Pagi itu, Lim dan warga lain tengah berkumpul membahas soal Deon yang dipenjara dan adiknya Lia yang sudah diusir oleh mereka dari kampung ini.
"Huh.. Lega akhirnya tak ada lagi para pembunuh itu," ucap Lim merasa senang.
"Apa kau yakin mereka pembunuh? Mereka terlalu belia untuk melakukan itu, bukan?" tanya Tono- salah satu warga di desa ini yang cukup dekat dengan Lim.
"Dia anak broken home. Dia juga sering kena mental sama orang tuanya, wajar saja kalau mereka gangguan jiwa lalu membunuh banyak orang demi kepuasan pribadinya," jelas Lim yakin.
"Tapi, aku tak yakin dia pembunuhnya. Dia terlalu baik dan santai orangnya," sahut Zio.
"Sudahlah, toh polisi juga menangkapnya karena banyak bukti yang merujuk kepadanya. Berarti, benar dong kalau dia pelakunya," ujar Lim sangat yakin.
"Hati-hati, ya Lim! Aku tak mau terlalu percaya padamu dan mereka. Aku takut kenyataan sesungguhnya tak seperti dugaanmu," jelas Arya.
"Terserahlah, terserah!" sahutnya kemudian menuangkan minumannya ke gelasnya.
Ia lantas meneguk air itu. Namun, tiba-tiba ada kabar yang mengejutkan bagi mereka. Kabar yang tak akan pernah Lim duga sebelumnya.
"Pagi ini, dikabarkan ada seorang anak disekap dan diancam mengenai pembunuhan berantai yang kali ini banyak beredar di komplek X. Kabarnya, kakak dari gadis ini adalah pelaku pembunuhan tersebut, namun polisi belum mengklarifikasinya sampai sekarang dan bukti video ini mengatakan seolah seseorang dalam video itu adalah pelaku yang sebenarnya. Mana yang sesungguhnya benar?"
"Uhuk! Uhuk!" Lim tersedak begitu saja dengan kabar itu.
Apa?! Lia disekap?! Oleh siapa? Bukankah Deon sudah ditangkap polisi dan tak mungkin dia lolos begitu saja bukan?
"Hei, lihat! Itu benar, Lia! Siapa yang menyekapnya? Bukankah Deon berada di kantor polisi?" tanya Arya seraya menunjuk ke arah televisi.
"Baru saja kukatakan, kau mengorbankan orang yang salah, Lim. Kita sedang dalam bahaya besar sekarang," ujar Zio membuat Lim ketar-ketir.
- The Silent In Midnight -
Qei yang mendengar kabar soal video itu langsung menuju ke ruangan Deon di tahan. Deon disana tampak murung dan tak bersemangat sejak semalaman. Ia memikirkan kondisi adiknya apakah akan baik-baik saja atau tidak tanpa keberadaan dirinya.
"Deon!" panggil Qei menyadarkan Deon.
Remaja laki-laki itu pun melirik, kemudian mendekati Qei yang berdiri di ambang pintu jeruji besi yang mengurungnya semalaman ini.
"Ada apa? Apakah kau tetap masih tak percaya jika aku bukanlah pelakunya?" tanya Deon dingin. Namun, dalam hatinya tersirat emosi yang tak mampu diungkapkan dengan kata-kata bagaimana perasaan yang ia rasakan sekarang sebagai seorang kakak.
"Maaf, aku membawakan kabar buruk untukmu," ujar Qei.
Seketika wajah Deon berubah cemas. Padahal, awalnya ia tak tertarik sama sekali berbicara dengan polisi menyebalkan itu.
"Apa yang telah terjadi?" tanya Deon cemas.
"Adikmu.." ujar Qei menggantung.
"Kenapa? Kenapa dengan Lia? Apakah dia kemari?!" tanya Deon panik.
"Tidak.. Deon, Lia hilang!" sahut Qei.
Bagaikan tersambar petir, lutut Deon serasa lemas begitu saja setelah mendengar penuturan kata yang baru saja polisi itu ungkapkan kepadanya.
"Apa... Kau gila?!!' teriak Deon kesal.
"Jangan bermain-main denganku, Qei!" seru Deon emosi seraya mencekik Qei emosi.
Tidak, mana mungkin! Apa yang akan selanjutnya terjadi kepada adiknya? Dan bagaimana dia bisa di culik?
