"Jadi maksudmu ...," kata itu terjeda sebentar, "Kamu tenggelam karena sepatu kaca?" pertanyaan itu akhirnya bisa diutarakan. Dengan nada dan ekpresi terkejut, pria yang menekankan kembali apa yang sebelumnya ia dengar itu menatap tak percaya.
Untuk beberapa saat, dua orang asing yang saling dipertemukan oleh semesta tanpa sengaja itu hanyut pada kebingungan yang tiada akhir. Gadis yang beberapa saat lalu diselamatkan oleh Satria itu kini duduk sembari memeluk tubuhnya sendiri. Sepertinya, ia mulai nampak kedinginan. Wajar saja, seluruh bajunya basah setelah jatuh ke air.
Entah darimana gerangan berasal, Satria juga tidak tahu pasti. Bagaimana dan apa yang membuatnya bisa melakukan hal konyol seperti ini, sungguh sulit diterjang akal olehnya.
"Kamu benar-benar menembus lautan itu hanya karena sebuah sepatu?"
"Tunggu sebentar."
"Apa?"
"Aku pikir kamu berlebihan dalam menanggapi hal ini." gadis itu menolak kesimpulan yang diberikan lawan bicaranya, "Itu bukan hanya sebuah sepatu!" nada yang terlontar keluar itu seolah tidak terima. Dengan pernyataan yang ia berikan bersamaan suaranya yang meninggu satu oktaf itu, suasana berubah hening seketika.
Beberapa saat yang lalu gadis itu berusaha untuk menjelaskan apa yang terjadi padanya. Ia berusaha mengatakan permasalahan yang dialaminya.
Sebelumnya semuanya baik-baik saja, bahkan Satria dengan bijak mendengarkan segala cerita darinya. Pria itu seolah mengerti apa yang terjadi dan terus mendengarkan setiap kalimat yang terlontarkan dari gadis ini.
Hanya saja setelah mendengar bahwa alasan dari mengapa ia sampai harus hanyut dan terbawa ombak di tepian pantai itu adalah karena sepatu kaca miliknya, ia melihat reaksi pria hai tersebut menjadi berbeda.
"Sepatu kaca itu sangat sangat berarti untukku." suaranya berubah pelan, seperti ragu untuk melanjutkan kembali apa yang harus ia sampaikan, "Teramat sangat. Itu sebabnya aku terpaksa melakukan ini."
Pandangan mereka bertemu, untuk satu sama lain. Mata dan bibir gadis yang nampak gemetar itu menandakan apa yang ia katakan adalah kebenarannya.
Sesuatu yang barusaja hilang darinya itu adalah hal yang besar. Ia menunjukkannya dengan jelas lewat ekpresinya yang khawatir bukan main.
"Jika benda yang hanyut itu hanya sesuatu yang dapat kubeli di toko, atau di tempat dimana biasanya orang-orang menemukan hal yang sama, maka aku akan membiarkannya hanyut atau dimakan oleh hewan laut begitu saja." balas gadis tersebut dengan cepat. Mulai merasa jengah karena Satria seolah meremehkan apa yang menjadi tindakannya.
"Tetapi kebenarannya, ini tentang makna sepatu kaca itu, tidak akan bisa aku dapatkan dimanapun. Aku berani bertaruh nyawa untuknya."
Sepertinya gadis itu tahu hal yang ia lakukan bukanlah hal yang benar. Ia bahkan mengakui bahwasanya membahayakan nyawanya sendiri hanya untuk sepatu kaca memang terdengar sangat kekanak-kanakan.
Tetapi ia tidak melakukannya tanpa alasan. Sungguh, ini karena apa yang terjadi di luar kendalinya, dan ia tidak ingin kehilangan apa yang telah kembali dititipkan kepadanya.
Satria menarik sudut bibirnya, membentuk sebuah seringai singkat. Pria itu tidak benar-benar memberikan senyuman. Wajahnya yang kali ini berbeda. Ia tidak seramah sebelumnya, "Tetapi tetap saja," mata pria itu mulai mengarah dengan dingin ke arah sang gadis, "Apa yang lebih penting dari nyawamu?"
"Eh?"
"Kehidupan adalah hal yang utama. Jika kamu kehilangan hidupmu begitu saja saat mencoba meraih sepatu itu, apa yang akan kamu lakukan? Kamu bisa bertanggung jawab untuk itu?"
Gadis itu terdiam.
