Dibelahan bumi lain terdapat dua orang yang sedang duduk di rumah makan besar yang ada dikota itu. Rumah makan yang menyuguhkan pemandangan kota dengan gedung yang menjadi pemandangan utamanya sedang menikmati makan siang bersama.
Bertemu secara kebetulan untuk kedua kalinya serta langsung duduk di sini bersama.
Sepertinya Gisel sedang memikirkan banyak hayalan indah yang membuat dirinya sangat merasa senang sampai tidak bisa sebentar saja menahan senyumnya ketika kedua mata nakalnya dengan sengaja melirik kearah laki-laki berpostur indah serta kerupaan tampan yang banyak memikat wanita. Sedangkan yang menjadi pusat perhatian Gisel menyibukkan diri dengan ponselnya.
Sebuah kebetulan yang tidak akan dibuang begitu saja oleh si wanita, laki-laki tampan yang tidak pernah terbuang di dalam kehidupan Gisel. Mata Gisel yang selalu takjub ketika melihat keindahan fisik lawan jenis itu.
"Jadi kamu sudah empat tahun tinggal disini?" awal percakapan yang dimulai oleh Gisel.
Sambil menguyah makanannya Roy mengangguk dan menatap wanita dihadapannya dan meletakkan ponselnya.
Wanita yang dulu kerap Roy jumpai ketika bersama dengan seseorang.
"Kapan akan pulang?" tanya Gisel kembali bertanya bertambah senang ketika melihat Roy yang telah meletakkan ponselnya dan kini secara terang-terangan melihat kearahnya.
Sungguh jantung Gisel berdebar sangat tidak menentu, sorot kedua mata yang begitu damai dan juga memabukkan.
Gisel telah jatuh disana, terlalu dalam dan merasakan begitu sulit untuk tidak menikmati apa yang dirasakannya saat ini.
Sungguh Gisel tidak akan melewatkan kesempatan ini dengan sia-sia, menggali banyak informasi agar bisa dekat dengan laki-laki tampan ini. Perubahan fisik yang sangat terlihat jelas juga laki-laki yang sekarang duduk dihadapannya sangat terlihat sudah matang.
"Aku tidak akan kembali," jawab Roy kembali melahap makanan yang tersaji dihadapannya sambil sesekali melihat lawan bicaranya.
Ada sebuah kenangan ketika Roy melihat wanita yang duduk dihadapannya, memang sudah lama tetapi rasanya masih selalu melakat dihati Roy. Meski berulang kali berusaha melupakan sepertinya jarak dan waktu belum bisa mengizinkan Roy untuk lepas dari tempatnya dulu.
Gisel juga sudah menguyah makanannya secara lambat dan benar-benar fokus dengan Roy.
"Kamu tinggal dengan siapa disini? Maksudku, apa kamu tidak rindu dengan keluargamu, bukan aku sekepo itu tetapi pertanyaanku terasa benar. Orang yang jauh dengan keluarga pasti sangat merindukan keluarganya." Gisel mencoba tersenyum meski sangat canggung.
Seperti itulah Gisel tidak bisa menahan semua pertanyaan yang muncul dari benaknya. Memang seperti orang yang ingin sekali tahu tetapi Gisel sama sekali tidak memaksa semua orang akan menjawab pertanyaannya.
Bagi Gisel bertanya akan memudahkan semua masalah.
Roy tersenyum tipis lalu merogoh sesuatu yang ada di saku jeasnya. Kedua mata Gisel bahkan tidak berkedip melihat pemandangan yang ada dihadapannya.
Sunggguh laki-laki yang duduk dihadapannya sangat jauh berbeda dengan yang dulu.
Ternyata sebuah sapu tangan, melatakkan sapu tangan itu didekat Gisel.
"Kenapa? Aku makannya belepotan ya?" tanya Gisel panik lalu cepat-cepat menutup separuh wajahnya menggunakan kedua tangan dan hanya memperlihatkan kedua mata juga keningnya.
Kembali Roy tersenyum tipis.
'Bisa-bisa pingsan aku' batin Gisel meronta-ronta.
"Hanya saja ada sisa makanan dibibir bawah bagian kanan, aku takut ada laki-laki yang melihatnya lalu berpikir yang macam-macam," ucap Roy begitu sangat santai dan menatap Gisel.
Bugk
Sebuah pukulan mendarat pada lengan atas Roy membuat laki-laki itu meringis tanpa harus membuka mulut dan sedetik kemudian kembali menampilkan raut wajah santainya.
Gisel buru-buru mengambil sapu tangan itu lalu mengusap bibir dengan petunjuk yang telah diberikan Roy.
"Gimana, masih ada sisa makannya?" tanya Gisel menunduk dan menutup miring bagian bibirnya menggunakan satu tangan.