"Aku serius, lihatlah video ini," tunjuk Qei kepada Deon.
Dan ya, Deon melihatnya. Namun, bagaimana bisa adiknya disekap? Ia hafal betul, Lia bukanlah tipikal anak yang mudah dibawa kemana-mana.
Lia itu gadis yang penurut. Dia bahkan sangat penurut kepada semua larangan kakaknya walau dia sendiri suka kesal dengan larangan kakaknya.
Siapa yang tega melakukan ini semua pada adiknya? Video itu menampakkan bahwa adiknya diusir dari tempat tersebut dan kemudian dikabarkan hilang.
"Cepat cari adikku! Aku tak mau dia jadi korban selanjutnya!" seru Deon seraya menarik kerah baju Qei emosi.
"Aku tak bisa gegabah! Kabar ini belum 2 x 24 jam dan aku tak bisa menyusutnya begitu saja," jawab Qei.
Deon pun ambruk seketika. Dunianya, semuanya terasa hancur seketika. Seolah, apa yang Deon harapkan dalam pikirannya musnah sudah.
"Apa yang harus kulakukan?" ucap Deon seraya menangis menjambak rambutnya sendiri.
Qei, dia baru pertama kali ini melihat Deon sefrustasi ini. Bahkan, ia baru melihat tahanannya menangis semenyakitkan ini. Sesungguhnya, Qei tak berpikir jika Deon adalah pelakunya. Namun, orang-orang setempat dan bukti yang lebih mengarah kepadanya membuatnya terpaksa membawa Deon ke penjara.
"Hei, aku akan membantumu. Secepatnya!" ucap Qei seraya berjongkok di hadapan Deon.
"Aku gagal menjadi kakak yang baik, semua harapanku musnah sudah. Aku memilih dihukum ayah dan ibuku dibanding berakhir di sel ini," cicit Deon sedih.
Ya. Deon lebih menerima cambukan demi cambukan yang ayahnya berikan kepadanya. Dibanding mendekam di jeruji besi yang dingin dan mengerikan ini. Meski sakit, setidaknya ia bisa bersama dengan keluarganya.
Qei menatap sendu. Ia tak mampu berkata apa-apa. Deon belum terbukti tidak bersalah dalam masalah ini, sebab banyak sekali tanda bukti yang mengarah kepada dirinya. Dan demi membungkam mulut para warga, mereka pun terpaksa membawa Deon ke jeruji besi ini.
Qei beranjak dari jongkoknya. Ia lantas memilih untuk berbicara dengan atasannya dalam masalah ini. Ia yakin sekali jika Deon itu tidak bersalah seperti dugaan yang mengira kepadanya.
Qei masuk ke sebuah ruangan setelah diperbolehkan masuk. Ia bertemu dengan Ryan, atasannya.
"Ada apa, Qei?" tanya Ryan kala Qei sudah duduk di kursi yang telah disediakan.
"Maaf pak sebelumnya, permasalahan soal pembunuhan berantai itu saya pikir Deon bukanlah pelaku yang sebenarnya, saya yakin akan hal itu. Apalagi, baru tadi ini saya mendengar kabar jika adiknya diculik oleh seseorang," jelas Qei.
Ryan diam, ia tampak berpikir sesuatu kala mendengar ucapan yang Qei baru lontarkan.
"Darimana kau yakin Deon bukanlah pelakunya? Adakah bukti yang bisa menguatkan dirinya sebagai korban yang tidak bersalah? Bukan seorang narapidana?" tanya Ryan.
"Saya belum memilikinya, namun saya akan mencari bukti yang sesungguhnya jika Deon bukanlah pelaku dalam masalah ini," ucap Qei kekeuh.
"Lalu, apa yang harus saya lakukan kepada anda?" tanya Ryan sebab ia tak yakin Deon bukanlah pelakunya.
"Izinkan saya mengikuti tim forensik dan menyiasat masalah penculikan adik Deon yang hilang," jelas Qei.
Ryan sedikit terkejut dengan itu. Ternyata, Qei benar sangat yakin jika Deon bukanlah pelakunya. Dia sangat yakin jika semua ini hanya tuduhan semata yang membuat Deon down dan kehilangan adiknya.
"Tapi—"awalnya Ryan hendak menolak, namun Qei memotong ucapannya.
"Izinkan saya, jika saya gagal anda boleh menurunkan pangkat saya sebagai inspektur," pinta Qei.