"Apa, apaan kertas ini." Elis membolak-balikkan kertas yang dilemparkan Tuan Adinata secara langsung tadi.
Elis tertawa hambar, "Dia pikir siapa, beraninya membatasi hidupku. Ya, ya aku tahu sebentar lagi menjadi istri yang tak dianggap. Mari nikmati jalan hidup yang suram, Elisa Kinanti." Elis meneguk setengah kopinya
"Dunia yang kubangun tak seindah di dalam novel. Mereka saja bisa bahagia dalam pernikahan kontrak, huf, kesan pertama pria angkuh itu tidak memikat."
Elis menghabiskan separuh waktunya menyelesaikan naskah pekerjaan Elis memang menjadi seorang penulis yang kadang laku.
"Kakak ini rotimu," ucap Reza sembari melihat ke arah layar komputer, "Kakak bekerja keras, berhentilah sebentar nikmati roti ini."
"Adik, kenapa tidak mengetuk tadi. Kakak, kira siapa." Elis menyingkirkan tumpukan buku di atas meja.
"Kakak selalu begitu kadang lupa makan padahal, Reza, sudah buatkan jadwal," omel Reza mengerucutkan bibirnya
"Adikku ini memang yang terbaik baiklah, baiklah." Elis mengambil satu kursi Reza duduk di sampingnya
Selina berdiri di ambang pintu ia tak mengetuknya sambil bersedekap dada, "Ngapain ngobrol lagi, Reza kau dipanggil Ibu, Elis sebaiknya turun ada yang menunggu," ucap Selina datar
Reza masih berada di tempatnya tidak ingin beranjak.
"Reza," Selina berkata dengan nada suara menekan.
Akhirnya bocah lelaki itu berdiri, "Iya, iya aku akan datang, Kakak aku pergi dulu ya."
"Cih, dia saja yang kau salami. Aku juga kakak mu, Kakak Kandung."
Reza melewati Selina begitu saja ia tak ingin berbicara terlalu lama dengan kakak keduanya itu yang selalu saja berubah seperti bunglon.
***
Di ruang tengah nampak kedua orang tuanya sangat akrab dengan seseorang yang baru saja datang.
"Selamat, sebentar lagi jadi, Ratu," ucapnya dengan nada menyindir Selina berlalu meninggalkan Elis, masih mematung di ujung tangga.
"Apa, apaan ini Ibu dan Ayah mengundang, Tuan Adinata." Elis berjalan perlahan menuruni anak tangga harusnya ia tak bertemu dengan pria yang tinggal menghitung hari menjadi suaminya.
"Elis akhirnya ... calon suamimu datang berkunjung. Buatkan cemilan dan teh." Retta tersenyum hangat pada Elis lalu beralih berbicara manis pada Adinata begitupun ayah yang sangat bahagia
"Penjilat lidah, pasti di depan pria angkuh itu, Ibu, melebih-lebihkan kemampuan sementara di belakang selalu saja menohokku."
Tatapan Adinata melirik gadis yang melewatinya ia tertawa dalam hati
"Aku lelah ingin istirahat di kamar calon istriku." Adinata beranjak dari duduknya.
"Eh, tapi ... Tuan masih belum mencicipi cemilannya dan juga belum sah menikah," ucap Harzan sembari ikut berdiri juga
Retta menaruh lengannya membawa sang suami ke belakang, "Suamiku biarkan saja sebentara lagi, kan mereka juga akan nikah, toh, mau ngapa-ngapain juga Tuan Adinata akan bertanggung jawab. Jangan berpikir panjang lagi biarkan saja."
Harzan melirik ke belakang melihat pria berjas hitam itu masih tetap berdiri sembari mengedarkan pandangan melihat lukisan dinding.
"Bukan begitu, tapi mereka, kan, belum sah tidak baik tidur di dalam kamar pengantin sebaiknya di kamar, Reza, saja istirahat."
Retta mencubit lengan suaminya. "Reza, kan sebentar lagi mau ujian akan menganggu anak itu kalau sampai ada yang masuk ke dalam kamar. Biarkan saja, lah, Tuan Adinata juga pria baik-baik."
Harzan menarik napasnya perlahan lalu kembali lagi ke hadapan Adinata.
