"Rio, cepet bangun! Kamu sudah terlambat!"
Rio yang masih mengantuk terpaksa membuka matanya untuk bangun dari tidurnya saat mendengar suara bundanya yang tepat ada di sebelahnya sembari mengguncang tubuhnya. Belum lagi sinar matahari yang masuk melalui celah jendela membuat matanya terasa sangat silau dan tidak nyaman. Dia kelelahan karena semalaman harus mempelajari materi yang mungkin hari ini akan ia terima. Bundanya yang menyuruhnya belajar. Dengan antusias menyiapkan makanan ringan dan segelas susu cokelat di meja belajar Rio. Mengatakan bahwa mulai malam itu Rio harus belajar dengan rutin sebelum tidur.
Itu semua gara-gara Arghi yang asal ceplos mengatakan dia biasanya belajar sebelum tidur. Karena hal itu, bundanya bersemangat memintanya belajar agar bisa pintar seperti Arghi. Rio yang sebenarnya jenius tidak masalah diminta belajar, tapi si sialan itu mengatakan dia biasa belajar sampai tiga jam sebelum tidur. Sebenarnya Rio bukan lelah karena harus belajar, melainkan dia lelah karena harus duduk di kursi belajar lengkap dengan bundanya yang mengawasinya setiap menit. Arghi sialan.
"Lima menit lagi, Bund. Masih ngantuk," ujar Rio meminta perpanjang waktu mengumpulkan nyawa dan tenaga. Bunda Ica menggeleng menolak keras permintaan Rio dan menarik selimut putranya lantas menjauhkan benda hangat tersebut dari Rio. Rio berdecak tapi tidak bisa berbuat hal lain, selain bangun dari tidurnya dan segera pergi mandi.
Bunda Ica tersenyum senang karena berhasil membuat putranya bangun segera. Dia lantas mulai membereskan kasur putranya dan turun ke bawah untuk menghidangkan sarapan untuk sang suami dan anaknya. Si sulung –Devina– sudah duduk bersama suaminya ruang makan bersama dengan ayahnya. Tinggal menunggu bungsu keluarganya yang baru saja bangun tidur.
"Lelet dasar!"
Begitu sampai di ruang makan Rio mendapat protesan dari kakaknya. Dia mencibir tidak terima dikatai lelet. Bukan dia yang membuat pagi ini bangun kesiangan. Salahkan Arghi yang berteori asal tentang belajar. Mana ada orang belajar tiga jam sebelum tidur.
"Kamu berangkat sama Arghi ya. Jemput dia ..." pinta bunda saat Rio memakai sepatunya. Alis Rio bertaut meminta penjelasan. Untuk apa dia menjemput manusia sialan itu? Bunda Ica menabok punggung putranya, "kan satu komplek, biar sekalian aja berangkat bareng."
Rio sudah tidak bisa menolak perintah bundanya. Jadi, dengan wajah tertekuk parah dia melajukan motornya pergi ke rumah Arghi. Rumah Arghi sangat besar bahkan pagarnya saja sangat panjang membuat perjalanan Rio terasa seperti melewati dua rumah. Rio berhenti di depan gerbang rumah yang tertutup rapat. Gerbang hitam yang menjulang tinggk. Alasan Rio tidak pernah bertemu Arghi sebelumnya adalah karena dia pikir rumah besar ini tidak ada yang menempati. Selalu sepi dengan gerbang yang tertutup.
Arghi masih memakai sepatunya dengan sandwich di mulutnya. Matanya terkejut melihat kehadiran Rio di depan gerbang rumahnya. Dia segera menyelesaikan kegiatannya memakai sepatu dan berlari ke garasi mengambil untuk helm miliknya. Membuka pagar terburu-buru lantas membonceng dengan gembira. Rio diam saja melihat tingkah absurd Arghi, wajahnya semakin pasrah saat ingat satu tahun kedepan akan terus melihat Arghi.
"Cuacanya bagus nih," gumam Arghi sembari mengenakan helmnya. Rio menjalankan motornya menuju ke sekolah. Membiarkan Arghi di belakangnya menikmati menu sarapannya yang sederhana. Meskipun sandwich tampak mahal, bagi Rio makanan itu tidak semewah sarapannya. Nasi dengan lauk pauk melimpah dan sangat mengisi perut, bukan hanya mengganjal perut.
"Eh Yo! Itu bukannya cewek yang kemarin ya?" tanya Arghi saat motor Rio berhenti karena lampu merah. Jalanan cukup lengang saat mereka berhenti. Jadi, tanpa kesulitan Rio dapat menemukan perempuan yang dimaksud Arghi. Rio mengulas senyuman tipis melihat gadis pujaan hatinya berada tak jauh dari tempatnya. Bahkan melihatnya dari jarak sejauh ini saja Rio sudah sangat gugup. Dengan salah tingkah dia mengalihkan tatapannya turun ke jalanan aspal.
