Chereads / Hello, Capt! / Chapter 11 - In a Sad Moment

Chapter 11 - In a Sad Moment

"Minumlah, " suara bariton itu seolah membuyarkan lamunan Zea, gadis yang masih terkejut dengan apa yang menimpanya beberapa saat lalu. Pria dengan handuk kecil yang melingkar di lehernya itu memberikan sebotol air mineral.

Untungnya, tidak jauh dari sana mereka menemukan minimarket yang masih buka. Tidak banyak toko yang beroperasi karena memang waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Untuk ukuran wilayah yang berada di pedalaman, tidak begitu dekat dengan pusat kota, membuat tempat ini menghentikan segala aktifitas dan tidak lagi beroperasi ketika jam istirahat telah tiba.

Kebanyakan, mereka yang tinggal di pinggiran pantai memilih untuk melakukan pekerjaan di siang hari, sementara malam mereka pakai untuk memulihkan tenaga yang telah terkuras habis.

Pergi ke tempat yang lebih terang dari gang sempit menakutkan —di mana kejadian yang mempertaruhkan kehidupan Zea beberapa saat lalu benar-benar seperti sebuah kejutan— tak terduga karena di baliknya justru tersimpan peristiwa lain yang mungkin cukup gadis itu syukuri, merupakan pilihan yang keduanya ambil untuk menenangkan diri.

Zea terlihat lebih baik dari sebelumnya. Wajahnya yang sempat memucat ketakutan perlahan kembali normal. Gadis itu juga sudah dapat menetralkan emosinya, mencoba untuk bernafas dengan benar.

Meskipun, sesekali ia nampak menelan savila, begitu gugup, "Terimakasih banyak." Zea menyambut baik pemberian tersebut, menerimanya dengan senang hati, "Entah sudah yang ke berapa kali, terimakasih."

Benar, hadirnya pria itu, pria yang menjadi penyelamat —lagi dan lagi, untuk kehidupan penuh kemalangan yang dimiliki oleh Zea, merupakan sesuatu yang sepertinya bukan hanya menjelma sebatas sebuah kebetulan tetapi ikut menjadi bagian takdir yang semesta titipkan.

"Bukan hal yang besar." balasnya pria yang semakin lama semakin tercium aroma mint yang menyejukkan. Ia nampak memaksakan untuk menarik sudut bibir dan tersenyum, "Kamu pasti sangat terkejut," komentarnya, wajah tampan nan manis itu diterpa sinar rembulan, "Minumlah dan tenangkan dirimu terlebih dahulu."

"Semuanya sudah baik-baik saja, tidak akan ada lagi yang berbuat jahat kepadamu."

Seperti sebuah karya. Keringat yang sesekali ia usap dengan handuk kecil tersebut membuat ketampanannya bertambah hingga berkali-kali. Benar-benar mirip seperti adegan di film di mana tokoh utama mereka sedang menebar pesona dengan melakukan hal-hal sederhana tetapi terlihat sangat luar biasa karena wajah tampan yang dimiliki.

Siapapun, yang saat ini sedang menyaksikan secuil adegan itu pasti juga merasakan kekaguman yang sama. Mereka akan kesulitan untuk mengekspresikan diri dan menjadi terpaku di tempat persis seperti Zea.

Apa ini yang dinamakan keindahan dari hidup?

Seperti ini?

Melihat hal yang bisa dikatakan seperti sebuah momen penuh keajaiban itu membuat Zea pada akhirnya mengerti bagaimana rasanya benar-benar hidup.

Malamnya menjadi sangat berbeda ketika ia melaluinya bersama dengan pria asing yang bisa dimatakan tidak dikenal sama sekali, hanya sebatas pertemuan mereka dengan minum kopi bersama beberapa saat yang lalu.

"Aku tidak tahu harus berkata apa saat ini."

"Rasanya mengungkapkan seribu kali ucapan terima kasih saja tidak akan cukup. Aku benar-benar beruntung karena bertemu denganmu setiap kali bertemu dengan masalah." tangan mungilnya terlihat memutar botol minum, mengusir rasa canggung yang menyeruak.

Ini memang terdengar mustahil dan sesuatu yang konyol bila benar terjadi di kehidupan seseorang. Ketika kau bertemu dengan sosok yang selalu saja menjumpaimu dalam satu momen yang sama, ketika dirimu kesulitan. Kau bisa menyebutnya sebagai sebuah penyelamat, kunci dari setiap bahaya yang menimpa.