Ia tidak punya jawaban karena dirinya juga tidak mengharapkan hal buruk itu sampai terjadi.
"Sesulit apapun hidup, tetap hidup adalah pilihan yang harus terus manusia pilih. Karena yang berhak untuk menentukan kematian hanya Yang Mahakuasa."
Pria itu benar, ia mengatakan sesuatu yang terdengar sepele namun bermakna besar. Seolah dari apa yang ia katakan itu mengandung sebuah makna besar yang harusnya bisa dijadikan pelajaran. Hal buruk pernah ia sesali, begitulah caranya menatap.
"Jangan pernah mengambil tindakan seperti tadi. Saya minta maaf karena menilaimu tanpa alasan, saya tau itu juga bukan hal yang benar. Tapi apa yang saya katakan adalah apa yang selama ini saya alami, saya tidak mau kamu juga ikut menyesal."
Tidak lama dari kalimat terakhir itu diucapkan, suara dering telpon membuyarkan lamunan keduanya. Dengan cepat pria yang memiliki wajah bak lukisan sempurna itu mengangkat telpon dan kembali bersikap biasa, suaranya dingin lagi bermakna.
"Hormat!"
"Benar, Ndan."
"Siap saya akan segera ke sana."
Adalah serentetan pernyataan yang terlontar dari bibir ranum pria bijaksana tersebut. Satria —yang dengan cepat mengemasi barang-barang berliburnya itu— berniat untuk segera pergi dan meninggalkan tempat itu sesegera mungkin.
"T-tunggu!" sebelum niatnya terpaksa harus ia urungkan karena tangan mungil nan pucat itu meraih pergelangan tangan miliknya.
Gadis yang tidak Satria kenali siapa dirinya, darimana asalnya, dan segala hal yang melekat pada sosok tersebut itu nampak menahan kepergiannya dengan takut-takut, "Kamu ingin pergi?"
Mendapati pertanyaan itu membuat Satria mengerutkan keningnya, kemudian mengangguk samar, "Um. Ada sesuatu yang harus saya urus."
"Ah!" ia melepaskan tangan Satria pada detik berikutnya, "Maaf, aku jadi menahanmu tanpa alasan di sini." melihat sang gadis kecewa dan seperti ingin menyampaikan sesuatu kepadanya, Satria menghela napas panjang dan memeriksa waktu yang ia miliki sekarang.
Arloji yang ia kenakan —berwarna abu-abu, selaras sekali dengan dirinya yang cool itu— terlihat memberikan keduanya satu kali lagi kesempatan untuk bicara.
"Lima menit."
"Um?"
"Kamu bisa katakan sesuatu sebelum saya pergi. Saya masih punya waktu lima menit untuk tetap di sini."
Mendengar itu membuat sang gadis seperti mendapati lagi cahaya hidupnya, "B-benarkah?" ia dengan cepat bangkit, tersenyum. Wajahnya yang pucat seakan bersinar terang, diterpa sang surya yang mulai tenggelam, "A-aku tahu kamu memiliki urusan di tempat lain, dan sesuatu yang kukatakan mungkin akan terdengar sangat menjengkelkan, t-tapi ...,"
"Bisakah kamu membantuku untuk menemukan sepatuku kembali?"
Satria terbatuk.
Sebentar, apa ia salah dengar?
Sepertinya iya. Tidak mungkin, 'kan, gadis itu berkata dengan mengatakan keinginannya pada Satria?
"Ini memang sedikit tidak sopan, namun aku juga tidak tahu lagi harus bagaimana. J-jika kamu bisa membantuku sekali saja ...,"
Dengan mata indah nan tegasnya Satria tidak melepaskan pandangannya dari gadis yang baru saja ia selamatkan tersebut.
"Aku berpikir lima menit cukup untuk menemukannya." dengan tersenyum, si peri nan cantik itu mengatakan keinginannya, matanya berbinar manis, "Aku berjanji akan membalas bantuanmu dengan melakukan apapun yang kamu mau jika berhasil menemukan sepatu kaca milikku."
Membuat Satria mengunci mulutnya rapat-rapat. Pria yang berpenampilan layaknya seorang Knight nan gagah itu seakan melemas seketika. Ia tidak tahu harus merespon dengan cara apa.
Sungguh gadis yang sangat aneh.
"Jika dalam lima menit, saya berhasil menemukan sepatu kaca milikmu," hingga jawaban terlontar dari bibir ranum yang menghiasi wajah tampannya, "Maukah kamu menikah dengan saya?"