"Kamu tidak akan disuntik Jessy, tenang saja." ucap kakak kedua Jessy meyakinkan adiknya bahwa Jessy tak akan disuntik oleh Dokter, ia berani menjamin itu.
"Iya walaupun tidak disuntik, tetap saja Jessy tidak mau dipanggilkan Dokter kak, Jessy sudah baik-baik saja, tidak ada yang sakit."ucap Jessy meyakinkan kedua kakaknya, ia menatap kedua kakaknya secara bergantian, berharap jika kakaknya percaya apa yang ia katakan.
"Baiklah, kakak tidak akan memaksamu, dasar adik keras kepala. Aku tidak paham kenapa aku bisa memiliki adik sekeras kepala kamu Jessy." ucap kakak sulung Jessy sambil menggeleng-gelengkan kepalanya pelan.
Jessy hanya nyengir kuda tanpa rasa berdosa sama sekali menatap kakak sulungnya.
Angga diam, tidak berbicara jika tidak diajak bicara. Jujur saja Angga merasa canggung berada di situasi ini, namun mau bagaimana lagi? Ia memang harus terjebak disini bersama keluarga Jessy.
Angga memutar otaknya, mencari alasan agar ia bisa pamit dari ruangan Jessy namun dengan cara yang sopan, agar namanya tetap baik di depan keluarga Jessy. Seketika Angga mendapatkan ide cemerlang dari kepalanya.
"Om, Tante, Kakak karena sekarang sudah ada yang menjaga Jessy… Angga pamit ke kost dulu ya karena dari kemarin Angga belum sempat pulang ke kost. Nanti sebelum Angga berangkat kuliah Angga mampir kesini lagi untuk jenguk Jessy." ucap Angga tersenyum ramah pada semua keluarga Jessy, berharap cara ini bisa membebaskannya kali ini. Ia juga sudah keringatan, tidak kuat, ia belum mandi dari sejak kemarin. Bisa kah kalian membayangkan bagaimana bau badan Angga sekarang? Pastinya berbau tidak sedap.
"Oh iya nak Angga silahkan, sekali lagi terima kasih dan maaf karena sudah merepotkan nak Angga dari kemarin. Nanti main-main kerumah Jessy ya nak Angga, bila perlu ajak juga nak Radit, agar Jessy punya teman lain selain nak Radit." ucap Ibu Jessy tersenyum ramah pada Angga. Bagaimana tidak ramah, keluarganya berhutang nyawa Jessy pada Angga.
"Siap tante, nanti Angga main-main ke rumah Jessy. Kalau begitu Angga pamit sekarang ya Om, Tante, Kakak…" ucap Angga dengan sopan mengatakan itu. Ia merasa tidak enak jika perkataannya tidak berkenaan di hati keluarga Jessy. Keluarga Jessy memperlakukannya dengan baik, tentunya ia harus berbuat yang sama terhadap keluarga Jessy juga.
"Iya nak Angga hati-hati ya ." kini giliran Ayah Jessy yang bersuara dan tersenyum menatap Angga. Tak ada yang bisa ia berikan selain senyuman manis pada laki-laki yang telah menolong putrinya hingga bisa diselamatkan. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hatinya jika sampai harus kehilangan Jessy. Jessy adalah satu-satunya putri yang ia punya, dan Jessy adalah anak yang penurut.
Angga hanya mengangguk kecil dan tersenyum menatap semua keluaraga Jessy. Angga lalu berbalik badan dan berjalan menjauh dari tempatnya berdiri tadi. Tanpa menoleh kebelakang lagi Angga langsung membuka pintu ruangan VVIP Jessy dan keluar, lalu menutupnya kembali dengan pelan.
Ketika sudah di depan pintu ruangan Jessy dengan membelakanginya, Angga menghembuskan nafasnya lega, akhirnya ia bisa keluar dari ruangan Jessy dengan selamat, dengan anggota tubuh yang masih utuh semua. Ini pertama kalinya Angga merasa bahwa dirinya seberharga itu di mata seseorang, Angga belum pernah merasakan ini sebelumnya. Mendadak ia merasa bahwa sekarang dirinya menjadi super hero di mata keluarga Jessy.
