Hari pertama sekolah setelah libur dua bulan membuat jalanan di Yogyakarta padat. Jalanan yang baru saja kemarin terasa sedikit lengang karena hanya digunakan para pekerja kini kembali penuh sesak. Klakson dibunyikan berkali-kali tanpa rasa sabar saat lampu lalu lintas berubah hijau. Ketidak sabaran para pengguna jalan membuat masalah baru bagi polisi yang pagi itu bertugas. Mereka harus ekstra sabar menghadapi ulah pengguna jalan yang semena-mena menggunakan jalanan beraspal. Menggeberkan kuda besi tanpa sopan dan membunyikan klakson tiada henti. Cukup membuat sakit kepala.
Diantara padatnya kendaraan di jalanan tampak seorang murid berseragam SMP bertubuh tegap dengan rambut potongan 1-2-1 menaiki motor meticnya. Dia menyalip kanan-kiri dengan lincah mencoba mencari celah agar terhindar dari kemacetan. Di belakangnya seorang siswa lain duduk membonceng dengan wajah tegang. Dia adalah tetangganya yang akan menjadi teman satu angkatan bahkan satu sekolah dengannya.
"Santai aja, Yo! Daripada nanti nabrak polisi!"
Peringatan dari si penumpang tidak diindahkan oleh Rio. Siswa dengan bernama Rio itu tampak tetap gaspol menyalip kendaraan lain. Alis tebal yang menaungi mata tajamnya tampak membara ingin mengakhiri perjalanan paginya. Hal itu cukup membuat si penumpang –Arghi– hanya bisa geleng-geleng kepala dan berpegangan kencang pada ransel Rio. Dia hanya takut mati, itu saja.
Tidak akan lucu kalau di hari pertama sekolahnya di SMA malah akan menjadi sebuah mala petaka untuknya. Bisa saja Rio membuatnya masuk berita di televisi atau surat kabar. Dengan tagline "seorang siswa baru tidak sampai ke sekolah dan memilih sampai ke akhirat". Sangat tidak lucu.
Tapi mau bagaimana lagi? Dia dengan ceroboh memasrahkan hidupnya pada tetangganya. Tetangga yang baru ia kenal kemarin padahal sudah lama tinggal berdampingan. Alasannya sederhana, dia tidak mau naik motor sendiri. Bukan karena dia takut dengan jalanan yang ramai, hanya saja kalau ada yang praktis kenapa harus ribet.
Setelah melalui perjalanan yang panjang, akhirnya mereka sampai di sekolah dengan selamat. Arghi sampai mengelus dadanya mengucapkan rasa syukur karena Tuhan memberikannya kesempatan untuk hidup. Sedangkan Rio mengernyit heran melihat tetangganya yang tampak mengelus dada dengan mata terpejam. Aneh.
"Makasih ya, Bro! Nanti pulangnya aku nebeng lagi!" seru Arghi tak tahu malu dan meninggalkan Rio di parkiran. Rio yang kesal dengan kelakuan Arghi diam saja, enggan untul membalas seruan dari Arghi. Lihat saja nanti, akan dia buat menyesal karena berani melengos dan bersikap seenaknya kepadanya.
Rio terkekeh berjalan di belakang Arghi. Arghi berjalan dengan gugup, merasa diperhatikan orang-orang sekitar sejak keluar parkiran. Rasanya benar-benar gugup tapi dia mencoba percaya diri. Kepalanya terangkat dan kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. Sudah mirip adegan di serial remaja yang ia tonton. Heheh .... Mereka pasti terpesona melihatnya bersekolah di sekolah yang sama dengan mereka. Seorang maestro musik bersekolah di sekolah swasta yang emt .... tidak cukup terkenal(?) Bukankah sebuah keajaiban. Tapi, dia bukan orang sombong. Jadi, ia sempatkan diri untuk tersenyum ramah menyapa siapa saja yang menatapnya.
Anehnya, pandangan orang-orang di sekitar justru semakin buruk menatapnya. Ditambah bumbu-bumbu bisikan seusai ia sapa. Apakah dia setampan itu? Atau apakah dia sepopuler ini sampai membuat mereka mengenalnya dengan cepat? Ah ... pasti karena perlombaannya di luar negeri yang disiarkan langsung di televisi lokal sehingga membuatnya sepopuler ini.
