Chereads / Battle of Heaven / Chapter 3 - Malaikat Jophiel

Chapter 3 - Malaikat Jophiel

"Oh Tuhan, kau berani mengkhianati kehendak Gabriel?" tanya Uriel, setiap kali malaikat itu berbicara, terasa getaran semakin kuat detik demi detik.

Tangan dan kaki seluruh warga desa ikut gemetar ketika mendengar ancaman dari malaikat agung tersebut, bahkan Ponrak yang semula gagah berani hendak melawan para iblis kini nyalinya ciut dihadapkan dengan dua malaikat agung yang datang ke desanya.

Ukuran tubuh dua malaikat itu jauh lebih besar dan tinggi dari yang mereka duga, bahkan mereka tinggi pohon kalah oleh tinggi Uriel dan Kamael. Perbandingan besar keduanya layaknya seorang manusia dengan kucing, cukup besar jika kucing melihat manusia dewasa di depannya.

"Aku harus bertanggung jawab. Aku harus menyampaikan pesan dari seseorang yang mengirimku kemari."

Kamael terlihat kesal dan marah. Ia dengan keras menghentakkan tombak trisula yang ia genggam di atas tanah sehingga membentuk kawah dengan api panas yang bergejolak. Jaraknya cukup jauh tetapi warga desa sudah dibuat ketakutan akan hawa panas yang mereka rasakan.

"Jangan bertindak bodoh, kau akan mengorbankan semua orang di desa jika tetap tak mau mengatakan dari mana kekuatanmu berasal," ucap Kamael, menunjuk Evan dengan ujung tombaknya.

Wajah Ponrak kini berubah pucat, ia sama takutnya ketika kehilangan ayahnya beberapa menit yang lalu. Nyalinya ciut ketika dirinya dihadapkan pada kematian yang sia-sia, Ponrak segera menghampiri Evan dan meminta pria itu untuk memberitahu mereka.

"Aku tidak bisa melakukannya."

"Kau akan membiarkan kami semua mati terpanggang di sana, Tuan?!" bentak Ponrak, egois.

Kini, Evan dihadapi dilema besar, antara memilih harus memberitahu kedua malaikat tersebut atau memegang teguh prinsip tanggung jawab akan pesan yang harus ia sampaikan pada Pendeta Agung.

"Cepat beritahu mereka!"

"Jangan buang waktu lagi. Aku tidak mau mati muda."

Mereka serentak menyuruh Evan untuk segera mengungkapkan identitas si pemberi kekuatan. Jika ia melakukannya, ia akan diburu oleh seisi dunia dan menjadi buronan kelas atas karena hubungannya dengan Jophiel.

"Jangan beritahu mereka. Uriel dan Kamael akan membunuhmu hingga ke jiwa terdalammu!"

Lagi, Evan mendengar perkataan tersebut. Ia tidak tahu siapa yang mengatakannya, tetapi perintahnya selalu membawa keuntungan bagi Evan. Evan tetap berpegang teguh untuk tidak mengatakan siapa yang memberinya kekuatan selain kepada Pendeta Agung.

"Aku tidak akan mengatakannya."

"Manusia egois. Karena ulah dirimulah mereka semua akan dimasukan ke dalam kawah berapi tersebut."

Serentak semua warga desa menjerit ketakutan, mulai dari orang dewasa hingga anak kecil yang tak tahu apa-apa. Ponrak terkejut mendengar pernyataan Evan, tubuhnya mengigil ketakutan ketika dia dipastikan akan tewas terpanggang di kawah tersebut.

"Kau akan diliputi rasa bersalah seumur hidupmu! Akan kupastikan itu, Evan!" bentak Ponrak, kesal.

"Tidak!"

"Seseorang tolong aku!"

Satu persatu warga desa yang tak berdosa dikirim untuk dimasukan ke dalam kawah berapi. Terdengar teriakan melengking dari mereka, suara penyiksaan dan penderitaan yang tak seharusnya mereka dapatkan.

