Ada banyak yang harus Zea lakukan. Tugasnya bukan hanya menunggu toko dan melayani pembeli hingga waktunya tutup, tetapi membersihkan dan menyortir barang —ia harus memilih dengan hati-hati mana saja barang yang telah kadaluarsa dan tidak dapat dijual kembali esok hari— kemudian menggantinya dengan stok baru.
Setelah menyapu seluruh bagian toko, membersihkannya dengan cermat, sampailah Zea ke saat-saat yang senantiasa ia tunggu. Gadis dengan wajah manis itu pergi ke ujung lorong -tempat dimana makanan saji seperti nasi instan dan lauk pauk yang telah siap, dijual. Roti, beberapa camilan yang hanya mampu bertahan sehari, semuanya diambil oleh Zea dengan bersukacita.
"Ara boleh aja miskin, Mah. Tetapi lihat, makanan yang Ara makan selalu saja berbeda dan bermacam-macam." tukasnya dengan bahagia, itu benar-benar kesungguhan, wajahnya tidak mencoba untuk berpura-pura.
Ara —panggilan kecil yang diberikan oleh sang Ibu— Zea begitu menyukai nama kecilnya, hingga setiap kali ia merasa berbahagia, selalu saja memanggil dirinya sendiri dengan nama tersebut.
"Um?" ketika mulutnya sibuk mengunyah makanan, tiba-tiba gadis berwajah imut itu membulatkan matanya, "Mengapa nasi ini enak sekali? Ini tidak buruk, benar-benar lezat." ekpresi terheran-heran dengan penemuannya —maksudnya, makanan sisa yang beberapa saat lalu dikatakan tlah basi dan tidak dapat dijual keesokan hari, nampak membuatnya terkejut.
Bukan tanpa alasan, ini menjadi sesuatu yang seperti mulai melekat di hidupnya. Memakan makanan yang terbilang 'aneh untuk disyukuri' itu membawa Zea pada jenis keberuntungan yang bermacam-macam.
"Aku pasti sangat beruntung hari ini."
Tidak perlu memperoleh uang segudang, cukup menikmati makanannya dengan tenang. Definisi beruntung yang gadis itu maksudkan.
Drama yang menikmati makanan tersebut tanpa melakukan apapun, diam teranyut dalam kegiatannya.
Awalnya, Zea mengunyah semua makanan dengan bersemangat, tetapi seiring berjalan waktu berlalu perlahan-lahan caranya menyantap makanan mulai tidak seexcited sebelumnya. Gerakan mulutnya memelan, matanya yang sebelumnya menatap datar ke arah lorong penuh barang-barang yang dijual —menerawang jauh, seperti menampung sesuatu, air mata.
Memerah, wajah pucat itu berubah. Mengusap tetes pertama bening yang jatuh di pipi dengan kasar, tersadar, gadis itu mulai kembali tersenyum.
"A-apa ini? M-mengapa aku menangis?" bertanya kepada dirinya sendiri, merasa aneh, beberapa detik lalu yang merasa bergembira kemudian tiba-tiba hatinya seperti teriris sesuatu, sakit.
Mungkin hal tersebut yang berpengaruh kepada emosinya, hanya butuh waktu yang sebentar untuk membuat Zea tersadar bahwa dirinya bukanlah sosok normal yang pantas untuk bisa merasakan kebahagiaan.
"Semua hal selalu berjalan tidak sesuai dengan harapanku. Ketika mendapatkan sesuatu yang membuatku merasa bersyukur, aku begitu berbahagia."
"Semoga saja, ini bukan untuk sesuatu yang pada akhirnya membuatku terluka dengan rasa sakit yang luar biasa."
Tepat setiap waktu, Zea selalu senantiasa berjaga-jaga agar tidak terlalu bersukacita menjalani hidup. Karena setiap kali yang merasa demikian, entah mengapa di sisi lain dari jiwanya justru menginginkan kematian.
Menyelesaikan acara makannya dengan cepat dan membereskan sisanya, setelah jam benar-benar menunjukkan pukul dua belas malam, Zea memutuskan untuk menutup toko dan kembali pulang ke rumah.
"Ah, akhirnya."
Tubuh yang kelelahan, membuat gadis mungil itu begitu mendambakan waktu istirahat yang panjang. Untuk setidaknya agar dirinya dapat kembali memulihkan tenaga yang telah terkuras habis setiap harinya.
