Bel pulang sekolah telah berbunyi lima menit lalu, Alvin dan Rio masih tinggal di UKS. Sekarang Alvin sudah tampak baikan meski tubuhnya tetap terlihat sangat lemas tak bertenaga. Rio dengan setia tetap menemaninya dan beberapa kali memberinya air minum. Para anggota PMR mengatakan untuk terus memberi air mineral agar tubuhnya kembali kuat dan tidak terjadi dehidrasi.
Arghi dan Jofan pergi ke ruang UKS menenteng tas milik kedua teman mereka sekaligus melihat keadaan Alvin. Saat masuk, terlihat Alvin yang berbaring menatap langit-langit ruangan sedangkan Rio duduk tenang di kursinya. Bahkan saat Arghi dan Jofan mulai mengobrol dengan Alvin, Rio diam saja dan malah sibuk dengan ponselnya.
Rupanya Rio tengah menghubungi teman basketnya yang juga bersekolah di SMA yang sama tapi beda kelas dan jurusan. Tujuan Rio berkirim pesan dengan temannya adalah untuk memintanya mengantar Arghi pulang ke rumah. Permintaannya jelas disetujui. Dia adalah siswa yang cukup disegani oleh rekan basketnya karena merupakan mantan ketua dan seorang pemain basket terbaik di sekolahnya.
["Aku di parkiran, tak tunggu."]
Begitulah isi pesan terakhir temannya -Anton- yang mengatakan lokasi dia berada. Rio manggut-manggut dan hanya mengirimkan emote jempol. Lantas menyimpan ponselnya di saku.
"Ayo pulang, kamu aku anter," ajaknya pada Alvin. Arghi menatapnya dengan tatapan horor. Tapi tidak bisa protes blak-blakan seperti kemarin merasa Alvin memang harus diantar pulang. Tidak mungkin membiarkan Alvin pulang sendirian menggunakan kendaraan umum.
"Kamu sama temenku, tenang saja," ujar Rio menatap Arghi untuk menjelaskan rencana baiknya. Arghi ber-oh dan bisa bernapas dengan lega. Setidaknya dia tidak benar-benar naik angkot dengan menggunakan helm.
"Tak bawakan," ujar Jofan pada Alvin yang hendak mengambil ranselnya. Dia tersenyum berterima kasih atas bantuan yang diberikan.
"Mau sekalian tak gendong?" cibir Rio tampak tidak senang atas kebaikan Jofan. Alvin meringis menatap Rio. Tentu saja dia bisa jalan sendiri.
"Nggak usah, Jo. Bisa sendiri kok," tanggap Alvin akhirnya menolak bantuan Jofan. Jofan hanya mengangguk dan memberikan ranselnya. Tidak menyangka Rio bisa seposesif ini kepada teman sekelasnya. Bahkan seorang saudara kandung saja tidak akan terlalu posesif seperti dia.
"Serius nih aku diantar pulang temenmu, nggak bohong kan?" bisik Arghi saat berjalan di sebelah Rio. Rio mengangguk dengan wajah kesal karena Arghi tidak percaya ucapannya. Arghi terkekeh melihat tatapan kesal itu lantas ngebirit lari ke depan berjalan bersama Alvin.
Rio ini sangat menakutkan. Meski dengan wajah yang terus tersenyum dia bisa sangat menakutkan saat menghapus senyumnya. Akhir-akhir ini laki-laki itu terus cemberut. Mungkin dalam fase pms yang parah. Arghi terkikik sendiri memikirkan seorang Rio menjadi perempuan dan tengah menstruasi.
"Oh itu Sila!" pekik Arghi melihat Sila baru saja masuk ke area parkiran. Rio yang mendengarnya segera menendang pantat Arghi tanpa ampun, membuat si empu meringis dengan tatapan protes.
"Diem, goblog!" desis Rio kepada Arghi. Alvin tersenyum melihat wajah memelas Arghi lantas menepuk-nepuk pundaknya agar bersabar. Salahnya sendiri yang berseru dengan suara keras, sampai-sampai membuat yang di sekitar melirik mereka.
"Sakit, pekok!" protes Arghi mempoutkan bibirnya kesal mendapat respon berupa kekerasan dari Rio. Selain wajahnya yang menyeramkan Rio juga memiliki tubuh yang ikut membuatnya semakin seram. Menggerakkan kakinya saja sudah membuat Arghi terasa terhempas ke udara. Kepalanya sampai terasa tertinggal di belakang karena pantat ditendang.
"Emm, aku duluan ya," pamit Jofan pada Alvin dan Arghi. Alvin mengangguk begitupun Arghi yang melambaikan tangan pada Jofan yang tampak berlari kecil dan memasuki sebuah mobil. Lantas balik melambaikan pada Arghi. Alvin tersenyum melihat Arghi sudah akrab dengan Jofan. Memang seharusnya seperti itu. Mereka teman sekelas jadi, harus akrab satu sama lain.
Sementara itu Rio di belakang mereka diam saja membiarkan kedua temannya berhubungan dengan orang aneh tersebut. Tidak bisa melarang mereka akrab dengan orang yang ia benci. Kebencian tanpa sebab itu semata-mata hanya karena sahabat kecilnya bisa langsung akrab dengan manusia aneh itu.
