VIAN: Alasan
Jika kalian memiliki pertanyaan yang sama seperti Niar. Tentang alasan ku mau di jodohkan dengannya. Maka jawaban ku adalah.
"Aku tidak punya alasan! Aku hanya mau untuk di jodohkan dengan mu"
Hanya itu. Tidak ada lagi alasan lainnya.
Niar terkejut.
"Bagaimana bisa? Maksud saya, dokter Vian pasti punya alasan mau menerima di jodohkan dengan saya" Katanya yang masih belum percaya.
Ku hela napas panjang mendengar pertanyaan Niar.
Hemp... Entah bagaimana aku harus menjelaskan padanya. Sedang aku memang tidak punya alasan apapun. Karena di mata ku... Rekan kerja ku ini...
"Kamu perempuan yang baik. Tidak ada alasan bagiku untuk menolak dijodohkan dengan mu" Jawab ku lagi.
Namun Niar semakin terkejut. Masih ia mengernyitkan kedua alisnya. Bibirnya pun seolah menahan beberapa kalimat yang belum bisa ia mengerti. Tentang alasan ku yang... Tidak ada! Ya aku hanya mau saja!
"Kamu belum bisa percaya?"
"Ya... Bukan saya takut dokter Vian akan membohongi saya nanti. Tapi kenapa? Kenapa dokter Vian begitu dengan mudahnya menerima untuk di jodohkan dengan saya. Sedang dokter Vian sendiri pasti tahu alasan kenapa saya mau menerima di jodohkan dengan Anda. Bahkan, dokter Vian juga melihat sendiri saya dan Tomi tempo hari di IGD" Jawabnya berusaha menjelaskan hal yang ia rasa mengganjal.
"Ya aku tahu... Tapi itu bukan urusan ku. Lagi pula hubungan mu dengannya juga sudah berakhir, bukan? Jadi... Untuk apa aku harus memperpanjang?"
Niar menghela napas panjang. Entah apa yang ia pikirkan saat ini. Aku hanya berusaha mengatakan yang sebenarnya. Kendati ia nampaknya masih menyimpan banyak tanya.
Lalu tiba-tiba. Niar lagi mengajukan pertanyaan.
"Lalu bagaimana dengan dokter Nastya?" Tanya Niar dengan tatapan penuh curiga.
Sedang kali ini aku yang terkejut atas pertanyaan itu. Tak ku sangka Niar akan menanyakan mantan kekasih ku. Nastya.
"Saya dengar Anda dan dokter Nastya sudah bertunangan. Lalu juga akan segera menikah. Tapi kenapa tiba-tiba, Anda mau menikahi saya. Bagaimana dengan kekasih Anda itu?" Tambah Niar.
Entah seberapa besar trauma wanita ini tentang kepercayaan. Adapun kini ku lihat ia benar-benar ketakutan.
Hemp!
"Apa kamu juga belum dengar bahwa hubungan ku dengannya sudah berakhir sejak sebulan yang lalu. Oleh karena dia menolak lamaran ku" Jawab ku.
Berharap aku Niar percaya. Namun rupanya jawaban ku justru menimbulkan kejanggalan lagi dalam diri Niar.
"Karena dokter Nastya menolak lamaran dokter Vian? Lantas dokter Vian mau untuk di jodohkan dengan saya?"
"Tidak! Sudah ku bilang aku tidak punya alasan. Aku... Hanya mau. Kamu perempuan yang baik aku tahu itu. Dan aku tidak punya alasan untuk menolak!" Kata ku mengulang penjelasan. "Sudahlah... Cukup dengan memikirkan alasan. Sekarang, coba untuk percaya padaku karena aku tidak punya niat apapun kecuali menikahi mu. Juga aku berharap kamu tidak berpikir bahwa aku mau menikahi mu karena kasihan atas gagalnya rencana pernikahan mu esok"
Sungguh! Terlalu konyol bagi ku mau menyelamatkan pernikahan orang lain dengan mengorbankan diri ku sendiri. Terlalu kekanak-kanakan juga ku setujui perjodohan ini karena Nastya menolak lamaran ku. Lalu aku hendak melampiaskan kekesalan pada wanita lain. Tidak! Aku tidak seperti itu! Tentu aku tidak mau mengorbankan diri ku sendiri.
