***
"Ketujuh malaikat itu penjaga dunia ini?" tanya Evan.
"Benar! Lambang yang ditanganmu adalah lambang dari Jophile, malaikat kecantikan," jawab Ponrak, nama dari wanita yang menyelamatkan Evan.
"Oh, jadi wanita yang menyeretku kemari adalah Jophile?"
"Memangnya kau berasal dari mana? Pakaianmu tak pernah kulihat sebelumnya," tanya Ponrak, Evan langsung melirik ke arah pakaian kemeja dan celana panjang miliknya yang masih tersimpan rapi di atas kursi.
Evan memerhatikan furnitur dan peralatan yang ada di rumah tersebut, begitu kuno dan hampir semuanya terbuat dari kayu. Ia berpikir, teknologi masih jarang ditemukan di negeri ini.
"Aku berasal dari negeri yang jauh, seseorang menyeretku kemari tanpa tanggung jawab," balas Evan, tersenyum kecil.
"Katakan padaku, kau tidak punya hubungan apa pun dengan ketujuh malaikat itu, kan?" tanya Ponrak, penasaran.
"Apakah seseorang dilarang memiliki hubungan dengan mereka?" tanya Evan, memastikan.
"Hanya Pendeta Agung yang boleh berhubungan dengan mereka. Rakyat kecil seperti kita akan diburu untuk dibunuh atau lebih buruk lagi, dijadikan kelinci percobaan."
Ponrak berbicara dengan suara yang lirih, pemilihan kata-katanya juga ia atur sedemikian rupa sehingga tidak membuat Evan bingung. Penjelasan Ponrak sebenarnya lebih dari cukup untuk bisa dipahami oleh Evan, ia juga tidak begitu asing dengan dunia paralel dan sistemnya, pasalnya Evan banyak mempelajari melalui game online atau pun komik.
"Tujuanku adalah bertemu dengan Pendeta Agung. Apa kau bisa membantuku?" tanya Evan, mendengar itu membuat Ponrak tertawa lantang.
"Semua orang bermimpi untuk bertemu dengannya, tapi hanya orang terpilih saja yang bisa melakukannya," jawab Ponrak.
Suara air mendidih dari atas tungku terdengar jelas. Ponrak bangkit dan berjalan menuju dapur untuk menuangkan air panas tersebut ke teko yang sudah terisi teh hijau. Evan ikut berdiri dan berjalan menuju jendela rumah, ia melihat banyak warga desa yang tengah berkegiatan di ladang.
"Apa kau ingin minum di luar?" tanya Ponrak, Evan menggelengkan kepalanya pelan.
"Aku akan segera pergi, tidak ada waktu bagiku untuk berlama-lama di sini." Evan segera berbalik badan dan tanpa sengaja menabrak Ponrak yang kebetulan berada di belakangnya. Pemuda itu segera menangkap Ponrak dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya mencoba menangkap teko yang terlempar dari Ponrak.
"Maafkan aku," ucap Evan, bersalah.
"Tidak apa-apa, tetapi bagaimana kau bisa melakukannya?" tanya Ponrak, seraya menunjuk teko yang melayang
Pemuda itu mengalihkan pandangannya dan melihat teko tersebut melayang di udara ketika tangan kanannya hendak meraih benda tersebut. Evan terkejut dan mengangkat tangan kanannya seraya berteriak kecil.
"B-Bagaimana aku bisa melakukannya?" tanya Evan, menunjuk teko teh yang pecah di atas lantai kayu rumah Ponrak.
"Apa kau yakin tidak punya hubungan apa pun dengan ketujuh malaikat tersebut?" tanya Ponrak, curiga.
"Aku? Iya, aku yakin aku tidak punya."
"Itu aneh," ucap Ponrak.