Sementara itu, di belakangnya Rio berjalan membuntuti Arghi. Dengan jahil memberi gerakan tubuh menyilangkan kedua tangannya dan menunjuk Arghi di depannya. Mengisyaratkan "dia orang gila" dan membuat beberapa siswa terkikik dan semakin keras berbisik membicarakan Arghi. Yang dibicarakan terus saja berjalan dengan kepala terangkat. Tampak tidak terusik dan lebih terlihat tidak tahu diri.
Karena ini hari pertama sekolah, koridor jadi penuh sesak oleh siswa baru dan membuat Arghi dipandang banyak orang karena berpenampilan terlalu nyentrik. Rio tidak berniat memberitahu apa yang dipikirkan orang-orang pada Arghi. Biarkan saja sampai si empu sadar sendiri.
"Rio!" panggil seseorang diantara kerumunan murid baru, karena ini ada di koridor ruang kelas 10. Rio celingukan mencari keberadaan orang yang baru saja memanggilnya dan menemukan sebuah tangan melambai heboh. Alis Rio mengernyit mencoba mengingatnya. Tapi, seingatnya dia tidak mengenal orang tersebut.
Sampai akhinya Rio berhenti di dekat siswa dengan senyum lebar itu dia masih belum ada ide siapa orang tersebut. Bahunya sekarang ditepuk. Dia menoleh menemukan Arghilah sang pelaku penepukan bahunya.
"Siapa?" tanyanya tanpa malu. Rio menahan gelak tawanya melihat wajah polos Arghi ditambah ekspresi sok tampan yang pebih tepat disebut sebagai ekspresi centil. Laki-laki tidak tahu malu yang memalukan.
"Ini Rio kan?" tanya siswa tersebut memastikan, tampak tidak yakin karena respon Rio. Rio mengangguk membenarkan dan kembali mengamati wajah tersebut. Kemudian siswa itu menurunkan sedikit tali ranselnya menunjukkan name tag di seragamnya. Rio membacanya dan membulatkan matanya.
"Oh, Alvin!" pekik Rio bersemangat karena bisa bertemu teman masa kecilnya. Sebuah keajaiban bisa bertemu kembali dengannya. Setelah sembilan tahun tidak bertemu dan tanpa kabar sekarang akhirnya bisa kembali bertemu. Rio dan Alvin saling berpelukan seperti dua saudara yang lama tak berjumpa. Arghi menatap keduanya dengan tatapan iri dengki. Dia juga ingin menjadi akrab dengan seseorang di hari pertama sekolah. Padahal sedari tadi dialah bintang yang ditatap seluruh orang, kenapa malah Rio yang mendapat teman baru.
"Hei Alvin, kenalin aku Arghi. Nama lengkapnya Arghian, iya emang sepanjang itu," ujar Arghi dengan wajah penuh percaya diri. Dia menjabat tangan Alvin dengan senang. Tapi, Alvin hanya menatap aneh padanya dan beralih menatap sahabat kecilnya. Rio yang ditatap segera mengangkat bahu sembari menahan gelak tawanya.
"Eh iya, salam kenal. Em ... Itu bisa dilepas dulu!" Ujar Alvin dengan tidak enak hati mengingatkan makhluk bernama Arghi. Arghi yang sudah hendak mendekap Alvin sok akrab segera menunjukkan ekspresi keheranan. Apanya yang harus ia lepas? Alvin nyengir kuda merasa Arghi belum sadar, lantas malu-malu menunjuk kepala Arghi.
"Astaga! Rio!" pekik Arghi begitu syok saat tangannya meraba kepalanya yang dan rupanya masih terpasang helm bahkan dengan kaca helm masih dalam keadaan menutup wajah. Rio yang sedari awal menahan gelak tawanya, segera menyemburkan semua yang tertahan di ujung tenggorokannya. Alvin dalam situasi tidak nyaman untuk tertawa keras-keras karena baru kenal dan hanya merespon dengan senyuman pepsodent. Beberapa siswa ikut tertawa menyaksikan pertunjukan komedi dari Arghi di pagi hari. Setidaknya karena Arghi mereka jadi tidak terlalu canggung dan dengan mudah mengakrabkan diri. Tentu karena mereka menemukan topik ghibahan yang panas.