Nindia duduk di ruang tamu menunggu nek Wati pulang. Tak lama yang di tunggu pun akhirnya datang.
"Assalammualaikum!" nek Wati memberi salam.
"Wa'alaikumsalam, nek !" jawab Nindia.
"Kamu sudah bangun, Diah? Bagaimana kondisi kamu apa sudah baikan?" tanya nek Wati lagi lalu duduk di samping Nindia.
"Alhamdulillah. Iya nek, aku sudah baikan."
"Syukurlah kalau begitu! Ini nenek bawain kamu buah nanas tadi di kasih bu Ratna yang habis panen."
"Nanas, nek? Apa aku boleh makan buah nanas, nek?" tanya Nindia bingung.
"Yah boleh saja, nanasnya sangat manis. Nenek juga doyan!" jawab nek Wati.
"Ta-tapi aku sedang ha-mil, nek!" Nindia berkata dengan ragu.
"Hamil?" nek Wati terlihat kaget.
"I-ya, nek," Nindia menundukkan kepalanya, tidak berani menatap ke arah nek Wati.
"Jadi kamu hamil makanya kamu sering muntah-muntah?"
"Iya, nek! Maaf aku tidak bermaksud bohong sama nenek. Aku akan secepatnya pergi dari sini!"
"Hmm, kamu mau kemana? Suami kamu mana?"
"Aku tidak punya suami nek, makanya aku pergi dari rumah ibuku karena sudah mengecewakan ibu."
Nindia mulai terisak. Nek Wati pun mendekati Nindia lalu memeluk gadis itu. Nindia pun membalas pelukannya. Nindia sangat butuh pelukan seperti ini yang bisa sedikit menenangkannya.
"Menangislah, Diah! Ungkapkan apa yang kamu rasakan. Itu bisa sedikit mengurangi beban pikiranmu, nak!" nek Wati menepuk-nepuk punggung Nindia.
Nindia pun akhirnya menceritakan awal mula dia bisa hamil dari saat Ricki mulai hadir di hari-harinya. Andai saja malam itu Ricki tidak mabuk, mungkin peristiwa itu tidak akan pernah terjadi. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Dan Nindia tidak pernah menyangka setelah satu bulan, telah tumbuh kehidupan baru di rahimnya.
Nindia ingat betul betapa Ricki yang sangat mencintainya. Tapi kesalahpahaman telah memisahkan mereka. Hingga dia tidak berani berkata jujur pada ibunya tentang siapa ayah dari anak yang tengah dia kandung.
Nindia masih terisak di pelukan nek Wati. Hatinya sedikit tenang.
"Sudah, kamu jangan sedih terus ya kasian calon anakmu nanti ikut sedih. Kamu boleh tinggal di sini sama nenek! Nenek senang ada teman. Oh ya, kamu sudah makan belum? Nenek masakin, ya! Kamu mau makan apa?" tanya nek Wati dengan penuh kelembutan.
"Aku mual kalau makan yang banyak bumbu, nek!"
"Oohh, iya kamu kan sedang hamil muda. Kamu pasti pengen makan mangga muda, ya? Rujak buah, hmm?" tanya nek Wati penuh perhatian pada Nindia.
"Mau, nek! Aku mau rujak !" Nindia tersenyum semringah.
"Kamu tunggu, ya. Nenek cari dulu buahnya!" nek Wati pun segera keluar rumah.
Tak sampai setengah jam, nek Wati kembali dengan membawa satu kantong plastik buah mangga muda dan jambu air.
"Ayo ikut nenek ke dapur, kita bikin bumbunya dulu!" ajak nek Wati. Nindia pun mengikuti nek Wati ke dapur dengan bersemangat.
"Enak sekali, nek. Nenek pintar ya bikin bumbu nya!" puji Nindia saat makan rujak buah bikinan nek Wati.
"Alhamdulillah, kalau kamu suka. Tapi setelah ini kamu juga harus makan nasi ya biar calon anak mu ada gizinya!" nasihat nek Wati.
Iya, nek!" Nindia pun makan rujak buahnya dengan lahap.
"Kalau kamu butuh apa-apa kamu bilang saja sama nenek. Anggap saja nenek ini sebagai keluarga kamu, Diah. Dan jangan bersedih lagi!"
"Iya, terimakasih ya, nek!" Nindia jadi terharu.
"Oh ya nenek mau pergi lagi membantu bu Ratna di kebunnya, lumayan bisa nambah-nambah buat makan!" nek Wati beranjak keluar rumah.
"Aku ikut bantu ya, nek?" Nindia berdiri hendak mengikuti nek Wati keluar rumah.
"Kamu di rumah saja. Nanti kalau kamu sudah benar-benar sehat baru boleh bantu nenek! Kamu kan masih hamil muda tidak boleh capek!"
"Baiklah, nek. Nenek hati-hati di jalan, ya!" Nindia mencium punggung tangan nek Wati. Nek Wati pun meninggalkan Nindia di rumah sendirian.
***
Dua bulan sudah Nindia tinggal di rumah nek Wati. Kandungan Nindia pun sudah berusia tiga bulan. Perut Nindia mulai sedikit buncit kalau di perhatikan. Beruntungnya, Nindia hanya dua bulan saja merasakan morning sickness jadi kehamilannya tidak bermasalah. Nek Wati selalu setia menemani dan manjaganya. Setiap hari Nindia membantu nek Wati mengurus kebun bu Ratna. Terkadang juga menerima cucian. Nindia juga menanam sayuran di halaman rumah nek Wati yang masih ada sedikit tanah yang kosong.