***
Sesampainya Angga di kostnya, ia menaruh motornya di parkiran kost. Angga mengusap wajahnya yang masih terasa mengantuk, Angga menguap beberapa kali tanda bahwa dirinya memang sedang sangat mengantuk dan butuh istirahat lebih banyak karena semalaman ia tidur di rumah sakit, seorang diri menjaga Jessy yang belum sadar. Syukurnya sekarang Jessy sudah sadar dari pingsannya, dan untungnya keluarga Jessy sudah datang, sehingga Angga bisa pulang dan tidur.
Ketika Angga hendak berjalan menuju kamarnya, tak sengaja ia berpapasan dengan Radit yang baru saja keluar dari kamarnya. Ia mengurungkan niatnya untuk masuk kamar, Angga menatap Radit yang juga sedang menatapnya, namun kali ini berbeda, raut wajah Radit seperti sedang memancarkan kesedihan. Ada apa dengan Radit? pikir Angga di dalam hatinya, sambil bertanya-tanya. Karena baru pertama kalinya ia melihat Radit sesedih itu. Biasanya Radit selalu bisa mengontrolnya dan selalu ceria. Di dalam kamus Radit tak ada kata sedih, namun kenapa kali ini Radit bersedih?
Angga memutuskan untuk mendekati Radit terlebih dahulu dan memanggilnya, ia berniat mengajak Radit mengobrol atau sekedar menghibur Radit. Seketika rasa kantuk Angga menghilang begitu saja, digantikan oleh rasa khawatir. Ada apa dengan Radit? Apakah Radit sedang ada masalah sehingga membuatnya sesedih itu? Angga berusaha mendekati Radit dan menjadikan dirinya sebagai tempat berbagi untuk Radit.
Akhirnya mereka berdua mengobrol di teras depan kamar kost Radit. Radit masih diam tidak ada tanda-tanda ia ingin berbicara atau membuka obrolan kali ini. Sungguh Angga bingung mau bertanya dari mana, ini sungguh seperti bukan Radit yang ia kenal. Radit kali ini yang berada di hadapannya sekarang seperti bukan Radit, layaknya orang asing.
"Kamu kenapa Radit? Kenapa wajahmu sedih begitu? Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Angga berbondong menginterogasi Radit yang sepertinya tidak ada mood untuk berbicara. Namun Angga tidak akan menyerah, Angga akan terus bertanya pada Radit sampai Radit mau cerita dengannya. Masalah tidak baik jika dipendam bukan?
"Memangnya sangat kelihatan ya dari raut wajahku jika aku sedang bersedih?" tanya Radit balik menoleh menatap Angga meminta jawaban Angga. Ia memang sedih, tapi apakah sebegitu kentaranya bahwa ia sedang bersedih di mata orang lain? Ia sudah berusaha menutupinya, namun tidak bisa. Rasa bersalah itu masih tetap ada dan menghantuinya setiap detik.
"Sangat kelihatan. Memangnya kamu kenapa sih Radit? Apakah kamu tidak ingin menceritakannya padaku?" tanya Angga semakin penasaran. Ia menerka-nerka bahwa memang benar ada yang Radit sembunyikan darinya. Tapi apa itu? Angga tidak tahu. Dan sekarang Angga merasa sangat penasaran.
"Ingin." sahut Radit singkat, padat dan jelas. Ia tahu bahwa Angga pasti sangat penasaran dengannya sekarang. Tapi Radit sangatlah berdosa, Radit merasa dirinya sangat jahat dan bodoh. Ia tak pantas hidup, ia bukanlah teman yang baik untuk Jessy. Ia hamper membuat nyawa Jessy hilang, harusnya Jessy tak sampai tenggelam kemarin. Dengan bodohnya ia lebih memilih pekerjaan dari pada sahabatnya sendiri. Apakah Radit masih pantas dianggap teman? Rasanya tidak
"Apa? Coba ceritakan masalahmu? Kali saja aku bisa membantu, jika tidak, mungkin aku akan menjadi pendengar yang baik, bukan kah jika di dengarkan hati kita merasa lebih lega? Aku hanya tidak ingin melihatmu sedih Radit, kamu jangan sedih-sedih ya? Ada aku yang siap siaga membantumu." ucap Angga meyakinkan Radit dengan kata-katanya, semoga saja Radit percaya padanya dan mau bercerita dengannya. Angga bukan sekedar ingin tahu, tapi Angga ingin membantu Radit semampunya.