Chereads / Unrequited Love (Saka-Citra) / Chapter 24 - Kejadian Tak Di sangka

Chapter 24 - Kejadian Tak Di sangka

"Sebegitu susahnya ya, kamu membuka hati untukku? Bolehkah aku tahu apa alasannya dan… bolehkah aku tahu apa saja cara agar kamu bisa menerimaku, Kak? Tidakkah kamu berpikir jika perceraian ini akan menyakiti dua hati? Mungkin bagiku tidak terlalu masalah karena aku sering menghadapi penolakan darimu, tapi bagi Nenek? Aku tahu, Nenek sangat berharap lebih atas pernikahan kita. Beliau berharap kalau kita bisa mengarungi bahtera rumah tangga seperti pernikahan pada umumnya. Aku tidak akan kuat melihat kesedihan di mata Nenek Sena setelah mengetahui keadaan kita." Citra menunduk kembali, sesekali menghapus jejak cairan bening yang mengalir ke pipi.

Saka menarik nafas dalam, dia sendiri bingung bagaimana membuatnya jatuh cinta kepada gadis di depannya ini. Andai saja, andai saja masa lalu itu tiada, mungkin Saka sudah bisa mencintai sosok Citra. Jujur saja, hubungan baik yang terjalin selama ini membuat sedikit rasa sayang tumbuh di hati Saka. Namun lagi-lagi masa lalu menjadi penghalang terbesar, sehingga Saka mesti mengurung rasa sayang itu dengan apik.

"Ada sesuatu yang membuat kita tidak akan pernah bisa bersatu. Aku akan menemui Nenek dan mengatakan segalanya. Kamu tenang saja, aku tidak akan melepasmu begitu saja. Aku akan memberi uang sebagai kompensasi selama satu tahun kamu menjadi istriku…."

"Aku tidak butuh uangmu, Kak. Aku bisa mencari uang sendiri meski pun hanya cukup untuk kebutuhan kami sehari-hari." Citra menghapus kasar air matanya. "Baiklah. Pergilah dan temui Nenek. Kembalikan aku kepada Nenek baik-baik. Aku terima keputusanmu, Kak. Cinta memang tidak bisa dipaksakan, aku yang bodoh karena terlalu berharap banyak pada hubungan yang dilandasi oleh tanggung jawab semata. Terima kasih atas satu tahun ini karena Kaka sudah sudi menerima kehadiranku di sampingmu. Semoga setelah kepergianku, kamu bisa mendapatkan jodoh yang lebih baik dari aku." Citra mendorong kursi ke belakang seraya berdiri.

"Aku pamit, aku akan pulang lebih dulu untuk berkemas. Aku tunggu Kakak di rumah. Permisi." Tanpa menunggu jawaban dari Saka, Citra berlari kecil agar lebih cepat menghilang dari pandangan Saka. Bi Ijah yang melihat majikannya keluar dalam keadaan tidak baik-baik saja, segera menyusul setelah menganggukkan kepala ke arah Saka tanda undur diri. Bi Ijah sudah menganggap Citra seperti putrinya sendiri, maka tidak salah jika wanita renta itu begitu menjaga Citra.

Saka mengusap wajahnya kasar. Tidak ada penyesalan ketika melepaskan gadis yang sudah menemaninya selama satu tahun terakhir, memang tidak ada cinta sama sekali di hati Saka untuk Citra. Masalah rasa sayangnya terhadap Citra bisa dia kendalikan. Bukankah sayang belum tentu cinta, maka mudah untuk menghilangkannya.

Saka memilih untuk menenangkan pikirannya sejenak dengan mengalihkan perhatian pada pekerjaan. Benar saja, selama beberapa jam hingga tiba waktu makan siang. Dia merasa hari ini begitu sulit untuk dilalui, dia tidak mengira jika akan menguras tenaga seperti ini. Dia terlalu menggampangkan semua, Saka berpikir bahwa hari ini akan mudah dia lalui. Tangisan, tangisan dari Citra entah mengapa membuatnya berat untuk meneruskan rencananya.

"Tidak, aku tidak boleh bimbang seperti ini. Aku harus bisa melakukannya, aku tidak mencintainya maka dari itu aku pasti bisa menyelesaikan semua dengan baik." Saka bangkit dan kembali ke rumah.

Ketika membuka pintu utama Apartemen, Saka mendapati Citra tengah menunggunya dengan mata bengkak. Tak ketinggalan sebuah koper sedang sudah bertengger rapi di sebelah Citra. Saka menahan nafas, tiba-tiba kesesakan di dada muncul begitu saja. "Apa ini? Kenapa salah satu organ dalam tubuh bagian dada terasa nyeri begini? Apa kesehatanku mulai terganggu? Sepertinya aku harus memeriksakan kondisi tubuhku setelah mengantar Citra pulang," gumam Saka pada dirinya sendiri.

Lelaki itu tidak menyadari bahwa hatinya mulai terisi dengan satu nama perempuan yang hendak di sakiti kembali, bukan hendak, akan tetapi memang sudah ia sakiti. Namun ego dan kenangan masa kelam selalu menjadi sumber utama untuk membunuh rasa itu.

