Hari-hari berlalu dengan indah bagi Citra. Dari perhatian Saka yang tidak pernah putus meski mereka masih pisah kamar, hingga kembali Citra bisa berjalan. Semua bisa dilalui dengan baik oleh Citra karena dukungan dan motivasi terus menerus dari orang sekitar.
"Kak, kapan Mama datang kemari? Apa Mama tidak pernah berkunjung menemuimu?" Tanya Citra, saat ini mereka tengah menikmati sarapan bersama. Setelahnya, Saka akan mengantar Citra control untuk terakhir kali ke Dokter Ortopedi.
"Iya, kenapa kamu menanyakan itu?"
"Memangnya kenapa, Kak? Apa aku tidak boleh menanyakan tentang Ibu mertuaku sendiri?" Citra seolah lupa apa tujuan Saka menikahinya. Dia terlalu tenang karena sikap Saka yang semakin hari semakin baik padanya, sehingga Citra seperti merasa dicintai oleh sosok pria yang sudah menjadi suaminya.
"Mama tidak akan pernah kemari. Aku pun tidak akan pernah mau melihat datang kemari."
Kening Citra mengernyit. "Kenapa begitu?"
"Karena ada kamu!" Semakin tidak mengerti, Citra kembali bertanya.
"Apa maksudmu, Kak?"
"Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Selamanya kamu tidak akan pernah aku temukan dengan Mama. Karena bertemu denganmu akan membuat lukanya semakin menganga. Sebaiknya kamu bersiap untuk pergi ke Rumah Sakit." Saka langsung beranjak berdiri keluar dari Apartemen meninggalkan Citra dengan penuh tanda tanya di dalam kepalanya.
"Apa maksud ucapan Kak Saka? Bahkan selama ini aku belum pernah bertemu dengan Mamanya, lalu bagaimana bisa diriku membuat luka di Ibu mertua? Ada rahasia apa yang belum aku ketahui?" berbagai pertanyaan mampir dalam benaknya, namun dia masih tidak bisa mengerti maksud perkataan sang suami.
"Mungkin aku harus mencari tahu sendiri. Kak Taksa! Ya, dia pasti tahu. Baiklah, Kak. Jika kamu tidak ingin memberi tahu aku, maka aku bisa menemukan jawaban dari teka teki ucapanmu barusan." Citra mengangkat piring dan peralatan makan lainnya untuk dibawa ke wastafel. Usai membersihkan semua piring kotor, Citra hendak menyusul Saka yang sudah menanti di parkiran.
"Non, Citra!" panggil Bi Ijah. Citra langsung menghentikan kakinya dan menoleh.
"Iya, Bi?"
"Ehm, hari ini Nona pergi ke Rumah Sakitnya bareng Bibi, ya! Tuan sedang ada perlu, jadi tidak bisa mengantar Nona." Kening Citra mengernyit. Kenapa mendadak? Padahal semalam Saka sudah berjanji akan menemani dia control untuk terakhir kali, dia ingin memastikan kondisi kaki Citra sendiri jika memang sudah pulih total.
"Iya, Bi." Dua wanita beda usia itu akhirnya pergi menggunakan taksi online.
**
Saka meminum cafelatte di restaurant miliknya sendiri. Suasana resto masih sepi karena memang baru buka, para karyawan sibuk membersihkan dan prepare untuk sebelum para pelanggan berdatangan. Saka duduk menghadap taman buatan yang ada di samping sisi restonya, di sana bisa dia lihat kupu dan kecapung bertebangan. Sesekali hinggap pada bunga mawar dan lili untuk menghisap madu pada bunga tersebut.
"Tugasku sudah selesai. Tanggung jawabku sudah kutunaikan. Mungkin sekarang waktunya untuk aku mengakhiri pernikahan palsu ini. Sebelum Mama mengetahui semua dan menambah luka di hatinya, aku harus bertindak cepat lebih dahulu." Saka merogoh saku celananya dan mengambil gawainya.
"Aku ingin bertemu denganmu."
"..."
"Aku tunggu di Restauranku yang baru, kamu sudah tahu tempatnya, bukan?"
"..."
"Baiklah." Saka menyimpan kembali gawainya ke dalam saku. Sesekali kembali menyesap minuman di atas meja sembari melihat kendaraan lalu lalang yang ada di samping taman. Ketika tengah menikmati kesendiriannya, tiba-tiba siluet matanya menangkap dua sosok yang sangat dia kenali.
"Bi Ijah, Citra? Ngapain mereka datang kemari?" Segera Saka mengalihkan pandangan tidak ingin Citra mengetahui jika dia sudah melihat kedatangan wanita itu. Saka bersikap seolah-olah tidak menyadari dua wanita yang tengah menghampirinya.