Tin!
Tin!
Suara klakson membuyarkan lamunan Rio. Tanpa basa-basi dia menarik gas membuat Arghi di kursi penumpang tersentak kaget.
"Masih merah, masih merah!" pekik Arghi dan hampir terjungkal mencium aspal karena Rio menjalankan motor dan mengerem secara mendadak. Posisi mereka menjadi di sebelah pengendara scoopy. Gadis yang disukai Rio menatap terkejut namun kemudian mengulas senyuman manis. Rio mengalihkan tatapannya segera dengan pipi bersemu merah. Sial. Dia malu sekali.
"Kak," sapanya dengan suara yang sangat ramah. Rio pura-pura memperbaiki helmnya karena gugup dan hanya membalas sapaan tersebut dengan anggukan patah-patah. Lidahnya kembali kelu. Seperti saat pertama bertemu, Rio hanya bungkam.
Arghi di kursi penumpang hanya bisa geleng-geleng kepala menjadi korban salah tingkah seorang Rio. Dia tersenyum saat siswi tersebut menatapnya juga lantas menyapanya tak kalah ramah. Mungkin berpikir dia juga salah satu kakak kelasnya.
Rio tacap gas begitu lampu berubah hijau. Arghi sekali lagi terkejut dan berpegangan pada ransel Rio dengan erat. Pagi-pagi jantungnya sudah harus bekerja ekstra. Rio sialan.
Begitu sampai di parkiran sekolah, Arghi turun dan melepas helmnya dengan tampang kesal. Kerongkongannya terasa kering karena makan tanpa minum, jantungnya berdebar tidak karuan, belum lagi respon tubuhnya yang gemetar.
"Kalo salting yang ngotak dikit dong! Saltingmu itu lho hampir bunuh aku, sialan!" omel Arghi pada Rio yang tengah melepas helmnya dengan wajah santai.
"Bagus dong, apalagi kalo langsung mati," ujar Rio membuat Arghi naik pitam. Pagi-pagi sudah emosi, kepalanya pening seketika. Saat hendak kembali protes Rio sudah turun dan mendorongnya agar memberinya jalan. Melangkah dengan kaki jenjangnya menuju ruang kelas, tidak peduli pada Arghi yang kebakaran jenggot.
"Kampret emang!" umpat Arghi dan berjalan mengentak mengikuti Rio. Sampai di kelas Alvin sudah duduk dan tengah mengobrol dengan Jofan. Rio yang sudah badmood karena Arghi menjadi semakin badmood melihat sahabatnya akrab dengan orang aneh.
Sejak kecil dia tidak pernah berbagi kepada siapapun. Termasuk saat memiliki sahabat dia tidak akan pernah suka saat sang sahabat akrab dengan orang lain. Posesif. Dia duduk dengan wajah tidak bersahabat. Jofan yang melihat kehadiran Rio segera mengakhiri pembicaraannya dengan Alvin.
"Kenapa? Pagi-pagi udah asem banget tuh muka," tanya Alvin melihat sahabatnya duduk dengan wajah tertekuk sesal. Arghi sampai dengan napas tersenggal karena memaksakan diri mengikuti langkah jenjang Rio. Dia lantas segera mengambil duduk di sebelah Jofan seperti kemarin. Rio sudah seperti titan saja.
"Nggak apa-apa," jawab Rio ketus. Apalagi melihat kedatangan Arghi membuatnya berlipat-lipat kesalnya. Alvin yang melihat mood temannya buruk pagi ini diam saja. Sudah lama dia tidak bertemu Rio tapi sifat Rio masih sama sejak terakhir mereka bertemu 9 tahun lalu.
"Yo, nama cewek itu Sila," ujar Arghi tidak tahu suasana hati Rio yang hancur. Rio meliriknya sekilas dan kembali fokus pada ponselnya. Diam-diam dia mengingat nama itu. Entah Arghi hanya mengarang saja atau memang namanya Sila.
"Ar," ujar Alvin melihat Arghi sudah akan membuka mulut. Dia memperingati Arghi untuk tidak mengganggu Rio terlebih dulu. Rio bisa bertambah marah kalau ternyata yang membuatnya badmood pagi ini adalah Arghi. Melihat kemarin mereka selalu bersiteru membuat Alvin menebaknya demikian. Arghi menutup bibirnya dan urung menggoda Rio. Memang wajah Rio sudah terlihat kesal sejak pertama bertemu. Arghi kira Rio bukan ornag pemarah karena dia selalu tersenyum tiap saat. Sosok ramah. Entahlah Arghi tidak mengerti bagaimana mendeskripsikan Rio.