"Tuan duduklah sebentar tunggu, Elis, bawakan camilan sekalian mengantarkan istirahat."
Adinata berdehem lalu pria itu melirik ke jam tangannya
***
"Apa, apaan, sih, pria ini ada banyak sekali maunya tadi minta teh tapi tidak diminum. Katanya kemanisan.," Elis berkata pelan ia mengekori Adinata dari belakang meletakkan kembali gelas kaca.
"Duduklah kau kenapa masih di situ mau jadi patung," ucapnya kesal
Siapa tuan rumah dan siapa tamu sepertinya tak ada dalam list Adinata Ghardian
Adinata menghempaskan tubuhnya di atas kasur ia bahkan masih tetap memakai sepatunya
Elis berusaha sabar ia menaiki ranjang tak mau terlalu dekat dengan tubuh Adinata.
Adinata menggoyangkan kakinya ia mengambil bantal, "Bantal apa ini tipis sekali. Kau tidak punya bantal lain." Melemparkan bantal itu ke wajah Elis
"Tidak ada Tuan hanya ini saja. Maaf nanti saya akan ganti." Elis meletakan bantal yang dibilang pria angkuh ini ini tipis bahkan bantal yang dilemparkan Adinata itu kesayangan Elis.
Ingin sekali ia mencekik habis leher pria di hadapannya sekarang Elis berusaha sabar dan tetap ramah sebagai tuan rumah yang baik.
"Kemana juga AC di kamar ini seperti gudang bahkan gudang di rumahku jauh lebih baik."
"Hey, hey apa yang akan dilakukan pria bodoh ini hey gila! Berhenti membukanya mataku tak suci,," ucap Elis dalam hatinya ia menatap ke arah lain.
Adinata merenggangkan tangannya setengah telanjang. "Aku gerah di mana kamar mandimu."
"Di dekat lemari buku, Tuan, " ucap Elis gugup rasanya ingin tenggelam di dasar samudra saja kalau begini bodohnya. Ia tadi tidak membaca separuh daftar list yang diberikan Sekretaris Nayla.
"Antarkan aku kau pikir aku mengerti dengan bibir yang menunjuk itu." Adinata bergegas turun dari ranjang mengambil handuk di dekat lemari
"Pria ini tidak memiliki malu." Elis membelakangi Adinata yang setengah bertelanjang ia tidak ingin mata sucinya ternodai
"Hey ceroboh cepat antarkan aku."
"Baik Tuan."
Elis mengisi bathtub dengan air hangat mencampuri sabun sambil bathtub itu terisi. Sementara di luar raja yang akan mandi mengomel
"Lama sekali." Adinata bergegas masuk ia langsung masuk ke dalam bathtub merendam dirinya menikmati aroma sabun.
Elis bergegas ingin beranjak keluar namun tiba-tiba saja pergelangan tangannya ditahan.
"Siapa yang menyuruh keluar tetap di sini."
"Tuan, anda kan mau mandi," ucap Elis tak mau melihat punggung Adinata.
"Kau memang harus periksa mata selain otakmu yang loading jelaslah aku mau mandi. Sekarang mandikan aku."
Adinata menggoyangkan bahunya, "Cepat jangan banyak berpikir."
"Ba, baik, Tuan." Elis mengambil sabun cair mengosokan perlahan di punggung pria yang super menjengkelkan. Putih mulus, Elis rasanya ingin sekali memiliki kulit seperti Adinata seolah pria di hadapannya tak memiliki cacat fisik.
"Kau tidak makan seminggu jangan loyo cepat bersihkan punggungku"
"Baik Tuan."
Adinata menepis tangan Elis di bahunya. "Hey bodoh kau ingin merusak kulitku. lakukan dengan benar."
Elis menggeretakan giginya meski begitu tetap saja melakukan. "Apa sudah pas Tuan?" tanyanya
Adinata mendehem pelan sepertinya menikmati pijatan di bahu kulitnya yang mulus dan seputih embun. Elis mendekat wajahnya menghirup aroma segar dari tubuh Adinata meski aroma sabun yang dipakai sama tetapi membuat Elis seakan aroma sabun ini baunya jauh segar.
Adinata menggoyangkan kepalanya terasa lebih ringan ia berbalik mendapati wajah Elis yang mendekati punggungnya