Pada pagi ini, seperti biasanya suasana sedang sibuk. Lia yang berteriak minta tolong pada ibunya dan ayah yang sibuk meminta ibunya mempersiapkan peralatan apa yang akan mereka bawa hari ini ke luar kota.
Deon sendiri sedang menata bukunya ke dalam tas ransel miliknya yang berwarna hitam itu. Hari ini, ia harus sekolah walaupun rasa malas menjalar dalam tubuhnya.
Saat hendak keluar kamar seraya mengambil sepatu miliknya. Tanpa sengaja, netra cokelatnya menatap seorang anak laki-laki yang sedang dimarahi ibunya habis-habisan di dekat kandang ayam. Siapa lagi jika itu bukan Beni. Pemandangan tak sedap itu terpaksa Deon lihat pagi ini.
Sejujurnya, Deon iba kepada Beni. Kenapa orang tuanya tega mengurus anaknya seperti hewan begitu? Padahal, Beni juga manusia. Beni layak diperlakukan secara adil bagaimana seorang anak pada umumnya. Namun, ia selalu mengingat ucapan Beni 3 tahun yang lalu.
"Kau tak perlu mengasihaniku. Aku memang monster. Jauhilah aku, aku takut semua orang menyakitimu karenaku. Jika tidak, maka aku akan marah kepadamu,"
Kata-kata itu terngiang di kepala Deon. Sejujurnya, Deon tak ingin menjauhi Beni. Tapi, mengingat bagaimana dulu ibunya sangat membenci Beni ketika dirinya sering bermain bersama. Kenapa? Kenapa semua orang membencinya? Itu yang Beni bingungkan selama ini.
"Deon! Cepatlah sarapan, ibu dan ayah akan terlambat jika kau terus memperhatikan anak mengerikan itu!" teriak ibu Deon dari meja makan.
Deon menghela napasnya kasar. Kenapa mereka tak berpikir bagaimana menjadi Beni? Pasti, setiap hari Beni merasa sesak. Bahkan, kerja dimanapun tak ada yang sudi mempekerjakan seorang Beni yang aneh itu.
Deon kemudian bergegas mengambil sepatunya. Ia harus bisa berpura-pura tak peduli kepada Beni agar dirinya tak disiksa lagi oleh ibunya seperti dulu. Deon pun datang dan duduk di kursi yang kosong.
"Kau masih berhubungan dengannya, Deon?" tanya Ayah Deon dingin.
Deon hanya diam saja seraya melahap makanan yang sudah disiapkan ibunya di meja makan itu. Ia tak mau membahas apapun soal Beni kepada orang tuanya. Karena, pasti dia akan dimarahi habis-habisan lagi seperti saat jaman SMP.
"Jawab Deon!" bentak Ayahnya emosi. Deon menatap sinis ayahnya yang sudah rapi dengan kemeja. Ayahnya memang hebat, bekerja di sebuah perusahaan yang besar. Dan memiliki banyak karir. Pangkatnya di perusahaan saja sudah manager. Tapi sayang, hal itu tidak bisa membeli moral ayah dan ibunya.
"Bisakah pagi hari ayah tak memarahiku?" tanya Deon dingin.
"Lantas, kenapa kau tak menjawab pertanyaanku Deon?! Sudah kubilang jauhi Beni! Anak itu penyakitan! Dan mungkin itu kutukan kepada orang tuanya yang melakukan hal tak senonoh di luar pernikahan! Ayah tak mau kau menjadi seperti mereka! Berulang kali ayah bilang jauhi Beni dan keluarganya!" bentak Ayah lagi.
Deon memejamkan matanya kemudian beranjak dari duduknya. Nafsu makannya sudah hilang hanya karena orang tuanya selalu menyalahkan Beni sebagai pembawa sial. Padahal, itu adalah kesalahan orang tuanya.
"Deon! Dengarkan ayahmu ini!" teriak Ayahnya emosi.
Deon terhenti di ambang pintu setelah dirinya benar-benar berniat hendak pergi ke sekolah. Deon berbalik ke hadapan ayahnya dengan tatapan kesal tiada tara.
"Aku sudah lama menjauhinya karena keinginan ayah. Salahkah jika aku hanya menatapnya iba? Apa begini cara ayah menumbuhkan sifat ayah kepada anaknya? Hah.. Ayah saja tidak peduli kepada anaknya. Jadi, buat apa ayah peduli kepada orang seperti Beni ya 'kan?" cibir Deon setelah itu ia pergi meninggalkan rumahnya yang langsung hening menatap kepergiannya.
