Chapter 31 - KENYATAAN PAHIT

Tak lama kemudian, Fengying pun telah menyelesaikan kegiatan yang dia lakukan di dalam kamar mandi.

Rambutnya yang masih basah, dia bawa keluar dengan handuk putih yang menutupi perut bagian bawahnya sampai ke atas lutut.

Pria tampan itu kemudian melihat apa yang sedang terjadi, kenapa dia tak bisa melihat Annchi saat itu?

"Dimana wanita itu? Apakah jangan-jangan dia sudah tahu bahwa aku yang membuat kissmark di lehernya? Hahaha, dia pasti sedang kesal setengah mati saat ini. Sebaiknya aku lihat saja-" pria itu pun langsung kehilangan kata-katanya, saat pria paruh baya datang ke kamar itu tanpa aba-aba, dengan tatapan mengerikan dan dengan Annchi di bagian belakangnya.

Dengan senyuman yang perlahan menghilang, Fengying pun menatap wanita yang saat itu sedang menunduk di belakang Ayahnya—sang presdir—Tuan Ji.

"A ... President, A-apa yang sedang presiden lakukan disini?" tanyanya, dengan nada suara yang bergetar. Sementara itu, Annchi tak sama sekali mengangkat wajahnya ke atas dan melihat ke arah Fengying.

Si pria paruh baya yang saat itu datang dengan Annchi kemudian langsung duduk di kursi yang ada di sana, dan memangku kakinya dengan arogan.

Brak!

Dia melempar tongkat yang saat itu sedang dia pegang ke arah Fengying dengan kasarnya. "Anak kurang ajar! Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan disini? Kenapa kau tak bisa melakukan hal yang berguna? Untuk apa selama ini kau kubesarkan, hah!?"

Bagaikan tersambar petir, Fengying pun kehilangan tawanya dengan sempurna. Apalagi disana ada Annchi yang melihat dengan jelas perlakuan yang berbeda dari ayah kandungnya itu sendiri padanya.

"P-presiden maksud presiden apa?"

"Maksudku? Kau sama sekali tak tahu apa yang sedang aku maksudkan? Dasar anak kurang ajar!" Dia pun langsung bangkit dari kursinya saat itu, dan melayangkan tamparan dengan lima jarinya yang sudah sering Fengying terima sebelumnya.

Plak!

"Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan? Apakah kau sama sekali tidak mengetahui bahwa kita sekarang telah rugi bermiliar-miliar an. Kau ... Malah dengan wanita ini ada di satu kamar yang sama?" Pria paruh baya itu kemudian melihat ke arah Annchi yang saat itu masih menunduk tak bisa berbuat apapun.

***

Kejadian sebelumnya.

Annchi saat itu masih dalam perasaan bingung setelah menerima telepon dari wanita yang menanyakan dimana keberadaan Fengying. Namun tiba-tiba saja wanita itu pun mendapatkan panggilan darurat dari presdir. Dan saat ia keluar untuk melihat-lihat lounge, ternyata telah berdiri di depan pintu kamar yang saat itu mereka tempati, seorang pria paruh baya yang ternyata itu adalah presdir dari perusahaan mereka.

Annchi pun langsung dibawa dan diinterogasi dengan berbagai pertanyaan yang berbeda-beda namun dengan satu inti.

***

"Sebenarnya apa hubunganmu dengan sekretaris pribadimu sendiri, hah? Jangan kau gadaikan seluruh reputasi dan juga tanggung jawab mu di perusahaan ini hanya untuk seorang wanita. Paham?"

Mendengar apa yang bercahaya dikatakan oleh ayahnya sendiri itu, membuat pria yang saat itu masih berada dalam posisi memegang pipinya yang baru saja ditampar oleh ayahnya itu dengan tangan kanannya, mengingat kembali apa yang diceritakan oleh ibunya itu sebelum ia meninggal dunia.

