Jika Cinderella harus segera pergi sebelum tepat jam 12.00 malam —dengan alasan, gadis yang semula menjelma menjadi tuan putri itu akan berubah menjadi sosok yang amat sangat sederhana, kembali seperti sebelumnya, bukan lagi tuan putri di acara pangeran— maka apa yang dilakukan oleh Zea tidak jauh berbeda. Ia juga harus segera pergi, sebelum tepat pukul dua belas malam.
Hanya saja, apa yang menjadi alasannya untuk segera meninggalkan pria yang ia kenal dengan nama Satria tersebut ialah karena ... Zea harus melakukan pekerjaan malamnya. Bukan pengaruh sihir ibu peri yang menghilang, justru Zea harus bertemu dengan Ibunda tiri yang siap melampiaskan kekesalan bila dirinya terlambat datang.
"A-aku harus bergegas! Jika Immo sampai menyadari bahwa aku terlambat menemuinya, ia pasti akan menjadi sangat marah." mempercepat langkah kakinya, napas Zea sudah seperti diujung tenggorokan.
Untuk seorang gadis yang tidak beruntung sepertinya, bekerja keras demi kehidupan saja tidaklah cukup. Ia harus melakukan banyak hal untuk dapat bertahan hidup. Dengan maksimal memberikan seluruh tenaganya untuk dapat bernafas dengan sentosa.
"A-ah! Akhirnya."
Pintu toko —bangunan ini adalah miliknya, satu-satunya tempat peninggalan yang ditinggalkan kepadanya dari sang ibunda, yang dijadikan sebagai tempat usaha menjual beberapa kebutuhan, mirip minimarket— terbuka ketika gadis itu mendorongnya dengan lemah.
"Hallo, Tuan Putri." seseorang menyambutnya, dengan nada sapaan yang terdengar amat sangat tidak tulus dan sengaja menyedutkan, lebih terdengar seperti sindiran.
Siapa lagi yang berkenan melakukan itu jika bukan sang Immo tercinta? Bibinya.
"Kau datang?"
"Kukira kau akan menghabiskan waktu bersenang-senang di luar sana, menjadi gadis yang bersukacita hingga lupa untuk melakukan apa yang seharusnya kau lakukan." imbuh suara yang sama, melempar pakaian yang merupakan seragam untuk menjaga toko tersebut.
Catat, dilempar. Dengan kasar.
"Perlu berapa kali kuingatkan agar kau tidak terlalu bersenang-senang? Orang sepertimu tidak pantas berbahagia di dunia, kau tahu?"
Sekali lagi, tempat ini adalah miliknya. Tetapi di sini, Zea tidak benar-benar bisa merasakan bagaimana menjalani kehidupan dengan benar. Semua yang menjadi haknya tidak membuatnya memiliki alasan untuk dapat menikmati apapun itu dengan tenang. Bak kutukan, tetapi Ia selalu berusaha untuk berpikiran positif
"Maaf, Immo." sesalnya, berujar dengan pandangan menunduk dalam ke bawah.
"Sesuatu terjadi padaku beberapa saat yang lalu, membuatku mau tidak mau terlambat datang. Ini terjadi tanpa sengaja, aku berjanji tidak akan mengulanginya." terang gadis itu dengan suara lirih sekali, seperti tertahan.
Zea menyampaikan apa yang memang sebenarnya terjadi padanya. Walaupun ia tahu, apa yang ia katakan saat ini tidak akan berguna.
Immo tidak akan memaafkan dirinya begitu saja.
Bibinya itu tidak pernah peduli pada kebenaran. Yang selalu terpatri di dalam kepalanya adalah kebencian untuk Zea. Peduli apa bila terjadi sesuatu padanya? Tidak, bahkan jikalu gadis itu mati, wanita paruh baya itu tetap akan menutup mata dan telinga seolah tidak terjadi apa-apa.
"Beralasan lagi? Apa kau tidak pernah bosan untuk terus menerus mencari pembenaran diri?"
"Kau dan Ibumu itu sama saja." bukannya bertanya kenapa Zea datang terlambat, apa yang gadis itu alami, hal apa yang membuatnya sampai harus begitu, Immo —begitu Zea memanggilnya— justru melontarkan hal lain.
Ia selalu saja mencari cara bagaimana bisa merendahkan Zea dan keluarganya tidak peduli apa yang sudah dirinya ambil dari gadis malang tersebut.
