NIAR: Bagian Yang Vian Suka
"Dokter Vian mau mandi?"
"Ya iya lah... Kan dari rumah sakit" Jawabnya usai menutup pintu kamar ini.
Sementara tawa semua keluarga kami masih begitu menggelegar dan terdengar hingga ke kamar. Sekejap aku dan dokter Vian menghindar. Sebab godaan mereka yang sungguh tiada henti.
"Saya tidak usah mandi lah kalau begitu" Tambah ku tiba-tiba.
"Lho! Ya tidak boleh lah! Kamu kan tahu sendiri seperti apa rumah sakit dan bagaimana harusnya tenaga medis jika selesai berdinas" Kata dokter Vian mengingatkan.
"Iya... Tapi nanti kan bisa terlalu lama jika harus bergantian mandinya. Nanti mereka bisa makin curiga. Makin di goda kita" Jawabku.
Sejenak dokter Vian terdiam. Lantas kedua bola matanya menunjukkan satu makna yang mencurigakan. Melirikku dengan memperhatikan ku dari atas hingga ke bawah.
"Oh! Yasudah mandi bersama saja!" Katanya menggoda ku.
"HOOOO! Ho! Ho! Ho!"
Sontak aku terkejut.
Terbelalak aku mendengar jawaban dokter Vian. Sembari kedua tangan ku ini menutupi sebagian dada dan tubuh ku. Aku berlari meninggalkannya dan menuju kamar mandi. Lalu dengan keras ku tutup pintu tepat di hadapan dokter Vian.
"Hey! Buka pintunya! Ayo mandi bersama" Lagi dokter Vian menggoda ku sembari mengetuk kamar mandi ini.
"Tidak mau!" Teriak ku.
"Hahahaha" Tawa puas dokter Vian di luar kamar mandi ini.
Haduh! Mana kamar mandi ini tidak ada kuncinya lagi. Haduh!
Berdirilah aku bersandar di daun pintu. Bermaksud hendak menahan pintu ini. Berjaga karena khawatir jika dokter Vian tiba-tiba saja membuka pintu dan...
Haish!
"Cepat, Niar! Agar mereka tidak semakin curiga!" Pintanya.
"Iya, iya... Tapi... Dokter Vian keluar kamar saja dulu"
"Ha! Hemp... Yasudah lah! Aku keluar dulu" Jawabnya.
Tak lagi ku dengar suara dokter Vian. Kendati demikian aku masih menaruh curiga dan berkeinginan untuk memastikan apakah dokter Vian benar-benar telah meninggalkan kamar kami ini.
Sedikit aku membuka pintu kamar mandi ini. Ku lihat sekeliling dan ternyata...
"BAAAAAA!"
Dokter Vian mengejutkan aku dengan menunjukkan wajah jahilnya.
"WAAAAA!" Teriak aku karena terkejut.
Lalu aku menutup pintu dengan keras. Tepat di depan wajahnya.
Astaga! Bisa-bisanya! Huft! Aduh! deg-degan aku. Ya Tuhan! Haaa! Hiiii dokter Vian ini ya! Haduh!
Selang beberapa menit. Selesai aku dan dokter Vian dengan drama kamar mandi tadi. Lekas kami kembali dan menemui orang tua kami. Dan tentu saja, lagi-lagi mereka menggoda kami habis-habisan. Oleh karena rambut kami berdua yang basah.
"Duhh! Habis keramas semua ya! Hemp! Sempat-sempatnya ya pengantin baru! Hahaha"
"Pantas tadi ada teriakan ya... Jadi itu tadi teriakan keenakan dari kamar mandi ya. Sampai basah semua"
"Hahahaha"
Aku dan dokter Vian saling memandang. Kemudian berbarengan kami menghela napas panjang.
Hemp!
"Sepertinya aku selalu membasahi rambut ku" Kata ku berusaha menjawab.
"Aku juga sudah jelaskan berkali-kali kan? Tenaga medis harus membersihkan seluruh tubuhnya usai berdinas" Tambah dokter Vian yang mulai geram.
"Hahaha... Iya, iya.. Kami tahu. Kami hanya menggoda. Jangan terlalu di bawa ke hati lah" Timpa ayah kuku di ikuti tawa lainnya.
"Hahaha.... Sudah, sudah... Kasihan pengantin barunya. Lebih baik kita makan saja. Ayo!" Sela kak Nana memberi ide.