"Kak Saka!" seru gadis itu riang. Citra langsung mengambil duduk tepat depan Saka. Sedang Bi Ijah memilih untuk mengistirahatkan kakinya pada meja lain berjarak cukup jauh dari meja Saka. Wanita tua itu tidak ingin mengganggu kebersamaan sang majikan.
"Ada apa? Kenapa bahagia sekali? Apa yang membuatmu bahagia?" Tanya Saka memberi senyuman. Ya, meskipun dia akan mengakhiri pernikahannya, Saka ingin semua berakhir dengan baik. Tidak ada dendam maupun permusuhan di antara mereka.
"Kakak mau tahu kenapa aku sangat bahagia?" Saka mengangkat kedua bahu acuh. Citra pun langsung menyebikkan bibir, namun beberapa detik kemudian senyum kembali terukir.
"Kakiku sudah dinyatakan sehat dan sembuh total, Kak. Aku sudah bisa berjalan normal mulai sekarang." Senyum bahagia tak bisa ditutupi oleh Citra. Dia berjanji pada dirinya sendiri, setelah sembuh Citra ingin mengabdikan diri kepada Saka menjadi istri sholehah dan melayani suaminya sebaik mungkin. Dan dia sudah siap memberikan yang terbaik bagi Saka.
"Selamat, aku ikut senang mendengarnya. Kamu ingin apa dariku?" Citra menggeleng cepat.
"Aku tidak ingin apa-apa selain cinta dan kasih sayangmu buatku." Saka tertegun sejenak sebelum akhirnya dia bisa menguasai diri dan bersikap seperti semula.
"….."
"Kenapa, Kak? Kamu masih keberatan dengan itu?"
"..." Citra menelan saliva susah payah. Dari dua pertanyaannya tak satu pun mendapat jawaban dari pria tampan tersebut.
"Apa selama satu tahun pernikahan kita, masih belum cukup untuk menumbuhkan cinta di hatimu untukku, Kak? Aku pikir perhatian dan kelembutanmu padaku merupakan langkah awal jalan dirimu mau menerima diri ini menjadi agar mampu menempati singgasana hatimu." Citra menarik nafas dalam. "Ternyata masih belum, ya?" nada putus asa terdengar di rungu Saka.
Ada rasa tidak tega kala Ia hendak menyampaikan keinginannya berpisah dengan wanita cantik itu. Jujur saja selama hidup satu atap dengan Citra, tidak dipungkiri kalau Citra mampu melayani dirinya dengan sangat baik meskipun ada kekurangan yang menghambat setiap geraknya. Sedikit ada rasa sayang untuk Citra, tapi kembali lagi, Saka tidak mau menyakiti hati sang Mama.
"Kak? Apa kakak akan menceraikanku setelah ini?"
Saka terkesiap oleh pertanyaan Citra, bagaimana mungkin gadis itu tahu niatan akan berpisah? "Maaf." Luruh sudah air mata Citra, satu kata yang tidak diharapkan oleh Citra keluar dari bibir Saka. Citra bukan wanita bodoh untuk tidak mengetahui ungkapan maaf tersebut. Citra menundukkan kepala sembari menutup wajah menggunakan kedua telapak tangan.
Jika dulu dia tidak peduli akan tangisan gadis itu, tapi tidak dengan sekarang. Saka tidak tega melihat wanita di depannya ini menangis pilu meratapi nasib yang akan dia ceraikan. "Citra, bukankah sedari awal kamu sudah mengetahui tujuan pernikahan ini? Maafkan aku, aku memang tidak bisa lagi melanjutkan pernikahan ini. Bagiku semua sudah selesai saat kamu dinyatakan sembuh total. Dengan begitu hutang budiku lunas dan aku tidak akan dikejar rasa bersalah lagi setelah ini."
Citra mendongak, menelisik dalam manik mata lelaki tak berperasaan ini. Paras belum tentu menjamin sifat memang, walau pun Saka memiliki ketampanan di atas rata-rata, nyatanya kelakuan dan perilaku tak seindah parasnya. Lalu apa artinya sikap Saka selama dua belas bulan terakhir? Apakah sedikitpun tidak bisa menumbuhkan benih-benih cinta di hati Saka?
Bahkan tak jarang mereka sering berpelukan dan tanpa di ketahui satu sama lain ciuman di kening sering mereka lakukan walau dalam kondisi sama-sama tidak sadarkan diri waktu itu. Ya, bukan hanya Citra melainkan Saka juga mencium pasangannya dalam keadaan tidur. Saka mengakui jika Citra cantik dan berpendirian teguh. Tidak mudah menyerah oleh keadaan, Citra adalah wanita kedua setelah sang Mama yang mendapat julukan wanita hebat darinya.