"Lagi main apa, Yo?" tanya Alvin saat mulai merasa bosan. Jam istirahat masih lama dan teman sebangkunya malah sibuk sendiri dengan ponsel, membuatnya tidak ada teman mengobrol. Rio menggumam sebagai jawaban. Sangat terlihat tidak tertarik untuk berbicara bersama Alvin. Alvin mendengus tapi hanya bisa diam. Memilih menyandarkan kepalanya pada meja dan menyembunyikan wajahnyanya pada lipatan tangannya. Jam istirahat masih ada 30 menit lagi, bisa ia gunakan untuk tidur siang.
Arghi menoleh hendak mengajak Alvin main game tapi urung saat melihat remaja itu tertidur dengan tenang. Tujuannya berubah saat melihat Rio juga memainkan ponselnya. Dia membalik badannya siap mengajak Rio main.
"Ayo, Yo main game! Bosen banget," ajaknya sembari mengeluh bosan. Orang petakilan seperti Arghi tidak cocok kalau harus diam berlama-lama. Dia lebih senang melakukan aktivitas seperti mengobrol atau menjahili orang lain. Karena yang lain tengah istirahat dengan berbagai versi, jadi hanya ada Rio yang bisa ia ajak main game.
"Sibuk," jawab Rio tanpa menatap kepadanya. Arghi mendengus kesal mendengarnya. Tidak bisa diandalkan. Dengan wajah kesal dia kembali memposisikan duduk dengan benar di kursinya. Melirik teman sebangkunya yang terlihat sibuk dengan alat tulisnya tanpa peduli akan sekitar termasuk kepadanya.
Arghi melirik makin dekat melihat apa yang dikerjakan teman sebangkunya. Rupanya dia tengah menggambar sesuatu di kertas gambar yang ia bawa. Oh, ternyata Jofan pandai menggambar. Sama sepertinya yang menyukai seni, hanya beda jenis.
"Huh?"
Arghi terkejut melihat Jofan secara tiba-tiba menoleh kepadanya. Mungkin karena merasa diperhatikan dia menoleh kepadanya. Arghi hanya nyengir kuda. Lantas mengisyaratkannya untuk melakukan aktivitasnya tanpa peduli padanya.
"Lanjutin aja," ujar Arghi akhirnya bersuara.
"O ... oh, iya," sahut Jofan kikuk. Dia penasaran apa yang dilakukan Arghi tadi sebelum dia menoleh. Tapi, dia terlalu sungkan untuk menanyakan hal tersebut. Dia tidak sedekat itu dengan teman sebangkunya.
"Gambarnya bagus," puji Arghi akhirnya memulai berbicara. Dia sangat tidak tahan untuk duduk diam saja. Meskipun merasa Jofan adalah siswa yang aneh dia tetap merasa perlu berteman dengannya. Sama seperti Alvin yang berbicara santai dengan Jofan.
"En, enggak kok. Masih pemula," jawab Jofan merendah. Jelas gambarannya tampak begitu artistik dan terkendali layaknya gambar seorang profesional. Bagi Arghi yang hanya bisa menggambar gunung beserta sungai merasa terpesona melihat gambaran langit yang Jofan tengah warnai dengan pensil warna.
"Pensil warna emang bisa digradasi?" tanya Arghi penasaran. Pasalnya sepenglihatannya Jofan tengah mewarnai langit malam yang penuh bintang. Tentu saja itu butuh gradasi. Meskipun Arghi tidak pandai dalam hal menggambar tapi dia tahu kalau langit diwarnai dengan teknik gradasi menggunakan pewarna crayon atau cat air. Baru kali ini seseorang mewarnai langit dengan alat pensil warna.
"Bisa kok, sama aja kayak pake crayon," jawab Jofan tersenyum. Dia senang akhirnya teman sebangkunya mulai mengajaknya berbicara.
"Baru tahu," gumam Arghi dan menidurkan kepalanya pada meja. Memperhatikan gambaran Jofan yang perlahan mulai diisi dengan warna. Mulai dari hitam, biru tua, sampai biru muda. Terakhir dia tampak menggambar pohon dengan pensilnya dan menambahkan bintang dengan pensil warna putih.
Arghi duduk tegap melihat hasil gambaran Jofan. Takjub melihat betapa berbakatnya Jofan menggambar langit malam. Itu terasa seperti foto pemandangan bukan sekedar gambaran dari pensil warna.
"Bagus!" puji Arghi disambut senyum senang oleh Jofan. Dia menyobek gambaran tersebut membuat Arghi mengernyit heran, "lho kok disobek?" tanyanya tidak terima. Apakah Jofan akan membuang karyanya?