"Aaa benar... Ayo! Ayo!" Tambah ibu mertua ku.
Aku dan dokter Vian menghela napas panjang. Menahan kesal sekaligus gemas pada semua keluarga kami ini. Tak lama dokter Vian lantas menyuruh ku untuk berbaur dengan kak Nanan, Vina, dan juga kedua ibu kami.
Benar-benar akhirnya mereka berhenti menggoda. Dan memilik untuk menikmati kudapan yang telah ibu kami siapkan. Satu persatu aku bergantian dan berusaha membantu ibu juga Vina. Sementara kak Nana mulai sibuk lama dengan kedua anak aktifnya.
Lalu tiba-tiba ibu mertua ku.
"Niar! Kau berikan ini pada Vian! Ya! Dia pasti suka" Kata ibu dokter Vian padaku.
Oh! Sepiring nasi lengkap dengan sayur. Juga potongan besar paha ayam.
"Iya, Bu" Jawab ku sembari menerima piring itu.
Aku tidak berpikir apapun. Kecuali hanya berusaha mengingat dan mempelajari. Makanan apa yang suami ku suka dari ibunya.
Sampai aku di hadapan dokter Vian. Lalu ku berikan sepiring nasi komplit ini padanya. Namun....
"Oh! Aku tidak suka paha, Niar! Terlalu berlemak" Katanya mengejutkan ku.
"Lho! Tadi kata ibu dokter Vian suka potongan paha ayam"
"Hah! Tidak... Aku tidak suka. Aku lebih suka dada atas" Jawab dokter Vian membuat ku bingung.
Namun saat itu kedua bola mata kami terbelalak. Menyadari obrolan kami yang nampaknya menjadi perhatian lagi oleh orang tua kami.
"Oh! Tidak suka paha!" Ujar ayah ku.
"Oh sekarang Vian suka dada?" Saut ibu mertua ku dari arah dapur.
"Sukanya dada atas" Timpa ayah mertua ku.
"Hemp memang bagian yang paling enak sih itu, ayah" Sela kak Fito.
"Ahahahaha!" Lagi rumah ini dipenuhi tawa menggelegar mereka.
Memerah sudah wajah ku dan dokter Vian. Tak bisa kami menjawab godaan mereka. Kecuali hanya diam dan menyembunyikan wajah kami.
"Saya tukar dulu, Dokter!" Kataku.
"Eh! Eh! Tidak usah! Tidak usah! Tidak apa. Berikan saja pada ku" Jawab ku.
"Tidak apa, biar saya tukar dengan bagian yang dokter Vian suka"
Tak lagi dokter Vian menjawab. Berbalik sudah aku kembali menyelesaikan tugas ku sebagain istri Vian ini. Astaga! Hanya perkara paha dan dada ayam sudah seperti pelawak profesional rasanya. Padahal aku juga tidak melawak!
Haish!
Selesai sudah mereka tawa geli mereks. Lagi ku rasa tenang dan lagi rumah ini dipenuhi oleh celoteh manja Risma dan Sita. Juga bayi kecil bernama Tama yang hanya berkata 'ksbdhenabdjamsbkan'. Sembari menyemburkan air liurnya lalu tertawa geli.
Agh! Sepertinya sudah selesai dengan drama menggoda ku dan dokter Vian. Ku pikir sekarang saatnya bersantai dan menikmati waktu dengan mereka. Juga bermain dengan tiga keponakan ku ini.
Namun tiba-tiba kak Nana.
"Niar! Itu tadi bagian leher masih banyak. Kamu suka bagian leher kan" Katanya.
Haish! Sengaja rupanya kakak ku ini!
Drama lagi setelah ini aku yakin. Dan benar saja. Lagi-lagi mereka memperhatikan ku. Bahkan kali ini pun dokter Vian juga ikut melihat ku.
Oleh karena saat ini aku telah terlalu geram. Lelah juga sedari tadi selalu mereka goda sudah cukup. Bersikap biasa dan tak acuh kan saja ucapan kakak Nana tadi.
"Iya... Kamu suka bagian leher kan, Niar!"
Namun tepat ketika ku lihat raut wajah kakak ku. Juga senyum licik dan menyebalkannya. Maka kali ini aku memilih untuk menjawab dan menghadapi godaan selanjutnya ini. Dengan tegas aku berkata seolah menantangnya.
"Iya! Leher Vian! Puas!"