Chereads / My Mind [IDN] / Chapter 3 - PLS

Chapter 3 - PLS

Sebanyak tiga orang berjas merah dengan corak hitam kuning masuk ke dalam ruang kelas 10 MIPA-2. Satu orang laki-laki di belakang mengawasi sedangkan dua orang laki-laki lainnya memimpin kegiatan di ruang kelas. Mulai dari berdoa sampai akhirnya mereka melakukan cek kelengkapan seragam. Beberapa siswa yang tidak lengkap harus berdiri di depan kelas untuk nantinya diinterograsi. Alvin dan Rio selamat dari pemeriksaan itu, seragam keduanya lengkap. Arghi juga lolos pemeriksaan setelah cukup lama diperiksa karena Arghi lupa menaruh topi yang ternyata masih ada di dalam tas. Tapi, sayangnya teman yang duduk di sebelah Arghi diminta maju ke depan.

Rio menatapnya dalam diam sama seperti siswa lainnya. Rio suda menebak pasti karena hodie yang dipakai. Tentu hal tersebut dilarang digunakan di dalam ruang kelas bahkan di lingkungan sekolah saja tidak diperbolehkan. Untuk apa menggunakan hodie kalau sudah pakai seragam. Teman sebangku Arghi tampak cocok dengan Arghi. Sama-sama aneh.

"Kamu kenapa pake hodie di kelas? Cepat lepas!" Perintah sang panitia tampak tidak suka melihat adik kelasnya bandel. Tetapi, siswa tersebut tidak bergeming. Masih berdiri diam tanpa ada niatan untuk melepas hodie yang ia pakai.

"Cepat lepas!" Perintah panitia lain yang sudah gemas melihat siswa tersebut. Mereka tampaknya mulai menunjukkan taringnya sekarang saat dipancing. Rio sudah tidak heran lagi dengan gaya senior yang sok galak.

"Lagi nggak enak badan, Kak," ujar siswa tersebut beralasan. Hal tersebut cukup membuat Rio tertarik untuk mendengarnya. Dia fokus memperhatikan siswa yang terus menunduk tapi tampak tidak takut sedikit pun saat melakukan perlawanan.

"Siapa nama kamu?" tanya kakak kelas lainnya yang sejak awal berada di area belakang dan baru selesai mengecek kelengkapan siswa di kelas. Semua sudah di periksa. Bahkan yang tadi maju sudah duduk semua, tinggal dia yang tersisa.

"Jofan."

"Jofan cepet lepas hodie kamu! Hitungan tiga atau kamu akan dapat hukuman!" tegasnya. Dari raut wajahnya tampak tidak main-main akan ucapannya. Entah hukuman seperti apa yang akan diberikan tapi kedengarannya itu hal yang buruk.

"Satu ..."

"Dua ..."

"Tiga ..."

Dengan gerakan lambat dia melepasnya tepat dihitungan ketiga. Memperlihatkan seragam lengkapnya tanpa kekurangan. Meskipun wajahnya tampak pucat tapi dia terlihat baik-baik saja. Bukan orang yang menderita demam atau sakit perut.

"Tangan kamu kenapa?" tanya kakak kelas yang kemudian maju ke depannya. Seisi kelas memusatkan perhatiannya pada Jofan. Penasaran dengan tangannya.

Lantas jawaban berbisik yang tidak didengar oleh siswa lainnya. Bahkan panitia tersebut sampai mendekatkan telinganya untuk mendengar jawaban kedua. Kemudian panitia tersebut membisikkannya kepada rekannya. Pembicaraan mereka yang sayup-sayup terdegar begitu serius dan membuat seisi kelas terdiam seribu bahasa. Rasanya penasaran tapi tidak bisa bertanya karena bukan kepentingan mereka.

"Ayo ikut!" ucapnya kemudian melangkah keluar kelas setelah sebelumnya tampak memberi gelagat berpamitan pada panitia lain di belakang. Rio penasaran, siswa lain tak kalah penasaran. Apa yang terjadi sampai Jofan dibawa keluar?

Setelah mereka keluar panitia di belakang berjalan ke depan dan segera dibisiki sesuatu oleh panitia lainnya yang tadi berunding. Lantas mereka mengalihkan perhatian seisi kelas dengan sesi perkenalan. Mereka lebih dulu memperkenalkan diri. Dari situ Rio tahu bahwa panitia yang selalu di belakang tadi adalah sang wakil ketua osis periode sekarang. Pantas saja tampak disegani.

Kemudian beralih ke sesi perkenalan peserta PLS. Saat giliran Arghi maju untuk perkenalan bisik-bisik sudah mulai terdengar. Tampaknya mereka ingat kekonyolan Arghi pagi ini. Benar-benar helm tersebut memberi kesan buruk sejak awal.

