Deon sampai ke sekolahnya tepat waktu. Bersamaan dengan datangnya bis jemputan sekolah masuk ke halaman sekolah. Deon berjalan seperti biasanya. Ketika semua orang mengobrol asyik dengan kawan-kawannya. Deon lebih asyik sendiri dan diam menyusuri koridor sekolah.
Deon menyimpan tangannya dalam saku celananya. Ia berjalan dengan bersenandung kecil. Menetralkan hatinya yang berkecamuk sejak pagi. Saat hendak masuk kelas, tiba-tiba lengannya dicekal oleh seseorang.
"Hai!" sapa seorang gadis berambut panjang dengan senyum manis menawan. Siapa yang tak menyukainya? Primadona sekolah yang terkenal dengan kepintaran serta kecantikannya. Aisha Beltrey.
"Oh, hai!" sapa Deon kembali.
"Apa kau baru datang ke sekolah?" tanya Aisha basa-basi.
"Kelihatannya?" jawab Deon cuek.
"Mm.. Bisakah hari ini kita kencan hari ini? Kebetulan aku tidak ada les," ajak Aisha.
"Hm, entahlah," sahut Deon malas. Ya. Aisha adalah kekasihnya. Hubungan mereka sudah menjalani 3 bulan. Tapi, Deon masih belum berani membawa Aisha ke rumahnya. Selain Deon harus fokus belajar, ia pasti akan dimarahi jika ketahuan memiliki kekasih. Itu sebabnya, Deon tampil jauh lebih cuek kepada kekasihnya. Tapi, dengan begitu Aisha sangat mencintai Deon.
"Kenapa? Apakah hari ini kau sibuk?" tanya Aisha sedikit kecewa.
"Ah, aku belum siap nanti ditanya kemana-kemana oleh ayah dan ibu. Lagipula, kau tahu aku tak boleh pacaran," sahut Deon.
"Kenapa tak mengenalkanku sebagai sahabatmu saja? Bagaimana kalau aku ke rumahmu nanti? Mereka akan mengerti, memangnya mereka tidak pernah muda ya?" cibir Aisha.
"Terserahmu, aku usahakan kita kencan nanti sore," ujar Deon mengalah pada akhirnya.
"Seriously?!" tanya Aisha terkejut. Deon kemudian mengangguk pasti.
"Ah! Terima kasih Deon! Aku sangat senang mendengarnya," sahut Aisha kembali seraya memeluk Deon.
"Hei, lepaskan pelukanmu. Kita di sekolah," ujar Deon memperingati.
"Oh, maaf!" ucap Aisha seraya melerai pelukannya. Canggung dirasakan antara keduanya.
"Baiklah, kalau begitu sekarang kau kembali ke kelas. Belajar dengan baik, nanti sore aku akan menjemputmu," suruh Deon.
"Baiklah, see you!" sahut Aisha seraya melambaikan tangan yang dibalas oleh Deon kembali. Aisha kemudian lari ke kelasnya yang berada tak jauh dengan kelas Deon.
Cinta anak muda memang selalu meresahkan. Terlebih, apabila kalian terlahir dari keluarga yang mengekang dan toxic. Bagaikan neraka rasa setiap harinya.
•••
Sepulang dari sekolah, Deon berjalan menyusuri koridor. Tadi, ia sempat membeli makanan untuk Beni. Ia ingat bahwa Beni pasti belum makan siang. Ia takut jika nanti uang yang diberikan olehnya direbut oleh bibinya.
Alhasil, Deon membungkuskan satu wadah makanan yang harusnya diberikan kepada setiap siswa jika istirahat. Namun, dengan akal Deon. Ia berhasil mendapatkan dua jatah sekaligus setiap harinya.
Deon berjalan menuju bus yang hendak mengantarkannya pulang. Bus jemputan itu memang disediakan teruntuk para siswa agar pulang dan berangkat bersama.
Hari ini, Deon tidak kebagian kursi. Ia terpaksa harus berdiri dan berpegangan saja pada Bus. Lagipula, jarak sekolahnya tak terlalu jauh sehingga Deon tidak akan mudah pegal.
Selepas sampai, Deon langsung turun bersama teman kelasnya yang lain. Kebetulan ada beberapa anak sekolahnya yang berada tak jauh dengan rumahnya.
Deon kemudian berjalan menyusuri trotoar. Komplek rumahnya seperti biasa selalu sepi di siang yang menuju sore hari ini. Para orang tua belum pulang dari pekerjaan yang selalu mereka geluti. Dan mayoritas dari komplek rumah Deon adalah seorang pebisnis.