Pintu terbuka, Ayah Ponrak datang dengan wajah yang ditekuk marah. Alisnya meruncing dan matanya terus memandang pedang panjang yang terpajang di dinding. Ia tidak berucap apa pun kepada Ponrak dan entah kenapa wanita itu mengerti dengan sikap yang ditunjukan oleh ayahnya.
"Ada apa?" tanya Evan.
"Mereka datang," ucap Ponrak, siap dengan seragam tempur berbahan kulit dan sebuah pedang kecil seukuran lengan.
"Siapa?"
"Para iblis yang berhasil menyelinap," balas Ponrak.
Evan semakin terkejut, ia sungguh tidak salah dengar kalau Ponrak mengatakan iblis. Di dunianya, memang ada iblis, tapi bentuk mereka tidak terlihat sehingga sangat sulit untuk melawannya, apalagi dengan menggunakan pedang seperti yang Ponrak genggam.
"Seperti apa bentuk iblis itu?" tanya Evan, penasaran.
"Apa kau tidak pernah melihat iblis sebelumnya?" tanya Ponrak, ia begitu sibuk memerhatikan sekeliling rumahnya melalui jendela.
"Aku pernah, iblis itu menampilkan dirinya ketika aku sedang berada di kamar mandi," balas Evan, bulu kuduknya seketika berdiri ketika menceritakan momen buruk yang ia alami tersebut.
"Iblis di kamar mandi? Bagaimana ia bisa berada di sana?" tanya Ponrak, terkejut.
"Iya kau tahu kemampuan mereka, menghilang dari pandangan kita."
Ketika kedua orang itu tengah mengobrol tentang iblis, teriakan kencang terdengar dari luar rumah. Ponrak dan Evan terperanjat kaget dan spontan segera membuka pintu rumah. Terlihat banyak orang berjatuhan dengan tubuh penuh darah, termasuk Ayah Ponrak.
"JANGAN KELUAR! Kembalilah masuk dan pasang mantra penghalang," balas Ayah Ponrak, tergeletak di atas tanah dengan mulut penuh dengan darah, perutnya ditusuk oleh sebilah kayu panjang mirip seperti tombak.
"Ayah! Aku akan pergi bersamamu, jangan tinggalkan aku!" teriak Ponrak, menangis melihat kondisi ayahnya yang sekarat.
Evan mencegah Ponrak untuk mendekati ayahnya, tetapi kekuatan tangan wanita itu jauh lebih besar ketimbang dirinya. Ponrak berjalan dengan langkah cepat menghampiri ayahnya.
Terlihat dari kejauhan, sebuah tombak melesat cepat dari kedalaman hutan mengincar kepala Ponrak. Evan berteriak kepadanya untuk menghindar seraya menjulurkan tangan kanannya ke arah tombak tersebut.
Sihir pun terjadi, tombak itu berubah menjadi debu sebelum mengenai Ponrak. Lambang Jophile yang berada di tangan Evan menyala terang, tanda kalau dia sudah menggunakan kekuatannya.
"Sekarang bagaimana kau melakukannya, Evan?" tanya Ponrak, kebingungan.
"Aku pun memikirkan pertanyaan yang sama denganmu."
Suara riuh sekelompok monster semakin bergaung, menciptakan ketakutan di hati para penduduk desa. Hutan belantara mengurung desa ini, sehingga cukup masuk akal jika iblis-iblis itu mengincar manusia.
"Letakan tangan kananmu di atas tanah."
Evan membelalak kaget, terdengar suara lembut yang memerintahkan dirinya meletakan tangan di atas tanah, sekilas ia seperti mengenal suara tersebut mirip dengan suara Rika.
Tanpa ragu, Evan melakukannya sesuai yang diperintahkan. Di beberapa menit awal, tidak terjadi apa pun. Namun, setelah beranjak lebih dari lima menit, tanah di desa tersebut terlihat bergetar dan membukakan celah luas yang mirip dengan jurang yang dalam.