"Apa? Apakah ayah sama sekali tidak pernah memikirkan hal yang? Kalaupun aku ingin memiliki hubungan dengan wanita itu maka semua itu sama sekali tidak ada urusannya dengan ayah. Aku bukannya ayah yang dulu meninggalkan Mama, hanya karena takut harta yang dititipkan oleh kakek akan jatuh ke tangan saudara kandung ayah sendiri." Tiba-tiba saja tatapan mata Fengying berubah menjadi gelap.

Annchi-wanita yang saat itu ditiru saja mengangkat kepalanya, melihat dengan jelas tatapan yang sangat berbeda dari pria itu.

Itu adalah tetapan dari seseorang yang telah disakiti, dan tenggelam dalam penyesalan tak berujung.

"Ayah, itu kan yang ayah lakukan kepada Mama. Sekarang mama sudah meninggal, Ayah juga ingin memaksakan kehendak tersebut kepadaku?" Fengying menaikkan suaranya di depan ayah yang selama ini memperlakukannya dengan kejam.

Seakan tak ada lagi rasa takut yang selama ini dia simpan pada ayahnya itu. Dia tak ingin sakit lagi, dia tak ingin menderita. Selama beberapa hari terakhir ini dia hidup bersama dengan Annchi, membuatnya mengerti bahwa dia seharusnya juga bahagia.

Namun, tiba-tiba saja ayahnya itu mengatakan sesuatu yang membuatnya menutup seluruh kebahagiaan yang ada di dalam dirinya itu sekali lagi.

"Anak haram tidak tahu diri! Sadarkan dirimu bahwa kau itu hanyalah anak haram! Kau tahu kenapa aku membesarkanmu hingga saat ini? Karena kau adalah satu-satunya darah daging yang aku miliki. Kalau kau sama sekali tak memiliki darahku dan wanita itu setelah menggugurkan kandungannya saat aku suruh, maka kau sama sekali tidak akan hidup di dunia ini dan jam sekali juga tidak akan mendapatkan posisi seperti saat ini. Jadi, sadar! Sadarkan dirimu bahwa kau itu begitu rendah! Kau sama sekali bukan apa-apa jika kau tidak berada di bawah nama keluarga Ji. Fengying, dengarkan aku sekali lagi. Kau harus melakukannya dengan benar, karena aku sama sekali tidak menerima sebuah kesalahan bahkan sedikit pun. Paham?"

Pria paruh baya itu kemudian bangkit dari kursi yang saat itu ia duduki, kemudian melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu dengan pemberhentian di sela-sela pintu keluar kamar yang mereka tempati.

"Qiancheng sudah kembali ke negara ini. Dan satu-satunya hal yang harus kau lakukan adalah menikah dengannya. Ingat!" Matanya pun dialihkan ke arah Annchi yang berdiri tepat di sampingnya. "Cih, wanita yang tak berguna."

Tuan Ji—Ayah Fengying kemudian pergi meninggalkan tempat itu begitu saja tanpa mengatakan sepatah apapun. Dan serempak dengan kepergian sang ayah, Fengying sudah tak tahu lagi harus berkata apa dan harus bersikap seperti apa di depan Annchi.

Seluruh tubuhnya bergetar dan dia sama sekali tidak bisa merasakan Indra peraba yang ada di tubuhnya lagi. Seakan semuanya telah mati rasa.

Annchi perlahan mengangkat pandangannya ke arah pria yang sangat itu berdiri kaku di hadapannya. Seakan tak mau didekati, Fengying sontak langsung berbalik membelakangi Annchi, ketika dia hampir saja mendekati Fengying.

Annchi pun menurunkan lagi tangannya yang saat itu hampir saja menepuk bahu Fengying dari belakang.

Padahal saat itu adalah saat yang tepat melihat kehancuran pria yang selama ini telah membuat dirinya juga hancur. Namun, kenapa rasanya sangat sakit saat dia melihat kepedihan yang terukir jelas di mata Fengying?

"Apa sebenarnya yang harus aku lakukan sekarang?" Annchi menatap kembali pria yang saat itu masih berdiri di depan sana, bahkan tanpa bergerak dan juga tanpa beranjak dari titik tempat yang sedang ia tegakkan tubuhnya itu.