Jam istirahat pertama dimulai, pertanda pelajaran olahraga di kelas 10 Mipa-2 telah usai. Para siswi keras kepala ingin berganti di dalam kelas sedangkan para laki-laki enggan mengalah dan tetap berpegang teguh pada kebiasaan berganti di ruang kelas. Arghi dan Jofan sudah ngacir ke kamar mandi sebelum toilet penuh sesak. Sementara itu, Rio menunggu Alvin mencari dasi seragam kotak-kotak miliknya.
"Ketinggalan kali," ujar Rio merasa tidak betah berlama-lama di dalam kelas. Suasana riuh benar-benar membuatnya muak apalagi gumaman Alvin yang panik mencari dasi miliknya. Dia keras kepala telah memasukkannya ke dalam tas tapi jelas Rio tidak percaya. Bisa saja Alvin lupa dan tidak memasukannya.
"Udah nggak usah dicari, nggak masalah kalo nggak pake dasi," bujuk Rio agar Alvin segera beranjak pergi ke kamar mandi untuk berganti.
"Yah ..." keluh Alvin dan pasrah. Dia memasukkan kembali peralatan alat tulisnya ke dalam tas ranselnya. Melupakan dasi yang hilang entah kemana. Dia berjalan mengekor Rio keluar kelas membuat para siswi makin keras berseru.
"Tuh lihat! Rio aja ganti di kamar mandi!" teriakan itu membuat Rio yang baru saja melangkah keluah hanya bisa geleng-geleng kepala. Perdebatan yang tidak penting itu nyatanya selalu terjadi tiap pelajaran olahraga. Di segala jenjang pendidikan pasti pernah ada yang ribut masalah ganti di ruang kelas. Rio juga pernah, tapi sekarang begitu dipikir baik-baik itu sama saja membuang waktu. Dibanding menghabiskan 10 menit berdebat dia lebih memilih berjalan ke kamar mandi dan berganti, itu menghabiskan waktu sekitar 15 menit saja.
Mereka berdua berpas-pasan dengan Arghi yang tengah berkaca di kamar mandi. Seragam olahraganya dia lipat asal dan diletakkan di meja wastafel. Sedangkan dia tengah menata rambutnya dengan air keran agar terlihat rapi dan tidak kusut.
"Jofan!" panggil Alvin iseng. Si empu hanya membalasnya dengan gumaman. Alvin tersenyum mendengar itu. Mengambil tempat ganti tepat di sebelah bilik Jofan. Sedangkan Rio mengambil tempat di sisi seberangnya.
"Jofan, masih lama nggak?" seru Arghi dari luar. Rio melepas seragam olahraganya segera berganti dengan seragam kotak-kotak khas sekolahnya.
"Duluan saja, aku balik sendiri!" balas Jofan dengan berseru juga. Rio yang sedang mengancing seragamnya hanya berdecak lirih. Jarak keduanya hanya beberapa meter, dan juga kamar mandi ini membuat suara bergema. Tidak perlu berseru untuk berbincang apalagi saat kamar mandi begitu sepi. Seruan keduanya begitu mengganggu telinga Rio.
"Okeh, duluan ya guys!"
Tidak butuh waktu lama untuk Rio menyelesaikan acara ganti baju. Dia sudah keluar dengan seragam kotak-kotak dan pergi ke wastafel mencuci tangannya. Menunggu Alvin yang terdengar tengah mengobrol bersama Jofan. Rio duduk di meja wastafel, bosan menunggu. Ingin kembali ke kelas tapi dia kepikiran, mungkin saja di kelas masih ada oknum yang berganti baju. Percuma sampai sana kalau harus berdiri sendiri di depan kelas.
"Vin, masih lama?" tanya Rio dengan bosan. Alvin keluar setelahnya dan nyengir kuda. Lantas Jofan ikut keluar dari biliknya. Dia berjalan lebih dulu, tahu diri kalau Rio masih tidak menyukainya.
Sesampainya di kelas, rupanya para siswi yang kalah debat dan harus berganti di kamar mandi. Arghi sudah sibuk bermain ponselnya dengan earphone menyumbat telinganya. Tidak peduli keadaan sekitar yang begitu riuh bak dalam pasar.
Rio sudah tahu apa yang Arghi lakukan, dia tengah menyusun not untuk membuat lagunya sendiri. Dia mendengar dari bundanya kalau Arghi sangat suka membuat lagu. Pasti dia melakukannya di ponselnya, itu sebabnya dia melakukannya dengan santai.
Alvin tampak kembali mencari dasi, kali ini laci menjadi sasaran pencariannya. Rio meliriknya sekilas dan memainkan ponselnya. Jofan terdengar menanyakan perihal apa yang sedang Alvin lakukan.
"Aku lupa bawa dasi," jawab Alvin. Dia memang jarang peduli pada hal semacam ini, tapi di hari awal pertemuan dengan sang guru dia ingin memberikan kesan baik.
"Ini pakai saja!"
Alvin mendongak dan duduk tegap melihat sebuah dasi tergeletak di mejanya. Menatap Jofan yang tengah tersenyum kepadanya. Alvin mengambilnya ragu.
"Terus kamu pakai apa?" tanya Alvin. Dia hanya tidak enak kalau harus menggunakan milik Jofan. Sama-sama harus menggunakan dasi, lalu kenapa Jofan malah memberikan ini kepadanya?
