"Mau sampai kapan kamu kerja kaya gini, hah?!" suara itu menggema, memenuhi ruangan dengan cepat.
Semua pasang mata di sana tertunduk lesu. Kali ini adalah moment paling buruk yang harus mereka terima. Kalimat panjang lebar yang dilontarkan pria paruh baya dengan jas yang nampak sempit di tubuhnya itu takkan berhenti bicara sebelum 3 jam kedepan, menyiksa jiwa.
"Enggak pernah ada kemajuan, Zea, selalu sama! Bahkan kamu sadar, gak, sih?! Kadang kualitas pekerjaanmu itu merosot sampai level paling bawah."
"Lihat, para penulis dibawah naunganmu tidak pernah masuk peringkat sepuluh besar!"
"Sangat berbeda dengan rekanmu yang lain. Lenna, misalnya. Ia bisa menghasilkan penulis yang selalu menduduki peringkat pertama. Kau benar-benar rendah, Zea! Bagaimana pekerjaanmu bisa seburuk ini?"
Gadis yang terus menerus mendapati caci maki itu nampak tertunduk lemas, tidak bisa merespon lebih.
Padahal ini bukan maunya. Ia tidak pernah berharap para novelis di bawah naungannya sebagai seorang tim editor selalu gagal untuk menduduki posisi teratas.
Tetapi bagaimana bila yang terjadi justru demikian?
Dengan sungguh ia katakan telah berusaha dengan begitu keras. Malam panjang ia habiskan untuk memperbaiki naskah yang dikirim padanya untuk menghasilkan cerita yang berkelas. Hanya saja, memang, hasil kadang menghianati usahanya. Selalu bertolak belakang dengan keinginannya.
"Aku ...,"
"Tapi aku telah berusaha semaksimal mungkin, Pak. Hanya saja, kita memang tidak pernah bisa menentukan siapa yang akan masuk peringkat dan tertinggal. Semua orang selalu punya kesempatan yang berbeda."
Brak!
Pak —bos alias atasan dari gadis tersebut— memukulkan kedua tangannya ke meja kerja miliknya. Begitu kuat. Terdengar dari suaranya yang sukses membuat gadis yang tak bisa mengangkat pandangannya itu terkejut, kaget.
"Lihat! Lihatlah dirimu ini!" teriaknya, kencang. Suara cemprengnya membuat sakit telinga.
"Selalu saja mencari alasan. Kau pikir, pembaca akan mendengarkan alasanmu, hah?!"
"Kau pikir, dengan alasan itu perusahaan ini bisa mendapatkan rating yang bagus?! Kau tidak membuka mata soal persaingan di luar sana, ya?"
Gadis itu terdiam.
Harusnya ia tidak menjawab, harusnya ia diam saja sejak awal, tidak mencari sebuah pembelaan. Percuma saja, suaranya tidak akan di dengar. Resiko bekerja, resiko pekerjaannya.
"Maaf."
"Akulah yang salah, Pak."
"Maaf karena membantah. Untuk kedepannya aku akan terus meningkatkan kualitas cerita dan tulisan mereka agar para pembaca bisa puas dan terkesan. Aku akan berusaha lebih keras lagi."
Terdengar hembusan napas panjang, frustasi. Menimang-nimang cercaan dan cacian apalagi yang akan dilontarkan kepadanya saat ini.
"Aku tidak ingin mendengar apapun lagi pembelaan darimu." desahnya, mulai kesal. Padahal yang seharusnya kesal adalah gadis bernama Zea tersebut.
"Ada begitu banyak editor yang menunggu untuk dipekerjakan di sini. Bisa bekerja di Perusahaan ini adalah impian semua orang, kautahu?!"
"Ingat ini, kubilang, jika kualitasmu tidak membaik juga dalam sebulan ini, maka jangan salahkan aku, posisimu bisa saja tergantikan." putus pria dengan emosi menggebu itu, "Aku akan mencari editor pengganti yang lebih baik darimu!"
Hari yang benar-benar sial.
Gadis dengan poni menggantung di wajah mungilnya itu berjalan lesu. Sampai jam pulang kerjanya, perasaan yang ia rasakan setelah dimarahi habis-habisan tidak juga kunjung membaik.
Entah apa yang akan terjadi lagi sekarang. Ia terancam dipecat, dan kini benar-benar kehilangan tujuan.
Apa yang harus ia katakan kepada orang di rumahnya, nanti. Bibi yang begitu baik —yang dengan sabar menjaganya hingga saat ini— akan menghadiahinya dengan banyak cercaan dua kali lipat dari apa yang sebelumnya diberikan oleh bosnya kala di kantor tadi.