"Kalian selalu tidak becus dalam melakukan apa saja. Apa saja, selalu gagal." meletakkan kedua tangannya di pinggang dan menatap remeh ke arah lawan bicara yang saat ini berada di hadapannya, Immo, seperti yang sudah ditebak oleh gadis itu tidak henti-hentinya melontarkan kata-kata kasar yang menyakitkan setiap kali sesuatu tidak berjalan sesuai dengan kehendaknya.
Alasan dari wanita itu memaki-maki Zea begitu sederhana, hanya karena gadis itu terlambat untuk datang dan memenuhi tugas jam malamnya untuk menjaga toko.
"Itulah sebabnya hidupmu seperti ini. Pantas saja, kau mendapatkan takdir yang begitu buruk."
Setelah mengatakan kalimat yang cukup puas membuat hati Zea tersakiti, begitu perih rasanya, Immo menghentakkan kakinya dan secara sengaja menabrakkan tubuhnya ke tubuh Zea yang memang lemas, tidak melawan.
Gadis itu terhuyung, hampir jatuh.
Atas setiap perlakuan yang dirinya terima, Zea tidak pernah membalas apapun dan menerimanya dengan lapang.
Menerima, berusaha rela.
Gadis itu hanya terus berkhayal dan bertanya, kapan setiap hal di dalam hidupnya yang terus membuatnya menderita seperti saat ini akan berakhir.
"Hati-hati, Immo."
Bahkan, setelah semua yang terjadi Zea masih punya muka kan agar bibinya tersebut dapat selamat hingga benar-benar sampai ke rumah.
Kapan masa-masa penuh kebahagiaan datang kepadanya dan membuatnya terus tersenyum?
Tidak lagi menjalani hari yang menyedihkan.
Memiliki pemikiran tentang masa depan membuat gadis itu tiba-tiba teringat dengan perbincangan dirinya dan Satria beberapa saat yang lalu.
"Bukan hanya dalam suasana menghadapi penjahat saja, hal yang sama juga berlaku ketika menghadapi takdir hidup yang kadang tidak sejalan." Satria tidak melepaskan pandangannya sedikitpun dari Zea, "Keduanya kamu lakukan dengan sangat baik. Sejauh ini kamu berhasil untuk bertahan, itu sudah lebih dari cukup. Nanti, akan tiba saatnya, di mana kamu akan merasakan apa itu arti dari kemenangan."
"Kita tidak pernah tahu kapan, tetapi kapanpun itu itu kamu hanya perlu menunggunya."
"Saya yakin, saya menjamin hal itu."
Seperginya Immo, Zea hanya bisa melamun, menerawang jauh tentang nasibnya. Sekali lagi gadis berwajah mungil tersebut tidak pernah bisa mengungkapkan rasa sesak dan penuh di dalam hatinya dengan air mata. Ia hanya berharap dirinya bisa menangis sekali saja.
Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat ini adalah tertawa hambar.
Bukankah hidupnya terlalu lucu? Kenapa sesuatu yang ia pinta secara sederhana justru sesulit ini adanya.
Tidak, yang tidak pernah berani meminta hal besar, dan untuk itu, semesta masih terus memberinya kegagalan
"Semangat, Zea."
"Kamu baik-baik saja. Kamu akan baik-baik saja."
Meskipun jujur saja, gadis itu benar-benar muak dengan apa yang ia katakan —kalimat yang berulang kali ia ulangi setiap merasakan hukuman takdir yang diberikan oleh Tuhan kepadanya— Zea tetap berusaha untuk optimis dan menjalaninya dengan sukacita.
"Memangnya kenapa? Hidupmu tidak semenyedihkan itu."
"Kenapa mereka merendahkanmu? Kamu bisa bertahan hingga sekarang, artinya kamu memang luar biasa." gadis itu melirik pada pantulan dirinya di kaca besar di dekat kasir utama. Dengan terus mencoba menarik segurat senyum, ia tetap kuat dan bertahan.
Yang tak henti-hentinya Zea ingat, dan tidak pernah absen ia lakukan —meskipun faktanya selama ini ia tidak memiliki seseorang di sisi untuk dapat membantunya— untuk setidaknya percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja, gadis itu akan terus mengapresiasi dirinya untuk segala hal yang telah ia capai.
Termaksud untuk tetap hidup sampai sekarang.
Hanya dengan itu Zea bisa bertahan.