Tiba-tiba saja tangan Roy terulur, mengambil alih sapu tangan lalu mengusap bibir Gisel menggunakan sapu tangan itu.
Seluruh tubuh Gisel seperti tersengat listrik, meski tangan Roy terbalut sapu tangan tetapi rasanya benar-benar menempel pada bibir Gisel.
'Pingsan benaran ini' Kembali Gisel bermonolog dengan dirinya.
"Sudah," ucap Roy dan sudah mengangkat tangannya dari bagian tubuh Gisel lalu dengan cepat sadar juga Gisel menarik tubuhnya untuk duduk tegak dikursinya.
Meneguk minuman dan masih menetralkan debaran jantungnya yang tidak tahu tempat itu.
Sungguh sangat malu jika Roy bisa mendengar dengan jelas debaran jantungnya itu.
Bukan sampai disitu, bahkan Gisel rasa dirinya benar-benar melayang diangkasa.
"I-tu," ucap Gisel yang sama sekali tidak jelas karena mulutnya terlalu kaku untuk melanjutkan pertanyaannya hanya dapat mengarahkan jari telunjukknya pada benda yang dimasukkan kembali pada kantong celana jeas Roy.
Roy mengangkat sebelah alisnya, "Kenapa?" tanya Roy terlihat bingung juga.
Mendapati Gisel seperti itu.
Gisel menekan dirinya untuk kembali membuka mulut, melontarkan perkataan yang memang seharusnya dilontarkan.
"Itu kotor, biar aku cuci terlebih dulu," ucap Gisel akhirnya dalam satu kali tarikan napas.
Roy hanya ber-oh ria, "Tidak masalah, akan aku cuci sendiri," sambung Roy dan kembali melahap makanan yang tinggal sedikit itu jauh berbeda dengan makanan yang ada dihadapan Gisel yang masih terlihat banyak.
Memang Gisel kali ini sama sekali tidak berniat untuk makan karena tujuannya memang bukan untuk itu, melainkan laki-laki yang duduk dihadapannya sekarang.
Kembali Gisel meneguk minumannya dan buru-buru merubah ekspresi wajahnya untuk terlihat begitu tenang seperti biasanya.
Pertemuan setelah beberapa tahun dan hanya untuk dua orang membuat Gisel semakin mengila tapi begitulah Gisel tidak bisa menutup matanya jika ada sesuatu yang indah dihapannya.
***
"Mau bawa yang mana?" tanya Naura kepada Aldi yang telah masuk di ruang kerja Aldi.
Aldi memang seorang karyawan akan tetapi atas persetujuan bersama, rumah ini mempunyai ruangan khusus kerja Aldi. Naura sama sekali tidak keberatan karena memang itu untuk kepentingan Aldi juga sebagai kebutuhan keluarganya.
Naura sangat suka jika melihat Aldi didalam ruangan ini, laki-laki yang sangat dicintainya itu terlihat sangat tampan dan semakin terlihat keren.
Aldi melepaskan kaca matanya dan langsung menutup berkas yang tadi menjadi pusat perhatian Aldi. Tersenyum begitu melihat Naura membawa dua kemeja untuknya, untuk beberapa hari ini Aldi cuti dari pekerjaannya.
Alasan Aldi begitu aneh ketika didengar oleh Naura tetapi ketika ditanya lagi Aldi selalu menyakinkan Naura jika Aldi berkata jujur. Aldi cuti selama satu minggu dengan alasan liburan, perusahaan yang menjadi tempat Aldi mengizinkan karena Aldi termasuk salah satu karyawan yang sangat bekerja keras juga sangat banyak membantu perusahaan untuk banyak memperolah keuntungan.
Bukan Naura tidak percaya hanya saja perasannya masih sedikit ada yang mengganjal.
"Kamu yang lebih tahu seleraku," jawab Aldi setelah beberapa detik terdiam.
Aldi terdiam bukan untuk memikirkan jawaban pertanyaan Naura tetapi hanya untuk memperhatian wanitanya. Baru beberapa jam tadi wanita itu terlihat sangat sedih dan sekarang raut wajah serta tingkahnya sudah kembali ceria.
Aldi sangat bersyukur jika melihat Naura sudah kembali pulih, sungguh Aldi sangat tertekan jika wanitanya seperti beberapa jam tadi.
Naura kembali melangkah mendekat dan sudah tiba di samping kursi sebagai tempat Aldi duduk.
"Jadi kalau yang ini?" Naura mengangkat sebuah kemeja yang berada di sebalah tangan kanannya.
Sebenarnya kedua kemeja itu hampir sama, sama-sama polos dan berwarna soft. Mungkin itu yang membingungkan Naura untuk memutuskan salah satunya.
Aldi sama sekali tidak berniat akan tetapi salah satu tangannya justru bergerak cepat menyentuh tubuh Naura.
"ALDI!"