"Aku sudah siap, Kak. Sebaiknya tidak perlu membuang waktu lagi, segera saja kita ke rumah Nenek supaya semuanya bisa segera selesai dengan cepat. Aku tidak mau jika semua berjalan lambat dan pasti Kakak tahu kalau itu sangat menyiksaku."

Saka tidak mampu berkata-kata lagi, dia hanya mengangguk menyetujui ucapan Citra. Lalu kakinya terayun menuju samping dimana Citra meletakkan kopernya dengan niat ingin membantu gadis itu membawa kopernya yang bisa dia duga hanya beberapa stel saja isi di dalamnya.

Sering kali Saka meminta Citra untuk membeli perlengkapan diri kala Saka mengajak pergi ke mall, namun selalu ditolak dengan alasan kaki. Padahal, Citra hanya tidak ingin menghabiskan uang untuk hal percuma. Toh, baju Citra yang dia bawa dari rumah Nenek, masih layak dipakai dan tidak terlalu buruk juga.

"Kita berangkat sekarang." Saka langsung meninggalkan Citra dengan barang bawaannya.

Dengan lesu mau tidak mau Citra harus menurut, toh dia tidak memiliki hak untuk bertahan karena sang tuan rumah bahkan tidak menghendaki dirinya menetap menjadi nyonya di Apartemen itu. Pandangan Saka terus menatap ke depan hingga Citra memasuki mobil itu, tanpa banyak bicara, Saka segera menjalankan roda empatnya meninggalkan area parkir Apartemen.

Sepanjang perjalanan tak ada satu pun dari keduanya mengeluarkan suara sebagai pengisi keheningan dalam mobil. Mereka terlalu larut oleh pikiran masing-masing, hingga beberapa jam kemudian mobil sudah mulai memasuki daerah perumahan sederhana. Jantung Citra semakin bertalu, dia khawatir kedatangannya kali ini akan membawa bencana bagi ketenangan sang Nenek.

"Nenek, maafkan Citra karena tidak bisa membuat Kak Saka jatuh cinta pada Citra, hingga semua ini akan berakhir. Meski Nenek tidak berucap satu kata pun, Citra tahu Nenek berharap banyak dengan pernikahan Citra. Tolong maafkan Citra, Nek," Lirih Citra dalam hati. Banyak doa dia panjatkan agar Nenek tidak syok dengan kabar yang akan dia bawa.

"Turun!" Seru Saka dengan nada dingin. Citra melihat Saka sendu, kini lelaki itu berubah seperti sebelum dirinya menikah dan mengarungi hidup bersama meskipun singkat.

Tidak ingin mendapat perintah dua kali, Citra segera membuka pintu mobil cepat. Tanpa bantuan dari Saka, Citra menarik kopernya sendiri masuk dalam rumah sang Nenek. "Assalamualaikum, Nek." Tidak ada sahutan dari penghuni rumah.

"Nenek, Assalamualaikum." Citra menelusuri seluruh ruangan, hingga dirinya tiba di kamar mandi dekat dapur. Betapa terkejutnya dia mendapati sang Nenek meringis kesakitan dengan tubuh terkulai lemas serta darah di belakang kepala.

"Astagfirullah, Nenek!" Teriak Citra memekikkan telinga siapa pun yang mendengar. Saka yang baru satu kaki melewati pintu, tergesa menuju ke asal suara.

Saka pun tak kalah terkejut melihat pemandangan yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya. Citra menangis kencang dengan mengangkat kepala sang Nenek yang sudah tak berdaya. "Apa yang terjadi sama Nenek?" Tanya Saka panik. Dia segera mengambil alih kepala Nenek dan memposisikan tubuh renta tersebut untuk digendong ala bridal style.

"Sepertinya Nenek terpeleset di sini, aku datang, Nenek sudah dalam keadaan seperti ini." Tak ingin membuang waktu, Saka langsung membawa tubuh Nenek Sena ke dalam mobil diikuti oleh Citra dibelakangnya.

Dengan kecepatan diatas rata-rata, Saka melajukan mobil sedannya menuju Rumah Sakit terdekat. Setelah sampai, Saka memanggil dokter untuk menolong Nenek Sena. Semua bergerak cepat, Nenek Sena dibawa masuk ke ruang UGD. Tinggal satu langkah lagi, Nenek menuju ruangan berbau obat tersebut, Nenek Sena memanggil Saka terbata.

"Iya, Nek. Saka di sini, Nek. Saka berjanji pasti Nenek akan baik-baik saja." Nenek Sena memaksakan senyum, kemudian berkata lirih.

"Tolong jaga Citra untuk Nenek. Dia sendirian, tidak memiliki siapa-siapa lagi selain kamu. Tolong berjanjilah pada Nenek, Nak. Berjanjilah pada Nenek bahwa kamu tidak akan pernah meninggalkan gadis manjanya Nenek. Nenek mohon."

"Nenek akan baik-baik saja, Nenek jangan memikirkan yang aneh-aneh, ya!" Saka mencoba mengalihkan pertanyaan sang Nenek.

"Nenek mohon, Nenek sudah tidak kuat lagi. Berjanjilah, Nak. Berjanjilah."

"Saka…."