Kini hanya tersisa Ponrak dan Evan seorang di desa tersebut, Kamael memberi kesempatan kedua untuk Evan memberitahu mereka siapa yang memberinya kekuatan.

Evan masih diam, melihat sikap pemuda tersebut membuat Ponrak berang. Ia langsung berteriak kepada Kamael dan memberitahu mereka siapa yang memberi Evan kekuatan.

"JOPHIEL! Malaikat itu yang memberinya kekuatan," teriak Ponrak.

"Jophiel? Bagaimana kau mendapatkan kekuatan dari malaikat yang terbuang?" tanya Uriel, terkejut.

"Terbuang? Apa maksudmu?" tanya Evan, bingung.

Uriel dan Kamael tidak berkata apa pun. Ia memiliki perjanjiaan dengan para malaikat agung lainnya untuk tidak menceritakan penyebab Jophiel dibuang dari dunia ini.

"Bagaimana kau mengetahui kalau dia adalah utusan Jophiel?" tanya Kamael, kepada Ponrak.

Wanita itu segera mengangkat tangan kanan Evan dan menunjukan lambang Jophiel di punggung tangan pemuda tersebut. Uriel mulai mengerti dengan situasi yang dihadapi mereka.

"Kekuatannya berada di tangan kanan pemuda itu," ucap Uriel seraya menunjuk ke arah Evan.

"Aku akan mengambilnya!"

Kamael segera berubah bentuk dari semula besar dan tinggi, mengecil hingga seukuran Evan dengan tetap memakai seragam perang dan menggenggam tombak trisula miliknya.

"Apa maksudmu mengambilnya?" tanya Evan, ketakutan.

"Kau tidak akan merasa sakit ketika kumelakukannya." Kamael mendekat dengan langkah perlahan, Ponrak memundurkan langkahnya dan menjauhi kedua orang tersebut. Kamael akan mengambil kekuatan Evan dengan cara memutuskan tangan kanan pemuda itu dari tubuhnya.

Semakin Kamael mendekat, Evan berjalan menjauh. Ia masih takut dengan maksud dari mengambil kekuatannya. Ia pun memerhatikan Ponrak dan melihat wanita itu sudah berada di rumahnya kembali.

"Letakkan tangan kananmu di dadamu."

Evan kembali mendengar perkataan tersebut, cukup mengganggu karena selalu datang tiba-tiba. Namun, ia langsung melakukannya mengingat ia tidak tahu harus berbuat apa lagi di kondisi yang menegangkan kali ini.

Ketika ia meletakkan tangan kanannya di dadanya, muncul angin besar yang menyelimuti dirinya, membuat jarak pandang Kamael kepada Evan terganggu. Pemuda itu terselamatkan, tetapi dirinya merasakan kembali kesakitan yang pernah ia rasakan di awal dirinya menginjakkan kakinya di dunia ini.

"ARGH!"

"Dia mencoba menyatukannya dengan tubuhnya. Cegah dia!" titah Uriel.

Kamael segera menghentakkan tombaknya, seketika benda itu berubah menjadi tombak dengan api yang berkobar di seluruh bagiannya. Ia melemparkan tombak itu ke arah pusaran angin, tetapi tak berhasil.

"Jangan khawatir. Aku akan membimbingmu, cukup dengarkan saja apa yang kuucapkan."

"Siapa sebenarnya dirimu?" tanya Evan, bingung.

Ia masih merintih kesakitan, perasaan terbakar yang pernah ia alami di tangan kanannya kini terasa juga di dadanya, rasanya jauh lebih sakit dari yang ia perkirakan. Tiba-tiba, cahaya terang muncul dan Jophiel hadir dalam pusaran angin tersebut.

