Usai melakukan perdebatan dengan nenek Sena, sepasang pengantin baru itu akhirnya mengalah dan membiarkan Nenek Sena tetap tinggal di rumah penuh kenangan tersebut. Keduanya pun pamit meninggalkan wanita renta sendirian di sana. "Kamu yakin tidak apa-apa tidak bersama Nenek lagi?"
"Iya, Kak. Aku yakin, lagi pula tidak ada alasan aku untuk menolak keinginanmu, kan? Kata Nenek, wanita yang sudah mendapat gelar istri, harus menuruti semua perintah suami karena ridho suami itu berkah buat istri. Jadi, aku harus selalu mengikuti semua kata Kak Saka sebagai baktiku sebagai istrimu. Surgamu kini berada di kakimu, Kak. Apapun yang kamu ucapkan pasti akan aku lakukan."
Saka speechlees mendengar penuturan dari Citra. Selain dia mendapatkan pendidikan formal yang bagus, ternyata dalam akhlak gadis itu pun mendapatkan pendidikan yang baik. Jika dilihat sekilas dari kesantunan Citra, mengingatkan dirinya akan Suci. Wanita yang pernah singgah di hatinya namun segera dienyahkan karena Suci tidak akan pernah mungkin menjadi miliknya. Dia seorang istri dari sahabatnya sendiri…
Saka tersenyum melihat kepolosan dan ketulusan dari wanita di sampingnya. Sejenak dia lupa bahwa Citra merupakan daftar orang dengan catatan hitam dalam hidupnya. Saka ingin menikmati moment indah seperti ini sebelum badai menerjang, ya, Saka yakin kalau badai itu pasti datang. Contoh nyata adalah sang Mama. Pria muda itu tidak akan pernah tahu apa yang akan dilakukan sang Mama bila mengetahui ini semua.
"Ternyata Nenek memberimu ilmu yang bermanfaat. Bagus kalau kamu mengetahui itu." Seutas senyum simpul terukir di bibir Citra. Kemudian suasana hening tanpa ada satu pun yang berbicara hingga perjalanan yang menempuh waktu satu jam itu berakhir.
Saka memanggil bellboy untuk membantu membawa barang-barangnya ke dalam unit Apartemennya. "Terima kasih," Ucap Saka sembari menyodorkan uang dua lembar berwarna biru sebagai upah.
"Sama-sama, Pak Saka." Pria berkisar umur 35 tahun itu undur diri.
"Aku bantu ya, Kak?" tawar Citra.
"Tidak perlu. Kamu bisa-kan masuk ke dalam kamar kamu sendiri. Aku yang akan mengangkat semua koper ini." Citra mengerutkan keningnya. "Kamar kita?" lirih Citra.
"Iya, ehm maaf. Aku rasa aku butuh waktu untuk tidur satu kamar denganmu. Kamu tidak masalah kan jika kita berada di kamar terpisah, lagi pun aku takut menyakitimu saat tidak sadar malam hari. Tapi kamu tidak perlu khawatir, aku akan siaga jika kamu membutuhkanku." Saka berlalu begitu saja, namun langkahnya terhenti tepat di ambang pintu kamar.
"Oya, sebelah situ kamarmu. Jadi, jika terjadi sesuatu aku bisa mendengar dengan mudah. Atau kamu langsung panggil saja aku pasti langsung datang. kamu tidak keberatan kan?" jelas keberatan. Mana ada dua anak manusia yang sudah mengucap janji untuk saling menjaga malah harus tidur terpisah. Awal seperti apa pernikahannya itu? Kenapa semua berubah menjadi rumit begini?
"Tidak Citra, kamu harus sadar bila sudah dipastikan kejadian seperti ini pasti akan kamu terima. Dan memang secepat ini dugaanmu. Saka hanya akan bertanggung jawab sampai kamu bisa berjalan kembali," gumam Citra dalam hati. Matanya pun sudah berkaca-kaca, dia tahu bahwa bukan karena takut menyakiti dirinya, namun Saka sedang menjaga jarak dan hanya akan mendekat di saat dia butuh seseorang saja. mungkin hubungan perawat dan pasien lebih tepat di sematkan pada keduanya. Bukan sebagai sepasang suami istri.
"Bagaimana Citra? Kamu tidak keberatan kan dengan apa yang aku katakana padamu?" ulang Saka meminta jawaban karena tidak mendapat respon apapun dari lawan bicaranya.
"I…iya, Kak. Tidak apa-apa," jawab Citra terbata.
"Anak pintar. Baiklah, sebaiknya kamu masuk dan istirahat dulu. Nanti akan datang asisten rumah tangga untuk membereskan barang-barangmu." Saka langsung masuk dan menutup pintu kamarnya tanpa mau melihat kebelakang lagi.