"Buat kamu," ucap Jofan dan menulis nama Arghi di lembar lukisannya dengan spidol putih. Bukankah seharusnya yang tertera adalah nama si pembuat? Betapa aneh Jofan di mata Arghi sekarang, tetapi, Arghi tidak bisa menolak gambaran indah dari tangan Jofan
"Makasih ya ..." ungkapnya dan tersenyum lebar. Dia memandangi gambaran tersebut sekali lagi lantas mengacungkan jempolnya pada Jofan, memuji dengan isyarat. Jofan tersenyum mendapat hadiah jempol tersebut.
"Makasih juga," sahut Jofan membuat Arghi menoleh dengan ekspresi keheranan. Ucapan terima kasih untuk apa? Jofan tersenyum, "makasih udah mau ngajak aku bicara," jelasnya membuat Arghi malu.
Dia tersenyum kuda dengan canggung. Rasanya cukup tertohok dengan jawaban Jofan. Hanya sebuah pembicaraan saja dia langsung dihadiahi sebuah lukisan bahkan ucapan terima kasih. Bukankah ini terlalu berlebihan?
"Kan teman sekelas, wajar kalau saling ngobrol, kita bisa berteman," ucap Arghi tenang. Dia mencoba untuk tidak gugup karena ucapan Jofan yang terasa begitu menyindir sikapnya.
"Oh iya, sorry ya selama ketemu aku kayak nggak baik sama kamu. Aku cuma ngerasa canggung aja ketemu orang pendiam," jelas Arghi mencoba mencari aman. Jofan terkekeh ringan dan menyimpan buku gambarnya.
"Iya, aku paham kok," ucap Jofan santai.
Keduanya lantas saling mengobrol ringan. Arghi lebih banyak melempar lelucon. Ternyata Jofan orang yang sangat asik diajak bicara tidak seperti Rio yang selalu mengabaikannya. Jofan orang yang begitu peduli dan pendengar yang baik. Terlihat sangat sabar mendengar celotehan Arghi yang sebagian hanya omong kosong belaka.
Sampai kemudian bel masuk berbunyi, membuat pembicaraan keduanya harus berhenti. Arghi menoleh masih melihat Alvin masih tidur. Tangannya mulai menoel-noel pipi Alvin mencoba membangunkannya.
"Vin bangun, Vin. Udah bel masuk," ujar Jofan ikutan membangunkan Alvin. Tetapi, temannya itu hanya menggumam seperti mengigau. Keringat dingin tampak keluar membanjiri wajah dan tangannya. Jofan menempelkan punggung tangannya di dahi Alvin merasakan suhu hangat dari Alvin.
"Dia sakit," ujar Jofan memberitahu Arghi yang sudah berdiri mendekati Alvin. Membangunkan temannya yang terkapar di meja. Memintanya pergi ke UKS saja dan beristirahat di ranjang UKS.
Rio yang sejak tadi diam-diam hanya mengawasi, kini ikut mencoba membangunkan Alvin. Sampai desisan terdengar dari bibir pucat Alvin. Masalah rasa pedas mie ayamnya tampaknya menyiksa perutnya. Perut yang tidak pernah menerima makanan sepedas hari ini.
"Naikin ke punggungku!" titah Rio dan segera memasukkan ponselnya di saku lantas meminta Arghi menyingkir. Berjongkok di dekat Alvin. Arghi dan Jofan mencoba memposisikan Alvin di punggung Rio agar sang teman sebangkunya itu bisa membawanya ke ruang kesehatan.
"Izinin ke guru!" pesan Rio sebelum melangkah menggendong Alvin keluar kelas. Beberapa menanyai apa yang terjadi pada Alvin. Dijawab Arghi dengan keadaan yang sebenarnya, Alvin sakit perut.
Sampai di UKS Rio membaringkan Alvin di ranjang dan memanggil beberapa anak PMR yang bertugas. Mereka dari angkatan terakhir. Dengan cermat mengecek keadaan Alvin bertanya apa yang terjadi pada Rio.
"Kayaknya maag, dia makan pedas tadi, terus mules akhirnya demam," jelas Rio. Seseorang sudah membawa secangkir teh hangat untuk Alvin. Yang lainnya mencari obat yang entah Rio tidak tahu apa fungsinya.
"Dek, bangun. Minum obat dulu," dengan pelan seorang siswi meminta Alvin meminum obat. Alvin tampak sadar tapi menahan rasa sakit sampai membuatnya tak berdaya.
"Tolong bantu biar duduk," pinta salah seorang yang membawa teh. Rio bergera menyangga tubuh Alvin membuatnya berposisi setengah duduk. Mereka mulai memberikan obat dan air putih sampai kemudian memberinya teh hangat tersebut.
"Biar istirahat dulu, kamu bisa temani di sini, soalnya nggak ada cowok yang tugas hari ini," ucap salah seorang yang tadi memberikan obat. Rio mengangguk saja. Kasihan juga kalau harus dia tinggal Alvin sendirian di UKS. Jadi, dia menunggu Alvin di bilik tidurnya dengan bermain ponsel. Sementara anggota PMR tadi keluar dan berjaga di ruangan seperti sebelumnya.