"Nggak suka pakai dasi, kamu saja yang pakai," jawabnya dengan ramah. Dia lantas kembali duduk menghadap ke depan. Rio menatapnya diam-diam lantas melirik pada Alvin yang sudah memasang dasi.
"Makasih ya, Jo," ungkap Alvin dengan tidak enak hati. Jofan mengangguk saja dan sibuk bermain dengan ponselnya.
Lima menit lagi bel masuk berbunyi. Rio masih sibuk dengan ponselnya. Melihat-lihat isi chat grup kelompok basketnya. Mereka berencana pergi bertemu setelah menjadi siswa SMA. Rio setuju dengan rencana itu, Anton juga setuju. Jadi, dia bisa pergi bersama Anton.
Mereka berencana bertemu akhir pekan di pantai. Menginap di homestay yang sudah di rekomendasi salah seorang dari mereka. Rio hanya terima beres dan hanya perlu membayar biayanya pribadi tanpa perlu melakukan apapun.
"Yo, sudah masuk!" ujar Alvin memberitahu Rio. Rio yang masih asik di grup chat segera meletakkan ponselnya di laci dan pelajaran dimulai lebih awal.
Mereka mengalami masa sulit karena nyatanya pelajaran kimia di pertemuan pertama sudah langsung masuk materi. Belum lagi guru tersebut begitu galak. Tidak galak yang suka membentak, dia hanya tersenyum dan mengatakan kesalahan siswanya. Itu yang membuat diam-diam mereka merasa sangat takut.
Mulai dari seisi kelas yang tidak menjawab pertanyaannya tentang pengertian atom, sampai komentar tentang kelas yang lantainya kotor bahkan aroma di kelas juga tak luput dari perhatiannya. Alvin gugup seketika saat guru tersebut berkeliling. Hanya berjalan sembari menanyakan materi, tapi Alvin takut Jofan terkena peringatan.
"Kalian ini sudah masuk SMA ya, bukan siswa SMP lagi. Pemikiran juga harus sudah naik tingkat menjadi level di atas anak SMP. Peraturan di SMA juga berbeda dengan peraturan di SMP. Mungkin lebih ketat dari sekolah kalian yang dulu. Jadi, mohon dengan sangat untuk tertib dalam berseragam. Kalian belum ada satu minggu lho masuk SMA, masa sudah berani melanggar aturan. Saat PLS hari pertama kakak OSIS sudah membacakan perturan sekolah kan? Tertib ya!"
Benar saja pak Agus berbicara dengan tegas pada Jofan yang didapatinya tidak menggunakan dasi. Alvin gugup di kursinya. Dia meremat jari-jari tangannya merasa bersalah pada Jofan yang sekarang kena sindir pak Agus. Pantas saja perasaannya tidak enak saat tahu dia tidak membawa dasi, rupanya itu pertanda bahwa guru setelah jam olahraga sangat disiplin.
Jofan hanya mengangguk dan membuat pak Agus melewatinya. Meskipun begitu tetap saja bagi Alvin itu sangat memalukan. Citra seseorang rusak karena kecerobohannya. Dia takut Jofan mendapat penilaian buruk dari sang guru karena berani melanggar aturan sekolah di pertemuan pertamanya. Yang lebih parah adalah guru tersebut menceritakan itu kepada rekannya yang lain. Bisa-bisa Jofan dilihat sebagai siswa berandalan.
Jam kedua berlangsung. Itu saatnya bagi para siswa pergi ke kantin untuk makan siang. Alvin melepas dasinya berniat memberikannya pada Jofan.
"Nggak usah, dipakai saja," tolak Jofan yang sudah hendak berjalan ke kantin. Alvin menggeleng mencoba menolak ide Jofan.
"Nggak, gara-gara aku kamu kena marah pak Agus," ujar Alvin tidak enak hati.
Jofan menerimanya ragu-ragu lantas meminta maaf karena tidak bisa membantu Alvin. Alvin hanya tersenyum saja merasa aneh karena justru Jofan yang meminta maaf kepadanya. Padahal dia yang bersalah telah membuat Jofan dalam masalah.
Sampai di kantin Alvin duduk menunggu pesanannya yang dipesan oleh Rio. Dia menunggu sembar8 menduduki empat kursi sekaligus. Tangannya sibuk memainkan ponselnya sampai Arghi datang lebih dulu.
"Rio lepas dasi tuh," ujar Arghi membuat Alvin yang tengah menyusun kursi mendongak mencari keberadaan Rio. Rupanya Rio juga selesai memesan dan membawa semangkuk mie ayam dan sepiring nasi goreng.
Dia meletakkannya di atas mejan lantas kembali ke warung mengambil minuman pesanannya. Dia membawa empat gelas. Miliknya, Alvin, Arghi, dan Jofan. Dia hanya merasa kasihan setelah melihat Jofan disindir sang guru karena kecerobohan Alvin.
"Yo, kok dilepas dasinya?" tanya Alvin penasaran akan alasan sahabatnya melepas dasi.
"Gerah," jawab Rio dan meletakkan minuman.
Jofan datang membawa nasi rames dan sepiring gorengan. Arghi senang melihat gorengan dan menyomotnya lantas diikuti ketiga siswa tersebut. Mereka makan siang bersama. Mengobrol bersama meski terkadang Rio hanya menanggapi ucapan Jofan singkat.
Tanpa sadar, pertemanan itu mulai menguat. Menyimpul sebuah tali takdir agar melekat satu sama lain. Membuatnya kuat dan tak terpisahkan lagi.