Penampilan malaikat agung tersebut sangat anggun, gaun panjang yang sangat elegan dengan rambut pirang yang memesona. Gaunnya berhiaskan perak dan permata, tangan kanannya terlihat tengah menggenggam setangkai mawar merah yang begitu mekar.

"Aku Jophiel. Aku yang mengutusmu," balas Jophiel.

Wajah malaikat itu tak asing bagi Evan, setelah melihatnya dengan seksama, ia baru menyadari kalau wajah Jophiel sangat mirip dengan Rika.

"Ah, wajahmu mengingatkanku kepada Rika," ujar Evan.

"Aku memang Rika yang kau maksud."

Evan membelalakkan kedua matanya, begitu tak percaya dengan apa yang ia dengar darinya. Ia tidak pernah menduga kalau Rika, wanita yang bekerja sebagai kasir di toko langganannya tak lain adalah Malaikat Agung di dunia ini.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu di toko?" tanya Evan.

"Aku mengajukan cuti selama satu minggu kepada manajer toko. Dia menyetujuinya tanpa banyak bertanya."

"Oh begitu, yah. Lalu bagaimana dengan kabar adikku?" tanya Evan, penasaran.

Ia meninggalkan adiknya seorang diri di dunia asalnya ketika ia tersedot ke dunia ini. Mereka sudah hidup berdua sejak bertahun-tahun lalu dan sangat wajar jika Evan mengkhawatirkan keadaan darinya.

"Dia menunggumu untuk membawa makan malam," balas Jophiel.

"Kita tidak punya banyak waktu untuk basa-basi ini. Segeralah pergi ke Ibukota dan temui Pendeta Agung, tunjukan lambang milikku padanya."

Seketika pusaran angin itu menghilang dan Evan terjatuh setelah tidak lagi mengapung di udara. Ia jatuh tepat di hadapan Kamael yang sangat kesal karena sudah dikerjai oleh seorang manusia yang derajatnya lebih rendah dari malaikat.

"Tunjukan tanganmu, Manusia Sialan!" titah Kamael, Evan menunjukan tangan kanannya dan kini lambang itu tak ada lagi di dirinya.

"Kemana lambang itu? Apa yang kau perbuat di dalam pusaran angin itu?!" bentak Kamael.

Evan terdiam, ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi. Ia ingat kalau perintah terakhir dari Jophile adalah meletakan tangan kanannya di dadanya, Evan berpikir kemungkinan lambang itu berpindah dari tangannya ke dadanya.

"Sepertinya aku mendengar perkataan seperti, kekuatanmu aku ambil kembali."

Uriel datang menghampiri Evan dengan tubuh yang mengecil sama seperti Kamael. Ia menatap tubuh Evan mulai dari kaki hingga ke kepala pemuda tersebut. Dengan menggunakan mata pendeteksinya, ia tidak menemukan kekuatan apa pun di tubuh Evan.

"Kekuatannya menghilang."

"Tapi bagaimana bisa?" tanya Kamael, bingung.

"Hanya Gabriel yang mengetahuinya, sebaiknya kita kembali untuk memberitahu mereka," titah Uriel, Kamael menyetujui dan merubah kembali tombak api miliknya menjadi semula.

Kamael selalu patuh kepada Uriel, karena dia memiliki peringkat yang lebih rendah darinya, bahkan dari Jophiel sekali pun. Hal itulah yang membuat Kamael kesal karena manusia rendahan seperti Evan berusaha menggunakan kekuatan Jophile untuk menyelamatkan manusia.

Kedua malaikat itu pergi dengan kilauan cahaya yang begitu terang. Dalam sedetik, mereka sudah tidak berada di hadapan Evan dan kini desa yang ia tempati sangat kosong, hanya Ponrak dan dirinya yang tersisa.

"Aku harus segera pergi ke Ibukota," ucap Evan seraya memandang langit biru yang menawan

"Tunggu, Tuan! Anda tidak bisa pergi begitu saja dariku."