"Perkenalkan namaku Arghian, biasa dipanggil Arghi atau kalau mau yang istimewa bisa dipanggil An," ujarnya dengan tingkah centilnya padahal suasana kelas sudah tidak stabil karena menahan tawa mengingat moment konyol beberapa menit lalu. Bahkan mendengar ucapannya itu seisi kelas menyoraki bahkan panitia membuang wajah dan tertawa merasa muak dangan kenarsisan Arghi. Arghi tidak terpengaruh, "alamat rumahku di perumahan Panca Sakti, siapa tahu ada yang mau mampir. Kalau mampir jangan lupa bawa tentangan ya ... apa ada yang mau bertanya? Tanya sewajarnya ya jangan tanya mau nikah kapan," ucapnya lagi dan mendapat sorakan makin keras. Panitia tidak tahan dengan tingkah centil Arghi. Apalagi Rio yang sudah geleng-geleng kepala dan pura-pura tidak mengenalnya. Sementara itu, Alvin tampak biasa-biasa saja mendengar ucapan ngelantur Arghi di depan. Dia tersenyum tipis.

"Mau tanya, kenapa tadi pake helm ke kelas?" tanya seorang siswi yang disambut gelak tawa lainnya. Momen ikonik itu sepertinya akan terus membekas sampai mereka reunian. Arghi tampak memandang ke atas berpikir dengan wajah menahan malu. Lubang hidungnya bahkan sudah kembang kempis menahan rasa malu yang menohoknya.

"Sebenarnya, aku melindungi kalian. Kenapa? Karena wajahku terlalu tampan, bisa-bisa kalian pingsan kalo langsung lihat aku, jadi lebih baik aku sembunyikan," jawabnya setelah berpikir lama. Bahkan dengan wajah merona malu saja dia masih bertahan dengan kecentilannya. Rio membuang muka enggan merasakan mual berlebihan melihat wajah percaya diri di depan sana. Bukan percaya diri sebenarnya lebih tepatnya tidak tahu diri.

Kelas ramai sampai Arghi kembali ke kursinya dengan senyumannya yang lebar. Hampir merobek pipinya sendiri saking lebarnya. Rio pura-pura tidak melihatnya dan cuek. Cukup malu mengenal seseorang seperti Arghi. Giliran Rio maju para siswi bersorak melihat tubuh tegap Rio.

"Perkenalkan, aku Rio."

Semua dibuat melongo dengan ucapan perkenalan itu. Paling singkat tapi tetap membuat histeris kaum hawa. Mereka menganggap itu sangat keren dan benar-benar menyegarkan mata serta telinga. Seindah itu ciptaan Tuhan. Benar-benar beruntung bisa satu kelas dengan Rio. Rio sebentar lagi pasti akan populer dan dijadikan bahan haluan satu angkatan bahkan bisa jadi satu sekolah. Setampan itu.

"Ada yang ingin ditanya?" tanya sang panitia menyeret kesadaran para siswi yag masih saja histeris. Rio diam saja melihat wajah merona para siswi atau seruan iri para siswa yang tersaingi. Kasihan sekali mereka. Dengan wajah pas-pasan harus bersanding dengan pangeran setampan Rio. Tapi, Rio bukan Arghi yang narsis. Dia tahu wajahnya ini bukan hal yang bisa dibanggakan, jadi dia diam saja. 

"Rio makannya apa kok bisa ganteng banget?" tanya siswi yang tampak cari muka.

"Nasi," jawabnya singkat. Rio paling tidak suka sesi perkenalan. Hampir semua laki-laki selalu tidak suka dengan acara ini. Kecuali Arghi yang tampak menikmatinya. Ah, memang Arghi itu satwa langka yang baiknya dimusnahkan saja.

"Rio hobinya apa?" tanya lainnya dengan suara tak kalah imut.

"Olahraga," ujarnya lagi-lagi dengan jawaban singkat. Sesingkat itu tapi berhasil membuat gaduh seisi kelas. Arghi di kursinya mengerucutkan bibir merasa kalah oleh Rio. Sudah lelah-lelah dia semalaman memikirkan perkenalan yang menarik, eh ... kalah begitu saja oleh perkenalan tidak jelas dari seorang Rio. Benar-benar hari sial. Ditambah dia harus duduk dengan siswa yang bermasalah di hari pertama sekolah. Lengkap sudah penderitaannya.

Rio kembali ke kursinya bersamaan dengan Jofan yang baru kembali dari luar. Dia tampak langsung duduk di kursinya tanpa mengucapkan sepatah katapun. Alvin maju untuk perkenalan diri di depan.