bukankah Deon membenci Beni sekarang? Hanya karena dirinya memiliki penyakit kulit yang menjijikkan. Bahkan dengan luka sayatan yang kini ada di tubuhnya, kulit itu justru malah mengeluarkan bau nanah yang hampir saja membuat Deon muntah.
"De.. On... To... Long... Aku..." rintih Beni dengan mencoba menggapai lengan Deon.
Deon masih berperang dalam batinnya. Ia masih digeluti oleh amarah dan bingung. Ia ingin membantu Beni. Tapi, ia masih ragu dengan perasaannya.
"De... On.." panggil Beni kembali dan baru saja lengan Beni menggenggam lengan Deon. Deon langsung menepisnya.
"Urus saja masalahmu sendiri. Karenamulah, aku mendapatkan banyak masalah dalam hidupku. Ayah dan ibuku benar, seharusnya aku dari dulu tak payah mengenalmu. Aku membencimu, Beni!" tegas Deon kemudian meninggalkan Beni yang sedang sekarat sekarang.
Beni menatap sayu kepergian Deon. Kini, ia kesepian. Tak ada yang membantu dirinya dan tak ada satu pun orang yang menginginkan dirinya hidup. Deon kini telah membenci dirinya.
"Aku membencimu, Beni!"
Kata-kata itu terulang dalam kepala Beni. Satu-satunya orang yang menjadi harapan bagi kelangsungan hidup Beni hanyalah Deon. Tapi, kini tak ada.
Tak ada satu pun cinta hadir dalam hidup Beni. Bahkan wanita sekali pun tak akan ada yang peduli dengan kondisinya yang seperti ini.
Beni menangis kala itu juga. Ia bukan hanya membenci semua orang. Tapi, membenci dirinya sendiri juga. Tanpa semua orang sadari, inilah titik terendah dalam hidup Beni.
***
Deon sampai ke rumah dan disana sudah ada ayah dan ibunya, juga Lia yang asyik bermain ayunan. Deon hendak masuk ke dalam kamar namun lagi-lagi dirinya dihadang oleh kedua orang tuanya.
"Apakah Aisha masih membencimu?" tanya Ibu Deon.
"Kenapa kau menanyakannya? Kami sudah putus," jelas Deon malas.
"Putus?! Bukankah baru kemarin kau mengenalkannya pada kami?" tanya ibu Deon kaget.
"Baguslah jika kau putus, itu tandanya kau bisa lebih fokus mengejar impianmu daripada wanita tak jelas itu!" tegas ayah Deon.
"Ya, kupikir juga begitu," ucap Deon seraya masuk ke dalam kamarnya.
"Tapi, mau sampai kapan Deon tak diperbolehkan mengenal cinta?" tanya ibu Deon kini mulai berargumen dengan ayahnya.
"Dia masih remaja. Belum waktunya dan kekasihnya mau diberi apa? Uang jajannya? Aku mempersiapkan Deon agar menjadi laki-laki sempurna!" tegas sang Ayah.
"Lagipula, mereka baru berteman dan.. Apa? Putus? Jadi, Deon membohongi kita jika Aisha adalah temannya?" tanya Ibu Deon merasa dibodohi.
"Lupakan soal itu. Kita harus fokus mendidik Deon menjadi laki-laki sejati. Aku tak mau dia seperti keluarga Beni. Menjijikkan! Tidak bermoral dan tidak beretika!" ucap Ayah Deon.
"Kau benar, kita harus menjadikan Deon anak yang sempurna," sahut ibu Deon.
Di dalam kamar, Deon mendengarkan itu semua dengan jelas. Mereka menginginkan hanya kesempurnaan baginya. Mereka tak mau melihat Deon yang lemah.
Deon menjambak rambutnya frustasi. Salahkah keputusannya kali ini? Tapi, ia tak bisa menahan sakit jika terus peduli pada Beni. Tapi, bagaimana dengan keadaan Beni nantinya? Entahlah, Deon benar-benar diambang keraguan sekarang.
***
Hari menjelang malam, Beni tertatih-tatih karena banyaknya luka yang ibunya torehkan kepadanya. Beni merasakan sakit luar dan dalam.
Ia tak pernah menyangka jika orang yang telah menjadi kepercayaannya kini mengkhianati dirinya. Dan meninggalkan dirinya sendirian.
Beni membenci semua orang. Membenci dirinya yang terlahir tidak sempurna. Membenci semua cinta yang akan mereka beri, dan menolak lingkup baru. Beni ingin mereka mati. Hanya itu, Beni hanya ingin mereka mati.
Beni melangkahkan kakinya di malam yang gelap ini. Tidak ada satu pun yang peduli kepadanya bahkan mencari keberadaannya. Ia pulang hanya karena lapar.
Bukan ingin bertemu dengan kedua orang tuanya. Tapi, tunggu! Disana ada warung, Beni memiliki beberapa uang dalam sakunya. Ia memilih membeli makanan dibanding memakan makanan sisa seperti babi.
Beni tertatih-tatih berjalan menuju ke warung yang masih buka di malam hari itu. Namun, alamat diberi sambutan hangat. Mendadak warung itu tutup kala Beni hendak membelinya.
"Bu, tunggu! Saya mau membeli!" teriak Beni.
"Sudah tutup! Pulang sana! Saya tidak mau warung saya jadi sumber penyakit!" seru pedagang tersebut kemudian ia bergidik ngeri menatap Beni.
Beni mengepal keras. Tangannya menggenggam uang kertas yang akan ia belikan untuk hanya sebuah mie instant. Tapi, apakah semua manusia setega ini kepadanya?
Beni sudah tak bisa lagi menangis. Hatinya sudah tergulung oleh perasaan benci yang mendalam. Tak ada lagi belas kasihan. Semuanya sudah berubah menjadi benci dan dendam yang terus mendalam.
"Aku akan balaskan sakitku. Siap-siaplah, kalian semua akan merasakan sakit yang kurasakan," ujar Beni menahan emosinya.
Ia memilih pulang ke rumahnya dibanding membalaskan rasa sakitnya pada orang-orang. Dalam benak dan pikirannya, sudah tersimpan niat terselubung yang tak pernah orang-orang ketahui mengenai dirinya.
Beni tertatih-tatih menuju ke rumahnya. Pulang bukanlah keinginannya. Tapi, perutnya lapar. Ia tak bisa mengelak jika dirinya membutuhkan makanan.
Tubuhnya sudah banyak kehabisan darah dan ia membutuhkan makanan karena sangat lemas sekali dengan hari ini. Beni benar-benar merasakan sakit yang berkepanjangan.
***
Deon di dalam kamar menatap ke arah jendela. Ia masih menunggu Beni pulang. Dan saat anak itu baru saja pulang dengan jalan tertatih-tatih. Timbul rasa iba dalam hatinya.
Namun, kembali lagi jika dirinya sangatlah sakit hati karena keberadaan dirinya. Karena ada Benilah dirinya sering dikucilkan dan mengalami banyak perlakuan tak adil dari kedua orang tuanya.
Deon sudah muak dengan lingkup strict parents. Orang tuanya hanya menuntut kesempurnaan. Tanpa memperdulikan kesulitan dan sakit yang dimiliki oleh seorang anak.
Deon sangat tertekan. Jika keluarganya tidak seperti ini. Mungkin ia tak akan menyakiti Beni. Ia juga sedih melihat Beni banyak terluka oleh orang tuanya. Pasti dia lebih sakit darinya. Tapi, kali ini Deon ingin egois. Tanpa Deon sadari, sakit yang dia torehkan membuat Beni menjadi pribadi yang lain.