"Iya, aku baru saja pulang dari kelas. Hm, hari ini sangat melelahkan, Angga. Aku iri karena kau tidak perlu menghadiri kelas di kampus hari ini karena dosenmu tidak datang," kata Dinda di dalam teks yang dia kirimkan untuk Angga, tidak bisa berhenti tersenyum.
Dia bisa merasakan pipinya memerah dan menunduk menatap tangannya sendiri seolah agar Angga tidak melihatnya. Padahal Angga kan tidak ada di depannya saat ini.
Tapi kalau diingat lagi, bukankah pertemuan Dinda dengan Angga seperti sebuah takdir? Mereka bertemu dan saling nyambung saat bekerja di kafe yang sama. Lalu setelah berkenalan ternyata mereka juga mengemban pendidikan di kampus yang sama, dan bahkan satu angkatan. Lalu di kafe itu, mereka saja yang seumuran. Seolah semesta menciptakan mereka untuk dipertemukan.
Dan entah kenapa Dinda sangat yakin akan ada akhir yang indah untuk mereka, sebuah jalan cinta yang sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata.