Chereads / My Mind [IDN] / Chapter 16 - Perang Dingin

Chapter 16 - Perang Dingin

Sejak perdebatan mengenai ekstrakulikuler, Alvin dan Rio tampak saling diam. Dua sahabat yang selalu tampak akur meski sesekali terlihat aneh karena keduanya sama-sama pendiam kini tampak dalam mode perang dingin. Jofan dan Arghi keheranan karena perdebatan sepele itu membuat keduanya jadi saling diam.

Mereka juga tidak tahu hal apa yang sebenarnya membuat kedua sahabat itu saling diam. Apakah benar hanya perdebatan tentang ekskul pagi itu atau ada hal lain. Arghi menatap Jofan di seberangnya, seolah mengatakan, "lakukan sesuatu!". Dan Jofan hanya bisa mengedikkan bahu sekaligus memberi tatapan, "tidak ada yang bisa dilakukan".

Mereka makan siang dalam diam. Arghi yang biasanya cerewet jadi diam meski sesekali dia berbicara kepada Jofan lewat tatapan mata. Entah sejak kapan keduanya memiliki kekuatan aneh yakni membaca bahasa mata.

"Kalian lagi marahan?" tanya Arghi akhirnya membuka suara. Jofan mendelik mendengar pertanyaan konyol Arghi. Apakah tidak ada bahasan lain untuk ditanyakan. Yang dipelototi hanya mengangkat bahunya bingung.

"Siapa?" tanya Rio cuek. Dia menyantap habis nasi goreng miliknya dan menyeruput es tehnya. Dia lantas berdiri, "duluan ya," ujar Rio lantas pergi.

Arghi yang sudah membuka mulutnya kembali mengatupkan bibirnya. Melihat kepergian Rio dan menatap Alvin. Target selanjutnya.

"Vin, lagi marahan sama Rio ya? Kok saling diam?" tanya Arghi. Alvin yang memang makannya lambat harus berhadapan dengan dua makhluk yang dilanda rasa penasaran.

"Kata siapa?" tanya Alvin bingung harus menjawab apa. Entah memang Rio juga marah kepadanya atau Rio ikut diam karena tahu dia tengah marah. Alvin tidak tahu kebenaran sikap Rio barusan, entah tengah menghindari pertanyaan itu atau ada urusan lain.

"Ye, kelihatan kali. Biasanya juga tuh Rio yang perhatian pake banget ke kamu. Tapi barusan malah kelihatan cuek. Kamu juga diam banget," jelas Arghi. Alvin mengedikkan bahu. Dia tidak melanjutkan makannya justru terus mengaduk nasi goreng yang ia pesan. Hari ini dia ingin makan nasi, tapi ternyata makan nasi bukanlah seleranya. Dia harusnya memesan mie ayam seperti biasa.

"Kalo gitu tanya Rio, ngapaian tanya aku. Aneh," jawab Alvin badmood. Arghi memandang Jofan mencoba bertanya tentang apalagi yang akan mereka bahas.

"Kamu udah kenyang?" tanya Jofan akhirnya. Dia melihat Alvin hanya terus mengaduk nasi goreng di piringnya. Tidak ada niatan untuk memakannya.

"Iya," jawab Alvin asal. Dia tentu belum kenyang, hanya saja sudah tidak nafsu makan. Alvin lantas mengambil gelas minumnya dan menyruput es tehnya. Alvin lantas berdiri, "ayo ke kelas!" ajaknya dengan wajah lesu.

"Nggak dihabisin? Kamu baru makan dikit lho," ucap Jofan mencoba membujuknya agar menghabiskan makan siangnya. Tapi, Alvin keras kepala dan melangkah begitu saja meninggalkan dua orang yang saling tatap.

Arghi dan Jofan lantas berjalan terburu-buru mengekor Alvin. Mereka sampai di kelas dan terlihat Rio sudah duduk di kursinya memainkan ponsel. Tidak melirik sedikitpun saat ketiganya sampai.

"Dari tadi di sini, Yo?" tanya Arghi penasaran. Siapa tahu Rio baru dari suatu tempat. Tetapi anggukan Rio menjawab pertanyaan Arghi, bahkan Alvin yang diam-diam meliriknya jadi tahu kalau Rio memang sengaja menghindarinya.

"Ayo main game!" ajak Arghi dan siap dengan ponselnya. Jofan mengikuti dan sudah masuk dengan kode undangan yang Rio berikan. Alvin tidak mau ikut dan memilih tiduran.

Rencana Arghi gagal untuk membuat keduanya saling mengobrol karena Alvin malah merebahkan kepalanya di atas meja. Mereka bertiga lantas mulai bermain game dan sesekali saling mengumpat. Setengah jam kemudian bel masuk berbunyi.

Rio menyelesaikan gamenya dan memasukkan ponselnya dalam saku celananya. Sedangkan Arghi masih tampak sibuk dengan ponselnya. Jofan berbalik melihat Alvin yang tampak masih terlelap, hendak membangunkannya. Tetapi, ternyata Alvin sudah lebih dulu bangun dengan wajah kusut khas bangun tidur.