Iblis-iblis itu berlarian tanpa tahu ada jurang yang baru terbentuk di depan desa. Dengan mudahnya, mereka terkalahkan dan berjatuhan layaknya air hujan. Evan memerhatikan bentuk iblis tersebut, wajah dan bentuknya lebih mirip seperti goblin daripada iblis-iblis yang ia kenal dulu.
Setelah dirasa para iblis tak berdatangan, ia mengangkat tangannya dan terkejutnya bagi Evan, tanah itu tak kembali menutup. Kekuatannya yang misterius menimbulkan sesuatu yang baru di desa tersebut, jurang besar yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.
"Evan," panggil Ponrak, tak percaya.
Evan segera melirik dengan wajah yang lugu, setidaknya ia berhasil menyelamatkan warga desa dari kematian. Kekuatan yang dimunculkan olehnya membuat orang desa mulai mengagumi Evan, tak sedikit juga yang mencurigainya sebagai mata-mata para malaikat.
"Bagaimana kau melakukannya?" tanya Ponrak, semakin kebingungan dengan kekuatan Evan.
"Itu sesuatu yang mustahil, menggerakkan tanah dan menciptakan jurang, hanya para malaikat yang mampu melakukannya," sambung Ponrak.
Evan terpaku tak mampu bersuara, sudah cukup kekuatan yang ditunjukan olehnya. Wajah Ayah Ponrak begitu pucat, terlihat pria paruh baya itu sudah kehabisan banyak darah akibat pertempuran dengan para goblin. Evan berlari mendekati Ponrak dan melihat kondisi Ayah wanita itu sedari dekat.
"Apa kau bisa menggunakan kekuatanmu untuk menyembuhkan ayahku?" tanya Ponrak, matanya semakin banjir oleh genangan air mata, ia belum siap jika harus ditinggalkan seorang diri.
"Akan kucoba."
Evan menjulurkan tangan kanannya dan membentangkan telapak tangannya lebar-lebar. Kedua matanya terpejam dan pikiran begitu fokus untuk menyembuhkan luka di tubuh Ayah Ponrak. Ia berpikir begitu keras hingga tangannya disingkirkan oleh pria tua tersebut.
"Ah, aku tidak merasakan apa pun," ucap Ayah Ponrak, singkat.
"Kau tidak bisa melakukannya?" tanya Ponrak.
"Entahlah, kekuatan itu tidak muncul ketika kupanggil," balas Evan seraya tersenyum simpul.
Ponrak menangis sejadi-jadinya, ia terus berada di dekat ayahnya dan menemani pria itu hingga ajal datang menjemput. Semuanya ikut bersedih, orang-orang yang punya hubungan dengannya ikut menangis, hanya Evan seorang yang berwajah polos tidak tahu apa pun.
"Jangan tinggalkan aku, Ayah!" teriak Ponrak, memeluk tubuh ayahnya dengan erat.
Momen kesedihan warga desa terganggu akibat kedatangan dua malaikat agung ke desa tersebut. Warga desa segera mengangkat senjata dan mengambil sikap untuk bertahan. Manusia memang punya dendam terhadap malaikat, karena sikap arogan dan licik para malaikat yang melebihi iblis.
"Itu dua malaikat agung, Uriel dan Kamael," ucap Ponrak, menyeka air matanya.
Evan mengangguk setelah mengetahuinya, penampilan mereka jauh lebih eksentrik dibandingkan manusia. Malaikat Uriel mengenakan pakaian serba panjang dengan buku tebal yang selalu ada bersamanya, sedangkan Kamael mengenakan jubah perang berwarna perak dengan tombak trisula berada di tangan kanannya. Keduanya memiliki sayap yang membentang dengan besar.
"Dari mana kau mendapatkan kekuatan itu, wahai Pendosa?" tanya Uriel, suaranya sangat kencang hingga membuat benda-benda di sekitar rumah Ponrak bergetar.
"Aku tidak akan memberitahumu, hanya Pendeta Agung yang harus mendengarnya."