Diantara perjalanannya yang melelahkan lagi menyedihkan itu, suara dari dalam perutnya terdengar menambah pilu. Menandakan untuk segera diisi, sejak tadi ia bahkan tidak membiarkan tubuhnya untuk istirahat dan mendapatkan kembali energi.
Ia lupa, bahkan jam makan siang ia gunakan untuk mengoreksi kembali naskah yang masuk. Sungguh, hari ini sangat berat untuknya.
Ada mimpi terbesar yang selalu gadis itu inginkan setiap kali berada di moment yang tidak menyenangkan seperti saat ini. Ialah bisa mengeluh dengan tenang. Menceritakan apa yang membuatnya merasa sangat kesulitan. Mengutarakan apa yang menjadi beban hatinya.
Kakinya melangkah ragu. Sedari kecil, ia selalu gagal memahami kemana setiap air mata yang dirinya miliki. Gadis itu selalu belajar bagaimana caranya menahan tangis, hingga pada akhirnya, air mata itu hilang begitu saja. Lenyap dari dirinya.
Ia tidak pernah bisa mengungkapkan apa yang dirinya rasanya, sampai kapanpun.
"Bu ... Andai Ibu di sini." bersamaan dengan lamunan yang semakin menjadi itu, Zea berujar sendu. Berbicara pada dirinya sendiri, "Aku pasti akan mengeluh banyak hal pada Ibu." imbuhnya hangat.
"Terdengar sangat menyebalkan dan menjengkelkan sekali. Karena putrimu selalu mengeluh. Merasa tidak adil, dan terus mengutuk takdir."
"Ibu ingat apa yang selalu Ibu katakan pada Zea? Bahwa setiap orang memang mempunyai cerita sedih mereka masing-masing. Masalah yang mereka alami juga sama sulitnya, mereka punya beban yang sama. Bukan hanya aku yang menderita di dunia ini."
"Tetapi kenapa justru rasanya hanya aku yang terlihat sial di sini, Bu." ia mengatakan kalimat itu kemudian tertawa hambar. Tidak ada yang bisa Zea lakukan selain menerima, "Ibu bilang bahagia tidak perlu disimpan. Tapi, Bu, aku bahkan tidak mendapatkan jatah bahagiaku."
Beberapa hal memang nampak sangat buruk sekali. Takdir yang kita inginkan kadangkala selalu bertolak belakang dengan apa yang terjadi.
Jika dalam kondisi yang seperti ini, jujur saja Zea selalu berkhayal dapat bertemu dengan seseorang yang bisa ia jadikan sebagai tempatnya berbagi. Tentang apa saja yang ia alami, beban yang menghimpit raganya —yang seolah tidak mau pergi.
Karena pada kenyataannya, seseorang selalu membutuhkan satu —minimal satu orang saja— yang mampu mengerti dan mampu mendengarkan segala kisah yang terjadi.
Bayangkan hidupmu aja seorang diri, tidak ada tempatmu untuk menceritakan kegelisahan yang seolah menghantui tiada henti. Betapa beratnya hidup bila seperti itu.
"Baiklah."
"Kita lihat berapa sisa hartaku untuk saat ini." celetuknya berbicara sendiri, sekaligus membuka dompet kusam miliknya. Napasnya nampak berat, ia berkali-kali menghembuskannya. Menenangkan diri.
Zea masih sibuk mencari apa yang bisa ia gunakan untuk membeli sesuatu yang bisa setidaknya menenangkan rasa perih di perutnya saat ini.
Di umurnya yang sekarang seharusnya yang ia pikirkan adalah tentang ini dan itu. Berbahagia, mulai mencari pendamping hidup dan tempatnya mendapati sukacita. Tetapi beberapa orang yang tidak beruntung harus memikirkan hal sederhana seperti bertahan hidup, harus dengan apa makan di waktu yang akan datang, serta bagaimana cara beristirahat dengan tenang.
"Seharusnya ada. Aku ingat masih menyimpannya sedikit."
"Kemana perginya uang tabunganku di saat mendesak seperti ini? Ah, kenapa —" gadis itu masih terus bicara dan sibuk mengobrak-abrik tas miliknya.
Dan ....
Langkah kecilnya itu terhenti tepat ketika ia merasakan sesuatu menyentuh keningnya. Terasa dingin, membuatnya refleks terkejut bukan main.
Telapak tangan seorang pria.
Menyentuh keningnya, benar-benar menempel di keningnya.
Mata indah miliknya pertama kali menatap pada bola mata tegas lain yang mengandung candu. Untuk beberapa saat, tenggelam pada keindahan yang Tuhan ciptakan.
"Hampir saja." suara bariton dengan helaan napas itu terdengar tidak asing.
"Hallo. Kita bertemu lagi."