Deon pulang dan disana ada Lia yang sedang bermain di taman rumah. Ia menatap ke seberang rumahnya yang tampak sepi. Tak ada tanda-tanda Beni disana. Dimana anak itu? Pikir Deon.
Deon pun bergegas kembali ke arah sana. Mencari keberadaan Beni. Lia yang melihat kakaknya tak jadi masuk ke rumahnya pun bertanya-tanya.
"Kakak, kau mau kemana?" tanya Lia. Deon menghentikan langkahnya sejenak dan berbalik.
"Kakak mau ke rumah bibi sebentar, ada perlu," ucap Deon seraya menyelinginya dengan senyuman.
Ia kemudian berjalan menjauhi adiknya dan menuju ke pekarangan belakang rumah Beni. Sepertinya, ayah dan ibu Beni belum pulang dari tokonya. Ia kemudian mencari Beni.
"Beni! Apa kau ada disini?" panggil Deon mencari keberadaan Beni. Ternyata, Beni sedang memandikan anjingnya di dalam rumah.
"Hei, tunggu dulu! Sabarlah sebentar, jangan memberontak seperti ini!" ucapan Beni terdengar Deon yang berada di pintu belakang yang langsung tersambung dengan kamar mandinya.
"Beni? Apa kau di dalam?" tanya Deon.
"Ah, Deon! Apakah itu kau?" teriak Beni.
"Iya, ini aku. Aku membawakanmu makanan, keluarlah sebentar!" panggil Deon seraya terus celingukan berharap dirinya tidak ketahuan oleh paman dan bibinya.
"Simpan saja disana dan pulanglah! Ayah dan ibu sebentar lagi akan pulang, kau akan dimarahi jika ketahuan kemari!" seru Beni.
"Apa ini tidak masalah? Nanti makanannya dibuang!" tanya Deon khawatir.
"Tidak akan! Cepat pulanglah!" suruh Beni.
Mau tak mau, Deon menyimpan makanannya disana. Namun, sayang beribu sayang. Deon justru ketahuan oleh paman dan bibinya. Baru saja Deon hendak berbalik, ia dicegat oleh paman dan bibinya.
"Kenapa kau masih berteman dengan anak kami? Apa kau tak tahu larangan ayah dan ibumu!" tegas ayah Beni.
"A.. Aku hanya mengantarkan makanan padanya," cicit Deon takut.
"Aku akan laporkan ini pada ayahmu, kau tak boleh menjadi temannya. Anak itu menjijikkan!" seru ibu Beni.
Deon yakin, Beni mendengar perkataan itu semua. Dan Deon juga yakin, Beni pasti sakit hati sekarang atas ucapan ibunya.
"Tolong. Jangan laporkan ini pada ayah, ini kali terakhir aku menemuinya, kumohon!" pinta Deon memohon.
"Baiklah, segeralah pulang! Aku tak mau harus bertengkar dengan ayahmu lagi perihal si buruk Beni!" cetus Ayah Beni.
Deon pun mengangguk. Ia lantas langsung berlari pergi ke rumahnya. Sedangkan Beni, ia mencengkeram bulu Angela—anjing kesayangannya. Seburuk dan sehina itukah dirinya di mata masyarakat dan orang tuanya? Timbul pertanyaan bahwa apakah dia adalah sebuah kutukan.
Beni kemudian memandikan Angela kembali. Dengan rasa sakit hati yang begitu menggebu batinnya, Beni hanya bisa diam menerima kenyataan yang begitu pahit baginya.
Mau tak mau, dunia memang tak adil dan kejam kepadanya. Jika kau tak sempurna, lebih baik lenyap saja dari dunia. Begitulah pikiran Beni sekarang.
Deon kembali ke dalam rumahnya. Ia yakin setelah ini Beni akan disiksa habis-habisan oleh orang tuanya. Kenapa ia meninggalkan Beni? Kenapa ia harus menjauhinya? Timbul sejuta pertanyaan di benaknya. Namun, notif pesan dari seseorang menyadari Deon. Bahwa memang sudah seharusnya ia tak perlu memikirkan Beni demi kepentingannya.
From Aisha:
Jangan lupa jam 4 sore!
Aku tak sabar bertemu keluargamu!
Deon hanya bisa menarik napas dalam-dalam. Mau tak mau, ia harus mengenalkan Beni juga kepada Aisha. Harap-harap, Aisha mau menerima keadaan Beni seperti dirinya. Karena Aisha harus mengenal semua keluarganya.