Arman pulang dengan bahagia. Ia tidak sabar memberikan kabar bahagia ini kepada ibunya. Sesampainya di rumah sudah cukup malam. Sehingga ibunya sudah beristirahat di dalam kamar. Angga dan Danang langsung berpamitan dan berjanji esok akan menemani Arman berbelanja bahan-bahannya.
Saat Arman sedang membuka pintu ternyata Ida terbangun dan melihat arman pulang.
"Loh, ibu belum tidur?" tanya Arman.
"Sudah, tapi ibu dengar suara motor kalian."
"Maaf Bu, jika kami Arman mengganggu ibu istirahat." Arman segera meraih tangan Ida dan mencium punggung telapak tangannya.
"Bu, Arman ada kabar baik," ucap Arman dengan antusias.
"Apa?"
"Arman sudah dapat tempat untuk jualan."
"Alhamdulillah, dimana nak?"
"Di mall pondok indah," jawab Arman.
"Disana itu tempat orang kaya nak, mana cukup uangnya untuk sewa?" Ida menjadi cemas mendengar jawaban Arman.
"Ibu tenang dulu, ini standnya gratis hanya biaya admin saja. Karena ini di dukung oleh pemerintah Bu, tapi hanya dua bulan saja."
"Syukurlah, kalau begitu besok kamu harus siap-siap beli perlengkapan."
"Iya Bu, besok Angga yang antar saya."
Ida merasa lega, anaknya sesaat bisa melupakan masalah percintaan dan mulai mendapat titik terang akan usahanya.
Setelah perbincangan singkat dengan ibunya, Arman menuju kamarnya. Ia melihat ponselnya banyak pesan dari Bunga. Ia tanpa membaca pesan tersebut segera membaringkan badannya keatas kasur. Ia tahu ia kan sakit hati jika membaca pesan-pesan dari Bunga.
***
Keesokan harinya, Angga pagi-pagi buta sudah berada di rumah Arman. Mereka akan berburu peralatan yang akan di gunakan oleh Arman berjualan. Karena tempat yang mereka tuju sedikit jauh. Angga membawa mobil ayahnya. Sedangkan Danang saat ini tidak bisa ikut karena ia juga harus bekerja.
"Bu kami berangkat dulu ya," ucap Arman berpamitan pada Ida. dan di ikuti oleh Angga.
"Assalamualaikum," ucap Arman dan angga bersamaan.
Merekapun berlalu, namun saat berada di ujung gang Angga melihat Bu Antok yang sedang bersama para tetangga.
"Pagi-pagi sudah sebar fitnah itu orang," gumam Angga yang kesal.
"Sudahlah, biarin aja." sahut Arman.
"Lo harus bersyukur kalau Lo putus sama anaknya, daripada Lo nikah makan hati tiap hari, memperpendek umur Lo bisa-bisa." Angga yang kuliah dan tinggal di Jakarta berbicara dengan bahasa gaulnya. Sedangkan Arman masih sangat jarang menggunakan bahasa khas ibu kota.
Arman setuju dengan ucapan Angga, ia akan semakin sering tersakiti jika tetap betahan, namun akan berbeda ceritanya jika Arman terlahir dari keluarga berada dan orang ternama. Kali ini Arman bertekat akan membuktikan dirinya mampu. Bukan untuk kembali pada bunga tapi untuk membuktikan pada orang yang meremehkan dirinya.
Namun di tengah perjalanan ponsel Arman berbunyi, terlihat nama Bunga yang menelepon. Arman menekan tombol hijau pada layar ponselnya.
"Wa'alaikum salam." sahut Arman saat bunga mengucapakan salam.
Angga yang penasaran meminta Arman menekan tombol louspiker.
"Mas, kamu kemana? Kok pagi-pagi sudah nggak di rumah?" tanya Bunga.
"Aku pergi sama Angga," jawab Arman.
"Mas aku pengen ketemu sama kamu boleh?" tanya Bunga.
"Mungkin lain waktu ya, aku masih sibuk."
"Kamu sudah benar-benar ingin putus mas?"
"Kita bicara kan lain waktu ya, bung."
"Iy...." Belum selesai Bunga menjawab tiba-tiba suaranya terhenti.
"Hallo, bung. Bunga." Arman panik dan beradu pandang dengan Angga.
