VIAN: Lancang!
Hari berlalu setelah drama ku dan Niar waktu itu. Jujur saja kami makin akrab dan hari-hari di rumah bersamanya pun makin menyenangkan. Kendati memang masih banyak sekali malu-malu dari istri ku itu. Justru membuat ku tersenyum tersendiri dan makin gemas saja aku padanya.
Agh! Ku pikir aku sudah mulai jatuh cinta pada istri ku sendiri. Ya walau aku belum benar-benar merasakannya. Tapi tentu saja aku bahagia. Dan ku rasa bahagia itu tentu adalah tanda bulir-bulir cinta mulai memenuhi hati ini.
Lalu hari ini di IGD. Baru saja Niar tiba setelah tadi aku menurunkannya di pertigaan jalan menuju rumah sakit. Oleh karena semua rekan kami belum mengetahui bahwa kami adalah suami istri. Jadilah untuk sementara ia harus berjalan kaki dari ujung pertigaan sana hingga menuju IGD.
Seperti biasa ia tak lantas menyapa atau melihat ku sedikit saja. Melainkan ia langsung menghampiri seniornya lalu meminta data pasien dari perawat yang berjaga malam. Yaa seperti itulah kami di IGD. Bertolak belakang dengan saat di rumah. Berpura-pura tak acuh dan saling tidak peduli. Lalu saat ada kesempatan, barulah kami mau menegur sapa.
"Dokter, igh..." Keluh Niar usai aku menggodanya.
"Hehehe..." Berlalu aku meninggalkannya.
Keluar aku dari ruang istirahat masih dengan sisa tawa ini. Namun tepat saat itu juga David memanggilku dan mengatakan ada seorang pasien yang baru datang.
"Oh iya..." Jawab ku sembari mengikuti David menghampiri pasien itu.
"Sesak napas, Dokter. Ada batuk juga sepertinya"
"Iya..." Jawab ku lagi.
Masuk aku ke salah satu tirai yang tertutup. Masih David mengikuti ku juga ditambah satu orang perawat lagi. Menangani pasien yang rupanya memiliki riwayat asma.
Sejenak aku melihat pasien ini. Menekan bagian dada juga perutnya. Hingga ku dapatkan satu tindakan yang harus dilakukan.
Berbalik aku menghadap dua perawat tadi. Baru akan mengatakan pada mereka apa yang harus dilakukan. Saat itu juga tiba-tiba terdengar suara teriakan yang keras sekali dari luar tirai ini.
"DOKTER! DOKTER!"
Tepat ku rasa teriakan itu berasal dari dalam ruangan IGD. Memanggil ku berkali-kali seperti ingin aku lekas datang dan menghampirinya.
"DOKTER! DIMANA KAU DOKTER!" Panggilnya sekali lagi.
Ku serahkan pasien tadi pada kedua perawat. Sementara aku lekas keluar dari tirai lalu menemui panggilan itu. Yang ternyata adalah seorang pria mabuk dengan banyak luka di sekujur tubuhnya yang oleng.
"DOKTERRRRRRR!" Teriaknya lagi sembari memberontakkan meja perawat.
Keluar sudah Niar dan tiga perawat lainnya. Lekas mereka meraih tubuh pasien mabuk itu lalu hendak menanganinya. Namun sayangnya, pria mabuk itu justru meraih tubuh Niar lalu meletakkan satu pisau kecil dari saku celananya. Dan meletakkan pisau itu tepat di leher kiri istri ku.
"NIAR!" Teriak ku lebih dari khawatir.
Jadilah IGD lebih dari gawat dan darurat. Oleh karena pria mabuk tadi tak hanya membuat onar namun juga kini tengah menyandra Niar. Istri ku.
"DIMANA, DOKTER! AKU SAKIT CEPAT RAWAT AKU, DOKTER!"
"Dokter Vian!" Bisik Niar lirih memanggil ku.
Jelas sekali Niar menahan takut. Kedua bibirnya mengatup dan giginya gemetar. Dua bola matanya pun terus membuka dan menutup melihat ku. Sembari ia memegangi tangan pria mabuk itu.
Dari tatapan wajahnya itu pula jelas ku sadari. Niarlebih dari takut.
Hagh! Ku telah ludah ku ku remas sebagian wajah ku seraya ku tahan emosi.
Tak lama satu persatu petugas keamanan mulai berdatangan. Namun tentu saja mereka tak dapat berbuat banyak oleh karena pria mabuk itu sedang menyandra istri ku. Sementara perawat yang lain pun juga tak ada yang berani mendekat.