Awalnya, Zea tidak mengetahui siapa orang yang begitu berani melawan para penjahat dan rela mengorbankan nyawanya sendiri —yang membuatnya tentu saja berada di dalam kondisi penuh akan bahaya— untuk menyelamatkannya.

Ia menyebutnya sebagai malaikat.

Lalu kemudian Satria berujar dengan nada candaan khasnya, "Kita bertemu lagi, Zee. Kali ini, apa lagi lagi karena sepatu kaca?"

Benar saja, kesan pertama yang terpikirkan oleh pria itu tentang Zea selalu menjadi awal dari pertemuan mereka. Seolah telah terpatri di dalam otaknya, melihat Zea itu berarti melihat sosok yang bukan Tuan Putri namun bisa-bisanya mengatakan ia kehilangan sepatu kaca.

"Saya juga sebenarnya terkejut ketika menyadari bahwa yang mereka ganggu adalah dirimu." sama, keduanya merasa telah dipermainkan oleh takdir, seperti sesuatu yang terasa aneh terus terjadi tanpa henti, "Sebelumnya saya sudah bilang bahwa kita pasti akan bertemu lagi, tetapi saya tidak tahu kalau pertemuan kita akan seperti ini lagi —kamu terjebak di dalam suatu persoalan, dan tanpa sengaja saya juga berada disana."

Zea menunduk, malu. Terlihat sekali bahwa gadis itu sedang memaksa untuk tersenyum.

Gelagatnya menunjukkan bahwa dirinya tengah berusaha untuk menyembunyikan wajah karena merasa tidak enak hati dan cukup tak nyaman dengan kondisi ini.

Melihat hal tersebut tentu saja yang memberikan respon terkejut dari lawan bicaranya. Itu sungguh bukan sesuatu yang sesuai dengan harapan, "Zee, ada apa? Apa saya salah bicara?" cepat, bertanya.

Satria merupakan tipikal seseorang yang mementingkan perasaan dari orang yang ia ajak berbincang, begitu menjaga kata di setiap kalimatnya.

"Maksudnya saya mengatakan ini adalah saya tidak pernah berdoa bertemu denganmu dalam kondisi yang seperti ini, tetapi —" belum juga menyelesaikan koreksinya, Zea memberi sanggahan.

"Tetapi semesta membuat kita terus-menerus terjebak dalam kondisi yang tidak jauh berbeda dari pertama kali kita berjumpa, " dipotong cepat, menimpali perkataan Satria, Zea tahu niat pria itu tentu saja bukan untuk merendahkannya, apalagi memandangnya dengan tatapan menyedihkan.

Matanya membulat, berbinar, "Tidak apa-apa, jangan merasa bersalah atau berpikir jika aku sakit hati dengan perkataanmu." terangnya, meskipun suaranya mulai terdengar agak gemetar, lekuk senyum yang tergambar disana tidak juga hilang

"Beginilah, inilah kehidupanku. Sesuatu yang kujalani sebagai takdir, hadiah dari semesta yang terus aku coba untuk syukuri sejauh ini." batinnya mungkin sedang merintih saat ini, walau tidak ditampakkan, semuanya begitu kentara.

Merenung, Satria hanya bisa menatapnya dengan tatapan penuh tanpa berkata apapun untuk memberikan pendapatnya mengenai kalimat yang terdengar sangat pilu tersebut.

Itu seperti sesuatu yang dikatakan langsung dari hati, karenanya langsung masuk ke dalam hati.

"Apa aku boleh bicara jujur padamu?"

"Um? A-ah, tentu. Silakan saja."

"Aku awalnya tidak pernah mendambakan pertemuan kita di waktu-waktu berikutnya. Memikirkannya saja aku enggan. Apa kamu tahu alasannya?"

Itu kalimat yang sangat mengecewakan. Satria merasa tenggorokan yang seperti tercekat dan tidak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Menghormati lawan bicara, pria itu hanya menggeleng lemah.

"Bukannya aku tidak senang bila bertemu denganmu, justru aku merasa sangat senang dan bahagia. Aku selalu saja mendapatkan bantuan darimu."

"Tetapi, dibalik kebahagiaan itu aku juga ikut merasa sedih. Kamu adalah orang pertama yang mengetahui sisi menyedihkan di dalam kehidupanku. Dan, seperti orang pada umumnya, aku hanya tidak ingin terus menerus bertemu denganmu dan merasa dikasihani."

"Aku bahkan bertekad untuk menghindari mujika kita kembali tidak sengaja di pertemukan." kelakar Zea, panjang lebar.

Satria mematung, "Itu ... terdengar sedikit mengecewakan."