Deon benar-benar muak hari ini. Moodnya benar-benar hancur gara-gara ayahnya yang selalu menatap Beni semengerikan itu. Padahal, Beni tak salah apapun atas pernikahan paman dan bibinya. Beni justru membutuhkan kasih sayang dari banyak orang, bukan kebencian seperti ini.
"Bersihkan dengan benar jika kau ingin makan! Dasar anak tak berguna!" suruh ibu Beni seraya menendang Beni dan melemparkan wadah berisi pakan ayam ke kepala Beni.
Pemandangan yang sangat membuat Deon marah sekali. Bagaimana tidak? Semua orang di desa ini menatap hina kepada Beni. Dan itu benar-benar membuat Deon muak.
Deon melangkah mendekat kepada Beni yang tengah tertunduk lesu seraya membersihkan pakan ayam dan memberikan ayam makan. Sedih, anak yang harusnya mendapatkan haknya. Justru diperlakukan semena-mena seperti ini.
"Beni!" panggil Deon saat dirinya sudah dekat dengan Beni. Beni mendongak menatap Deon dan tersenyum kepadanya.
"Deon? Ada apa kau kemari?" tanya Beni antusias.
Deon kemudian merogoh kantong celananya. Ia mengeluarkan beberapa uang dollar yang kemudian ia berikan kepada Beni.
"Hah? Apa ini?! Ini uangmu, Deon! Aku tak mau!" tolak Beni mentah-mentah.
"Pakailah! Jangan bilang ayah dan ibuku. Atau juga paman dan bibi. Sembunyikan dengan baik, dan belilah makanan yang layak. Jangan sampai kau memakan makanan sisa lagi seperti kemarin," ucap Deon khawatir. Beni menatap Deon nanar. Linang air mata menetes dari mata Beni. Ternyata, ada orang yang masih menyayanginya sampai saat ini. Ya, dia Deon.
Walau dulu Beni menyuruh Deon menjauhinya karena Beni selalu melihat Deon disiksa ayah dan ibunya setelah bermain dengannya. Deon justru tak meninggalkannya. Meski, mereka tak bisa bermain bersama lagi. Tapi, hanya Deonlah yang selalu simpati kepadanya.
"Terima kasih, Deon! Aku harap Tuhan membalas selalu kebaikanmu," ucap Beni senang. Matanya menampakkan pancaran kebahagiaan. Senyuman itulah yang selalu Deon inginkan setiap harinya dari wajah Beni.
"Baiklah. Aku berangkat sekolah dahulu, gunakan uang itu dengan baik! Jangan kau belikan rokok, ya! Sembunyikan juga dengan baik agar bibi tak merebutnya lagi," pamit Deon kemudian dibalas anggukan Beni.
Beni menatap punggung Deon yang semakin menjauh. Hanya Deonlah yang selama ini peduli kepadanya. Beni merasa bahagia karena Deon tak pernah membuangnya. Dan, hanya Deonlah yang menjadi semangat hidupnya selama ini.
Beni kemudian menyimpan uangnya ke dalam kantong celananya. Ia kembali membersihkan kandang ayam. Selepas itu, ia kemudian membersihkan taman belakang yang sudah banyak ditumbuhi rumput panjang.
Sedangkan Deon, dia justru menunggu bis jemputan sekolah di halte yang ada di perempatan jalan dekat rumahnya. Deon kemudian menyalakan earphone bluetoothnya dan memutar musik untuk menenangkan emosinya.
Bayangan masa lalu selalu menghantuinya. Bagaimana cara ayah dan ibunya selalu memukulnya dan menyalahkannya. Deon mungkin terlihat sempurna dari dalam, tapi dia sangat rapuh jika dilihat dari dalam. Korban toxic parents selalu menyakiti inner child anaknya sampai mereka menjadi dewasa.
Bagaimana Deon dituntut memiliki nilai yang sempurna, prestasi yang banyak, teman yang kaya, dan yang pasti Deon harus bisa semua hal. Deon harus menjadi contoh yang baik bagi adiknya Lia. Tapi, mereka tak mau menjadi contoh yang baik sebagai orang tua. Jika nilai Deon turun, maka siap-siap sabuk ayahnya melekat di punggung Deon. Tamparan keras diberikan oleh ibunya. Belum dengan ucapan-ucapan yang selalu menyayat hati. Deon sudah terbiasa dengan itu. Hal itulah yang menjadikan Deon tumbuh menjadi sosok yang introvert dan pendiam. Karena, ia lebih memilih memendamnya dalam diam dibanding menceritakannya pada orang lain.