Jatuh sudah air mata Citra. Baru belum juga 24 jam dirinya bergelar sebagai Nyonya dari Saka Raiden Toru, tapi sayang, nasib tak sebagus impiannya. Bukankah dia sudah memprediksi semua hal yang akan terjadi bila dia menerima pinangan dari orang yang selama ini selalu menolaknya? Tapi kenapa masih terasa sakit ketika dia menjalaninya?
Citra menghapus kasar air mata yang meluncur bebas ke pipi. Dengan hati terluka, Citra mendorong pelan kursi rodanya menuju satu kamar yang tadi ditunjukkan oleh Saka untuknya. "Hahaha, lucu sekali hidupku. Aku sudah tahu akan seperti ini jadinya, tapi kenapa hatiku tetap saja perih? Ini sih sama saja dengan aku hidup sendiri, Cuma beda tempat doing," gerutu Citra kesal.
Citra mencoba mengambil jarak lebih dekat ke ranjang. Ternyata di kamar itu sudah tersedia tongkat untuk membantunya. Walaupun dengan gerakan yang begitu lambat, akhirnya Citra bisa duduk di ranjang dan mencoba berbaring. Saka benar, dia memang butuh istirahat sejenak. Mungkin dengan menggapai mimpi sebentar bisa mengurangi sesak di dada.
Sedangkan di kamar sebelah, Saka tengah bersiap untuk pergi ke Bandung menemui sang Mama yang sudah sangat merindukannya. Dia juga butuh doa dan restu dari orang tua tunggalnya untuk membuka cabang Resto yang baru. Baginya doa seorang Ibu memang tiada duanya. Semua kesuksesan tidak akan tercapai tanpa doa Ibu yang dikabulkan oleh sang Pencipta.
Setelah berganti pakaian dan semua yang dibawa sudah siap, Saka berjalan ke kamar Citra untuk berpamitan. Tidak ingin mengganggu, Saka membuka pintu kamar Citra dengan hati-hati. Terlihat seorang gadis polos nan cantik walau memakai make up tipis, tak mampu mengubah kecantikan alami dari gadis tersebut.
"Rupanya kamu sudah masuk ke dalam mimpi. Maaf, aku tidak berpamitan lebih dulu. Aku harap kamu akan baik-baik saja selama aku tidak ada di sini. Pulang dari Bandung aku akan mulai membawamu kontrol dan mulai pengobatanmu secara intensif. Jaga diri baik-baik." Saka mengecup kening Citra sekilas, lalu pergi meninggalkan istri barunya.
Dua jam berlalu, Citra membuka mata. Suasana sepi dirasa oleh Citra, Citra mencoba bangkit dan duduk bersandarkan kepala ranjang. Kepalanya sedikit pusing hingga berulang kali jemari Citra memijat pelan. Citra tersentak saat tiba-tiba pintu kamar terbuka dan menampilkan sosok wanita paruh baya membawa makanan dan minuman.
"Nyonya sudah bangun? Sekarang watunya untuk makan siang, Nyonya. Mari saya bantu." Citra mengangkat sebelah tangan, menghentikan pergerakan wanita paruh baya di depannya.
"Saya bisa sendiri, Bu." wanita tua itu terkekeh.
"Jangan panggil saya, Bu, Nyonya. Panggil saja saya Ijah. Saya asisten rumah tangga di sini dan yang akan membantu Nyonya Citra bila butuh sesuatu," terang Bi Ijah yang baru diketahui Citra sebagai pesuruhnya Saka di Apartemen pria itu.
"Jangan panggil saya, Nyonya, Bu. Panggil saja nama saya. Perkenalkan saya Citra. Maaf bila nanti Citra akan sering merepotkan Bi Ijah." Wanita paruh baya itu tersenyum dan menyambut uluran tangan Citra.
"Saya panggil Non Citra aja, ya! Saya kurang nyaman bila harus memanggil hanya nama saja." Citra mengangguk.
" Saya suapin Non Citra sekarang, ya! Kata Tuan, Non Citra harus banyak makan agar tidak sakit. Nanti kalau Tuan sudah kembali, Non Citra akan langsung dibawa ke dokter kenalan Tuan agar bisa cepat berjalan lagi."
Citra mengernyitkan keningnya, kembali? Apa Saka pergi? "Maaf, Bi. Memangnya Kak Saka pergi?" raut terkejut terlihat di wajah tua Bi Ijah.
"Loh, memangnya Tuan tidak pamit dengan, Non?" Citra menggeleng.