"Heh, sudah berapa kali saya bilang kalau Bunga akan segera menikah dengan pengusaha muda. Jadi jangan hubungi anakku. Kalian berbeda."
Angga yang kesal segera merebut ponsel arman.
"Heh Bu, saya kasih tahu ya Bu. Pengusaha muda itu kalau dia modal sendiri dan mendirikan perusahaan sendiri. Kalau masih dari orang tua jangan sombong, saya juga punya," ucap Angga.
"Heh siapa kamu? Nggak sopan sama orang tua."
"Saya Angga, saya juga pengusaha muda pewaris satu-satunya usaha ayah saya dan saya lulusan S1 juga. Jadi bukan anak ibu saja yang lulusan kuliahan," Angga semakin menjadi saat merasa Ibunya bunga kesal.
"Tapi berbeda dengan Arman, dia tidak cocok dengan keluarga kami apalagi dengan bunga."
"Karena dia hanya lulusan SMA? Dan dia dari keluarga Miskin?"
"Ya seperti itulah," sahut ibunya bunga.
"Asal ibu tahu, yang menghubungi Arman adalah anak ibu. Bukan Arman duluan. Jadi yang kecintaan itu anak ibu."
"Tidak mungkin." Bu Antok tidak percaya.
"Tanyakan pada anak ibu," ucap Angga.
"Eiits... Ada satu lagi Bu,"
"Apa?"
"Jika Arman kaya dan sukses, seleranya bukan anak ibu. Paham!!"
Arman mendengar itu segera meraih ponselnya yang sedari tadi di kuasai oleh angga.
"Ngga, nggak enak kamu ngomong gitu."
"Biarin aja sih, Lo mikirin perasaan mereka. Emang mereka mikirin perasaan lo."
Arman mulai sadar, iapun mulai setuju dengan Angga. Dan teringat akan ucapan ibunya bahwa jodoh tidak akan tertukar.
Tak terasa Angga sudah sampai di tempat yang mereka tuju. Mereka segera mencari bahan-bahan dari daging, sosis, kulit kebab, roti burger bahan etalase berada di list pertama.
***
Sedangkan Bunga menangis di ujung tempat tidur. Hp nya di sita dan di kunci di dalam kamarnya. Ibunya murka saat mendengar ucapan Angga, apalagi mengetahui bahwa bunga yang menghubungi Arman terlebih dahulu.
"Bu, biarkan bunga keluar," teriak bunga sesekali. Namun tidak ada respon sama sekali dari ibunya.
Bunga mulai kesal dengan dirinya sendiri. Iapun bahkan memanggil ayahnya namun tetap tidak ada respon dari luar kamar.
Bahkan saat makan siang pun hanya pembantunya yang datang mengantarkan makanan untuknya. Pembantu itupun mengatakan bahwa bu Antok keluar dengan amarah dan kesal. Seketika bunga sadar kemana perginya ibunya. Ia meminta tolong pada pembantunya untuk meminjamkan ponselnya. Namun pembantunya nampak sangat ketakutan.
"Ayolah bik, sekali aja," ucap Bunga dengan memohon kepada pembantu nya.
"Tapi Mbak," jawabnya dengan ragu.
"Daripada aku kabur, hayo..." Ancam Bunga.
"Baiklah," pembantu itu menyodorkan ponselnya. Dengan cepat Bunga menekan nomor telepon seseorang. Namun tidak ada jawaban. Ia mencoba terus menerus. Namun tetap tidak ada jawaban dari orang tersebut.
Bunga mengembalikan ponsel pembantunya dengan kesal, sedangkan pemilik ponsel menarik nafas panjang. Terlihat jelas dari raut wajah bunga ia sangat khawatir dan kesal namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Pintu kembali di kunci, bunga dengan pasrah hanya bisa menatap pintu itu. Air mata membasahi pipinya. Ia meneratapi nasib percintaannya.
Ia kembali murung karena tidak bisa meluluhkan hati Arman. Bunga seakan kehabisan akal untuk membujuk Arman agar kembali padanya. bahkan dia sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya saat melihat Arman nampak baik-baik saja setelah putus dengannya. tidak nampak kesedihan dalam wajah Arman yang Bunga lihat. namun Bunga mengurungkan niatnya karena dia ingin mencoba sekali lagi untuk meluluhkan hati arman