"Hei, bro!" sapa seorang siswa yang sudah sedari tadi menunggu di atas motornya. Dia mengisyaratkan pada Arghi untuk pulang dengan siswa yang tubuhnya tak kalah tegap dengan Rio, meski tetap saja tinggi badan Rio tak tertandingi.
"Tolong antar dia pulang, rumahnya deket sama rumahku. Hati-hati ya!" ucap Rio dan mendapat anggukan mantap dari Anton. Dia mengeluarkan motornya dan menstaternya. Mempersilahkan Arghi duduk membonceng. Meskipun dia tidak tahu malu, tetap saja saat berhubungan dengan orang baru dia akan langsung canggung.
Arghi menatap Rio kesal, gara-gara laki-laki itu dia harus membonceng orang asing. Benar-benar menyebalkan. Sedangkan yang ditatap sudah tidak peduli dan menyiapkan motornya. Alvin membonceng tanpa helm. Rio berkendara dengan kecepatan normal tidak mau mengebut karena Alvin tidak menggunakan helm.
"Rumahmu di sebelah sd kan?" tanya Rio memastikan penjelasan Alvin tadi di parkiran.
"Iya, di sebelah sd ada gang, nah rumahku masuk gang," jelas Alvin mengulang penjelasannya. Dia sudah meminta Rio menurunkannya di depan gang saja. Tapi Rio tidak mau mendengarnya dan masuk ke dalam gang.
"Bisa masuk kok."
Begitu ucapan Rio saat berada di depan gang. Dia berbelok masuk ke dalam gang. Dan dengan petunjuk Alvin, Rio dengan mudah mengantarnya sampai ke depan rumah.
"Makasih ya, mau mampir dulu nggak?" tanya Alvin kepada Rio. Rio menggeleng sembari sibuk memutar balik motornya. Rumah Alvin tampak dari luar seperti rumah asli jawa. Berdinding kayu bdan bahkan pintu utama rumah tersebut adalah kayu yang telah di desain mewah dengan tambahan ornamen pahatan kayu yang cantik.
"Nggak usah. Istirahat yang banyak, besok ada pelajaran olahraga."
Alvin mengangguk lantas mengucapkan hati-hati pada Rio dan dibalas anggukan. Rio pergi keluar gang meninggalkan rumah Alvin. Alvin masuk rumahnya setelah kepergian Rio.
Rio sampai di rumahnya dan melihat bundanya duduk menonton televisi bersama dengan kakaknya. Ide jahil terlintas di dalam benaknya. Dia mengendap masih dengan kunci di tangannya.
"DORRR!"
"Aaa! Astaga Rio!" pekik Devina merasa jantungnya hampir copot dikageti adiknya. Bunda Ica tertawa melihat tingkah dua anaknya yang tidak pernah akur. Entah sang kakak yang menggoda atau pun sebaliknya. Mereka terus membuat keributan kecil saat bertemu. Benar-benar kekanakan.
"Idih kagetan amat. Jangan-jangan kak Ina tuh sebenernya tikus wirok yang nyamar jadi orang," tanggap Rio dan menggantungkan kuncinya. Bunda Ica geleng-geleng kepala mendengar ejekan Rio.
"Enak aja!" desis Devina tidak setuju dengan ejekan Rio.
"Coba buktiin kalo bukan wirok!" ucap Rio masih ingin jahil. Bunda Ica diam saja melihat pertengkaran mereka.
"Ya ini masih idup nggak langsung mati kayak wirok!" tegasnya dengan wajah kesal. Rio tertawa keras-keras melihat wajah bete kakaknya. Dia melepas sepatunya dan meletakkan di rak sepatu. Berjalan menuju kamar.
"Lho Rio nggak pulang bareng Arghi?" tanya bunda Ica ingat sesuatu. Pagi tadi dia minta putranya berangkat bersama si anak tetangga. Tapi, kenapa dia tidak mendengar suara Arghi tadi?
"Dia dianter temen Rio, Rio antar Alvin. Dia sakit," jelas Rio sebelum masuk kamar. Dia membuka pintu kamar dan membiarkannya terbuka.
"Alvin?" tanya bunda Ica tidak ingat ada teman Rio bernama Alvin.
"Temen waktu tk," jelas Rio dari dalam.
Bunda Ica mengangguk baru ingat siapa itu Alvin. Mereka bertetangga saat Rio masih kecil tapi begitu lulus tk mereka pindah rumah membuat Rio sempat menolak sekolah sendirian. Itu teman dekat Rio semasa kecil ternyata bisa kembali bertemu saat sudah SMA.
"Satu sekolah lagi?" tanya bunda Ica penasaran.
"Iya, tapi dia pindah rumah ke rumah neneknya," jawabnya dan mengganti baju. Dia menutup pintu untuk berganti celana dan keluar dengan pakaian santai.
"Lho nggak tinggal sana orang tua dia?" tanya bunda Ica. Dia sudah tidak lagi fokus menonton televisi. Ingin tahu cerita teman sekolah Rio.
"Nggak tahu juga, belum cerita apa-apa," jelas Rio dan bergabung bersama dua perempuan di depan televisi. Mereka menonton film keluarga Home Alone. Itu film kesikaan Rio. Entah kenapa film tersebut tidak pernah membuatnya bosan meskipun telah ditonton puluhan kali sejak ia masih kecil. Mungkin karena bagian jenaka yang membuatnya ikut tertawa. Selera humor yang sama.