Hari-hari Nindia cukup sibuk hingga dia tidak sempat memikirkan lagi tentang masalahnya. Para tetangga juga sudah mengetahui tentang keberadaan Nindia. Sebagian menerima dengan terbuka termasuk keluarga bu Ratna selaku bu erte di sana. Dan sebagian lagi ada yang tidak suka. Tapi itu tidak jadi pikiran Nindia lagi karena ada nek Wati yang siap melindunginya.
Seperti biasa pagi ini selesai sarapan mereka bersiap-siap ke rumah bu Ratna dan sodaranya untuk membantu cuci-cuci di sana.
"Ayo Diah kita berangkat sekarang!" ajak nek Wati.
"Ayo, nek," mereka pun berangkat bersama.
Biasanya setelah cuci-cuci, mereka akan keliling kampung mencari barang bekas yang masih bisa di jual sampai menjelang siang. Setelah terkumpul lumayan banyak, mereka jual barang-barang bekas itu ke penadah. Setelahnya mereka akan pulang.
"Kamu tidak kelelahan hari ini, Diah? Maaf ya kamu jadi susah hidup sama nenek!"
"Diah tidak kelelahan kok, nek. Kan sudah biasa. Kalau tidak ada nenek, entah bagaimana hidup aku," jawab Nindia sambil merangkul nek Wati.
"Sudah takdir kamu bertemu dengan nenek, Diah!" mereka pun bersama-sama ke penadah barang bekas untuk menjual barang yang mereka dapat.
"Waaahh, dapatnya lumayan banyak hari ini ya, nek!" Nindia tersenyum semringah.
"Alhamdulillah, Diah! Ayo, kita langsung belikan beras saja."
"Iya, nek!" mereka pun ke warung membeli beras lalu pulang.
Sampai di rumah, nek Wati menyiapkan makan siang untuk mereka berdua.
"Ayo Diah, makan yang banyak agar janinmu sehat!"
"Iya, nek," sahut Nindia.
Setelah makan siang, nek Wati mengajak Nindia sholat berjamaah. Yah, sejak hidup dengan nek Wati, Nindia mulai rajin sholat. Selesai sholat zhuhur, mereka akan istirahat sampai tiba waktu ashar. Setelahnya mereka akan pergi ke kebun bu Ratna untuk sekedar membantu membersihkan dan merawat tanaman di sana sampai sebelum maghrib. Upah yang tidak seberapa bagi mereka tapi tetap semangat setiap harinya demi untuk menyambung hidup.
Begitu lah kehidupan sehari-hari Nindia sejak bertemu dengan nek Wati. Hingga kandungan Nindia memasuki bulan ke tujuh, bu Ratna memanggil Nindia.
"Diah, maaf ibu mau tanya kandungan kamu sudah usia berapa? Kamu tidak pernah periksa ke bidan, ya?" tanya bu Ratna.
"Mungkin sudah tujuh bulan bu. Aku memang tidak pernah periksa tapi bayiku sehat dan aktip, bu!" jawab Nindia.
"Sebentar lagi kamu mau melahirkan, ya. Nanti habis cuci-cuci, ibu antar kamu ke Puskesmas di kampung sebelah, ya. Kita periksakan kandungan kamu!" ajak bu Erte.
"Maaf, bu. Tapi nanti merepotkan ibu saja," tolak Nindia halus.
Nindia merasa tidak enak hati. Bu Ratna sudah begitu baik padanya bahkan tidak pernah menghakimi dan menghinanya seperti sebagian warga kampung.
"Tidak masalah, Diah. Nanti Ibu tunggu kamu di sini, ya!" bu Ratna lalu berpamitan pada Nindia.
Selesai cuci-cuci, Nindia kembali menemui bu Ratna di temani nek Wati. Dan mereka pun berangkat ke Puskesmas kampung sebelah menemui bidan desa di sana.
"Bagaimana bu Bidan kandungan Diah?" tanya bu Ratna kepada bu Bidan setelah Nindia selesai di periksa.
"Alhamdulillah janinnya sehat, bu. Saya perkirakan HPLnya dua bulan dari sekarang. Jadi kalau mau melahirkan di sini tolong urus surat keterangan tidak mampu supaya bisa gratis!" jelas bu Bidan.
"Baik bu Bidan, terimakasih!" jawab Bu Ratna dan Nindia hampir berbarengan.
"Kita pamit dulu, bu!"
Nindia, nek Wati dan bu Ratna pun meninggalkan Puskesmas.
"Kamu mau merawat anakmu sendiri, Diah?" tanya bu Ratna.
"Iya, bu. Aku akan rawat sendiri anakku."
"Maaf ya Diah kamu jangan tersinggung, ibu hanya mencari solusi kalau mungkin kamu mau."
"Solusi apa ya, bu?" tanya Nindia penasaran.
"Seandainya kamu tidak sanggup merawat anakmu karena tidak ada ayahnya, ada pasangan suami istri yang bersedia merawat anak kamu. Mereka sudah menikah bertahun-tahun tapi belum punya momongan," jelas bu Erte.
"Maaf bu, aku mau merawat anakku sendiri. Aku akan berusaha, bu," jawab Nindia.
"Kamu yakin Nindia?" tanya bu Ratna lagi.
"In Sya Allah aku sanggup, bu. Dia adalah anakku dan aku sangat menyayanginya. Aku tidak mau kehilangan anakku, bu!" jelas Nindia sambil mengusap-usap perutnya yang buncit.
"Ya sudah kalau kamu sanggup. Kalau begitu ibu pulang dulu. Jaga kandungan kamu, ya. Nek ,saya pulang dulu," pamit bu Ratna.
"Iya, bu!" sahut Nindia.