Hanya saja impian tersebut sulit untuk menjadi nyata, atau dalam kata lain ia tidak pernah bisa benar-benar memiliki waktu rehat —dunia tidak memberikan izin kepadanya menikmati hidup sebagai manusia biasa.
Langkah demi langkah, suasana semakin sunyi. Jam menunjukkan bawa semua orang telah larut di dalam mimpi mereka masing-masing. Zea terus menatap waspada ke arah sekeliling semenjak kejadian beberapa saat lalu, di mana ia bertemu dengan orang-orang jahat dan berada pada momen antara hidup dan mati.
Semoga saja, hal tersebut tidak terulang kembali dan ia bisa sampai dengan selamat ke rumah.
Jarak antara tokoh dan rumah mereka sebenarnya tidak terlalu jauh. Tidak kurang dari sepuluh menit berjalan kaki, Zea sudah sampai ke bangunan yang menjadi istana kecilnya.
"Mari kita pulang!" senyuman menghiasi wajahnya selalu saja berpikir positif tersebut, tidak pernah ada rasa kesal atau emosi meskipun ia sangat letih hari ini.
Matanya membulat, ia berlarian kecil sebelum benar-benar memasuki halaman rumah.
Seperti apartement —akan tetapi dalam bentuk yang sangat sederhana, cukup tua, dan bukan hunian yang bisa dikategorikan sebagai tempat mewah, merupakan gambaran singkat tempat tinggal milik Zea. Meskipun begitu, harta berharga yang ia miliki tersebut mencari tempat berlindung yang akan terus gadis itu jaga.
"Immo, Sarah, aku pulang."
Tok tok!
Tok tok!
Karena sejak dulu tidak pernah diizinkan untuk membawa kunci cadangan —meskipun faktanya adalah bahwa rumah tersebut merupakan miliknya sendiri, peninggalan dari kedua orang tuanya, Zea selalu menghadapi kesulitan yang sama setiap kali hendak pulang memasuki rumah. Ia meminta mereka yang berada di dalam untuk membukakan pintu, sementara hal tersebut tidak pernah sesederhana itu.
"Immo!"
"Aku pulang."
Lagi, masih berpikir positif meskipun mengetahui ending seperti apa yang akan ia hadapi, Zea tidak merasa berputus asa dan terus mencoba untuk memanggil nama yang sama.
"Ini Zea, Immo. Zea sudah pulang." setelah berkali-kali mencoba, suara tersebut semakin lama semakin lirih, berubah merendah, dan hilang.
Akan percuma saja jika memohon, Zea memilih untuk duduk dengan posisi menekuk kedua kakinya, memeluk tubuh pilu.
Tidak akan ada yang keluar.
Benar, daripada membukakan pintu untuk gadis malang tersebut, membiarkannya tetap berada di luar adalah sesuatu yang sudah begitu terbiasa dilakukan oleh para penunggu rumah ini. Kepada sang pemilik sah, yang tidak bisa memprotes atau marah pada setiap tindakan yang mereka lakukan.
"Tidak apa-apa. Jangan bersedih, Zea." berbisik dengan gemetar, ini pasti dikarenakan udara luar yang begitu dingin, membuatnya hanya mampu berbicara dengan tergagap-gagap.
Menenggelamkan wajahnya diantara lutut, "Immo dan Sarah pasti sudah tertidur. Mereka mungkin begitu letih karena ada begitu banyak hal yang harus dilakukan hari ini, kelelahan. Jadi, sudah tertidur dengan sangat pulas dan tidak mendengar panggilanmu dari luar."
"Bukan masalah besar. Lagipula sebentar lagi pagi akan tiba. Hanya tinggal menunggu beberapa jam saja, semuanya akan baik-baik saja."
Apa yang sebelumnya dibayangkan oleh gadis itu rupanya tidak pernah meleset. Untuk ukuran sesuatu yang selalu saja menjelma seperti sebuah keberuntungan baginya, pasti akan memiliki harga yang jauh besar dari arti kebahagiaan itu sendiri.
Makanan lezat, tidur di luar rumah.
Merupakan suatu kesatuan yang sangat harmonis untuk Zea. Ia amat sangat terbiasa, ia terbiasa hingga rasanya untuk memprotes saja akan menjadi hal yang sia-sia dan percuma.
Karena sejatinya hidupnya sudah ditakdirkan menjadi seseorang yang mengalami kemalangan, dirinya, hidup tidak pernah berbaik hati padanya bahkan sekali saja.