Panik! Tentu aku panik. Bahkan aku makin panik ketika ku lihat Niar mulai merintih dan berbisik lirih memanggil ku lagi. Berkali-kali.
"JANGAN BERANI MENDEKAT! DIMANA DOKTER?" Teriaknya lagi.
"Aku... Aku dokternya. Aku.... Iya.. aku" Jawab ku seraya maju selangkah demi selangkah.
Jujur, aku pun ikut gemetar. Bukan aku takut pada pria mabuk ini. Namun aku takut ia melukai Niar. Karena saat ini ku lihat telah ada darah segar yang mengalir mengenai seragam putih istri ku. Melewati celah pisau dan tangan tangan pria mabuk itu.
Ya Tuhan! Kenapa harus istri ku sih!
"CEPAT OBAT AKU! AKU DIPENUHI LUKA, DOKTER!" Kata pria mabuk tadi.
"Iya... Iya... Iya baik aku akan menyembuhkan mu. Tapi aku mohon! Aku mohon padamu, jangan lukai perawat kami"
Jangan lukai Niar! Jangan lukai istriku! Aku mohon! Aku mohon jangan lukai Niar!
"CEPAT OBATI AKU! CEPAT!" Tambahnya yang masih dalam keadaan setengah sadar.
Lalu tepat saat itu juga. Ketika keadaan semakin menengang dan ku lihat istri ku mulai menitihkan air matanya. Ku lihat dua orang petugas keamanan yang berjalan meraba dari arah belakang mendekati pria mabuk tadi. Keduanya lantas memberi ku satu tanda dari kedipan mata mereka. Meminta ku untuk mengalihkan perhatian pria mabuk ini. Sementara mereka akan mencoba melumpuhkannya dari arah belakang.
Sekali aku mengangguk kecil. Lalu ku lihat semua perawat di sekeliling nampak juga telah siap dan mengerti.
Ku hela napas panjang. Ku telan ludah ku. Ku coba untuk tenang. Lalu aku melangkah maju.
"Baik! Aku akan menyembuhkan mu! Tapi tolong! Lepaskan Daniar! Dan aku akan merawat mu. Oke!"
Dengan raut wajah mendesis, pria mabuk ini menatap ku dengan kedua bola mata merahnya. Seolah ia tengah mengatakan padaku bahwa ia mau mendengar ku. Selangkah demi selangkah aku mendekat. Ku sadari pria mabuk ini mulai tenang dan fokusnya hanya tertuju padaku.
Berhasil. Pria mabuk ini pun nampak makin melemah. Dan saat itu lah seorang satpam lantas meraih tangannya dan menjatuhkan pisau kecil itu.
Lepas sudah istri ku dari cengkraman pria mabuk yang tak lagi berdaya dan sedang dalam tahanan kedua satpam dan perawat. Saat itu juga Niar lantas berlari ke arah ku lalu ia memeluk ku dengan erat!
"Dokter Vian!" Panggilnya dengan merintih ketakutan.
"Iya!"
"Dokter Vian!" Panggilnya lagi.
"Iya... Iya... Sudah tidak apa"
"Dokter Vian saya takut" Tambahnya.
"Iya... Tidak apa... Tenang ya. Tenang!"
Lega sudah diri ku kini sebab ia dalam pelukan ku. Walau masih dapat ku rasakan tubuhnya yang gemetar oleh karena takut. Memeluk dan meremas erat kemeja dinas ku. Sembari ia menyembunyikan sebagian wajahnya di bahu ku. Masih ku dengar rintihan ketakutakannya.
"Iiiiiii... Iiii.. Ihiks... Hiks... Dokter Vian" Panggilnya lagi lirih.
"Iya tidak apa... Tenang sekarang ya" Bisik ku lirih pula.
Sembari aku membelai rambutnya. Seraya hendak aku membuatnya semakin tenang dan nyaman. Hingga aku dan Niar terlalu larut dan lupa bahwa kami masih di IGD. Juga kami lupa bahwa belum ada yang mengetahui status hubungan kami.
Jadilah saat itu juga kami pusat perhatian lagi. Tak lama, seseorang lantas meraih pergelangan tangan Niar. Membanting sebagian tubuhnya agar terlepas dari ku. Lalu dengan keras orang ini membentak istri ku. Di hadapan ku.
"LANCANG!"