Dia tampak meregangkan tubuhnya di kursi. Menguap sebentar dan semua itu tak luput dari penglihatan Jofan. Sampai kemudian Jofan menyadari Alvin mimisan.

"Vin, kamu mimisan!" ucapnya dan menunjuk hidung Alvin yang mengeluarkan darah merah pekat. Alvin yang belum sadar sepenuhnya mengusap filtrumnya. Merasakan basah pada punggung tangannya dan saat dia mengecek punggung tangannya, cairan merah itu menempel di sana.

"Eh ada yang punya tissue?" tanya Arghi melihat darah masih mengalir dari hidung Alvin. Rio hanya melihat ketiga temannya yang panik menangani mimisan.

"Ini Vin di lap!" Arghi panik dan memberikan tissue dari seorang siswi. Beberapa menoleh melihat Alvin yang mimisan dan ditangani dua temannya.

"Kok masih ngalir sih," keluh Arghi melihat Alvin terus mengusap darahnya yang keluar. Terlintas sebuah ide, "Vin dongakin kepalamu!" perintah Arghi yang langsung diikuti Alvin.

"Nunduk!"

Rio yang sedari tadi memerhatikan menekan kepala Alvin agar kembali menunduk. Alvin terkejut mendapat perlakuan seperti itu. Kepalanya pening karena gerakan kepalanya yang dipaksa menunduk dengan cepat. Tapi, dia tidak bisa berkutik saat Rio masih menekan kepalanya untuk tetap menunduk.

"Udah mendingan, Vin?" tanya Jofan melihat tissue kelima yang digunakan Alvin sudah tidak ada noda darah. Rio menarik tangannya dari kepala Alvin membiarkan Alvin memdongak menatap Jofan.

"Iya, udah nggak ada kan?" tanya Alvin meminta temannya melihat keadaannya. Jofan mengangguk melihat hidung dan filtrum yang memerah karena usapan tissue. Alvin melakukannya dengan kasar sampai itu memerah.

"Ini minum!" ujar Arghi. Entah darimana asalnya sebotol air mineral yang disodorkan Arghi kepada Alvin. Alvin meneguknya ragu-ragu. Berharap Arghi tidak sedang mengerjainya dan mengisi botol kemasan dengan air keran.

"Air darimana?" tanya Rio yang juga penasaran. Arghi tidak pernah membawa air mineral ke sekolah. Tidak mungkin itu miliknya sendiri.

"Wulan," jawab Arghi menunjuk siswi yang duduk di depan bangkunya. Rio ber-oh dan kembali duduk dengan benar.

"Makasih ya," ucap Alvin entah pada siapa.

"Santai aja," jawab Arghi. Dia mengembalikan air mineral tersebut pada siswi yang duduk di depannya. Mengucapkan terima kasih dan kembali sibuk main game. Jofan juga membuang sampah milik Alvin dengan senang hati. Padahal Alvin sudah mencegahnya, tapi lelaki bertubuh mungil itu memaksa dan pergi membuangnya.

"Makasih," ucap Alvin pada Jofan. Jofan mengacungkan jari jempolnya sebagai jawaban lantas membuka buku pelajarannya.

Alvin melirik Rio yang juga tampak sibuk dengan bukunya. Entah benar-benar membaca atau sekedar melihat gambar dari buku paket seni budaya. Rasanya canggung sekali duduk bersebelahan dengan Rio yang diam saja. Memang biasanya juga diam, tapi Alvin akan mulai mengajak Rio berbicara saat dia bosan.

Seorang guru seni budaya masuk ke kalas membuat Alvin merasa lega. Guru tersebut langsung memberikan tugas untuk minggu depan. Mereka diminta membuat karya dengan cat air di selembar kertas A3. Alvin mendengus mendengar tugas tersebut. Rio meliriknya sebentar karena terganggu dengan suara napas berat Alvin.

Begitu mengucapkan tugas tersebut, Pak Agus lantas keluar kelas membiarkan kelasnya kosong dengan pesan untuk menggunakan waktu kosong tersebut sebagai pencarian ide. Tapi, siapa yang peduli? Mereka lebih memilih menikmati jam kosong dengan gaya masing-masing.

"Ayo lanjutin!" ajak Arghi berbalik menghadap Rio. Rio menggeleng tidak mau main game. Dia sudah muak melihat ponselnya lama-lama. Alvin juga tampak tidak sehat setelah mimisan.

"Vin, nggak mau ikut ngegame?" tanya Arghi pada Alvin berharap siswa gila game tersebut mau bermain bersamanya.

"Nggak, mau tidur aja," jawab Alvin dan merebahkan kepalanya di meja. Rio juga sudah merebahkan kepalanya di meja membuat Arghi mengerucutkan bibirnya kesal. Tapi, Jofan segera mengajaknya bermain game bersama.

Alvin berbalik menatap Rio. Bukankah mereka memiliki sifat yang sama sejak kecil? Sama-sama egois dan enggan mengalah. Bedanya Rio menunjukkannya secara terang-terangan, berbeda dengan Alvin yang diam-diam memendamnya.