Namun kali ini, aku hanya benar-benar mau menerimanya sebagai istri ku kelak. Memang benar Niar memiliki banyak kekurangan. Tapi aku juga jauh dari sempurna.
Sudah hampir setahun sejak aku mengenal perawat yang baru menyelesaikan studinya ini. Selama itu pula aku tidak mengenal dia sebagai pribadi yang buruk. Dia sangat baik dibalik lugu dan polosnya.
Tapi, jujur saja ada satu waktu ia membuat ku terkejut ketika menangani pasien kami di IGD. Tanpa aku memberinya perintah, dia sudah tahu apa yang seharusnya di lakukan. Bahkan tindakannya terhadap pasien benar-benar melebihi diriku yang sebagai dokter di IGD.
Dia juga pintar! Namun ia seolah menyembunyikan kepintarannya dari sifat pendiam dan introvert nya.
"Hari sudah mulai siang. Nanti masuk siang kedua kan?" Tanya ku.
"Iya..." Jawabnya sekali mengangguk.
"Apa masih ada yang ingin kamu tanyakan lagi?"
"Banyak sebenarnya... Tapi biarlah... Tidak apa! Nanti seiring berjalannya waktu setelah kita tinggal bersama" Jawabnya sembari melihat kedua bola mataku.
Syukurlah. Sekarang ku lihat tatapan dari kedua bolanya telah berubah. Emosinya telah menurun lalu memilih untuk sejalan dengan ku. Mempercayai ku.
Lihat! Bahkan dari sikapnya yang seperti ini saja sudah terlihat bagaimana sangat pintarnya ia dalam berpikir. Ku rasa, aku tidak salah setuju untuk di nikahkan dengannya.
"Kalau begitu ku antar kamu pulang. Jangan menolak! Kamu calon istri ku sekarang" Pinta ku.
Niar mengangguk.
Bangkit aku dari kursi ini setelah ku teguk habis air dingin yang tadi ibu pesan kan untuk ku. Demikian pula dengan Niar yang lantas membenarkan tas dan bajunya. Adapun aku dan Niar saat ini, jujur saja masih merasa sangat canggung.
Ia berjalan tepat di belakang ku dengan banyak menundukkan kepalanya. Seperti ia hendak menyembunyikan wajahnya di balik helaian rambutnya yang panjang. Atau mungkin sedang menata hati karena akan segera satu mobil dengan ku.
Hegh! Ada yang malu-malu nampaknya.
Sesekali aku hanya melihatnya dan mencoba mengerti apa yang dia rasakan. Malu. Ya tentu saja dia pasti sangat malu. Apalagi setelah kemarin aku lah yang menegurnya karena telah membuat ulah di IGD. Tapi sudahlah, lupakan! aku benar-benar tidak ingin membahasnya.
Turun kami dari lantai dua. Selang demi selangkah. Ku dengar jelas bagaimana alas kaki Niar menuruni tiap anak tangga ini. Mengikuti langkah kaki ku. Tepat di belakang ku.
"Nanti mau ku jemput?" Tawar ku mencoba mencairkan kecanggungan.
"Tidak perlu, Dokter. Terima kasih. Sungkan dengan teman-teman di IGD. Saya juga belum siap untuk memberitahu mereka" Jawabnya menolak tawaran ku.
Aku mengangguk.
Ya baiklah. Lagi aku mencoba untuk mengerti.
Keluar sudah kami dari caffe ini. Masih Niar berjalan di belakang ku. Membuntuti ku selayaknya jika kami di IGD.
Lalu tepat di depan mobil ku. Ketika hendak aku mematikan alarm mobil dan membukakan pintu untuk Niar. Saat itu lah Niar meraih ujung kiri kemeja ku. Sejenak menatap ku dengan sorot bola matanya yang tajam. Seolah ia hendak menahan ku dengan beberapa hal ia mengganjal dalam hatinya.
"Ada apa?" Tanya ku.
Masih Niar menatap ku.
"Ada ingin saya tanyakan lagi. Saya baru mengingatnya" Katanya.
"Ya... Katakan saja" Jawab ku seraya sekali mengangguk.
Ia lantas melepas ujung kemeja ini. Di ambilnya napas panjang lalu dikatakannya. Satu hal yang lagi-lagi membuat ku terkejut.
"Apa dokter Vian mencintai saya?"