POV Natasha
Kehidupan baru Natasha dimulai, usai berhasil kabur saat dipaksa untuk menggugurkan kandungan di rumah sakit. Rumah sederhana peninggalan orangtuanya menjadi tempat singgahnya bersama sang calon buah hati. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, karena Dokter Daren mengajak tinggal di rumahnya sekaligus memperkerjakan Natasha menjadi asisten dokter. Rumah Dokter Darren yang besar bersebelahan dengan klinik pribadi.
Natasha yang pernah berpengalaman bekerja di panti sosial sebagai perawat setidaknya paham akan bagian tugasnya menjadi asisten dokter. Selain buka praktek di klinik sendiri, Dokter Dare merupakan Dokter yang magang di rumah sakit swasta lumayan terkenal di tempat itu. Natasha begitu senang, setidaknya dirinya merasa aman jika suatu hari melahirkan sang buah hati.
Meskipun, Natasha tinggal bareng di rumah Dokter Daren, dia tidak menerima tawaran Dokter tersebut yang akan bertanggung jawab mengambil status ayah untuk calon anaknya. Padahal, Dokter Daren telah berterus terang mencintai Natasha sejak berpandangan untuk pertama kalinya. Natasha bersikeras, memilih menganggap Dokter Daren sebagai sahabat dan juga atasan di klinik tempatnya bekerja.
Hampir tiap hari, sejak Natasha menjadi asisten dokter di klinik milik Dokter Daren, pasien semakin ramai. Meski terkadang mulai sebentar-sebentar merasa kelelahan karena memasuki masa ngidam, Natasha bekerja secara profesional. Dia menyembunyikan kelelahan di depan Dokter Daren yang telah menolongnya dari kesulitan hidup.
"Istirahatlah dulu, Natasha! Kamu juga perlu memperhatikan calon bayi yang ada dalam perutmu!" seru Dokter Daren yang duduk di balik meja kerjanya sembari tersenyum ke arah Natasha.
"Siap, Dokter," sahut Natasha kemudian. "Tapi, Dok ... lebih enak kalo kita cari makan bersama di luar," sambung Natasha.
"Kita tidak perlu keluar, aku telah menyuruh seseorang untuk membeli makanan untuk makan siang kita," ujar Dokter Daren membuat Natasha malu.
Dokter Daren begitu perhatian kepada Natasha. Apalagi sejak mengetahui wanita itu hamil di luar nikah dan kehidupannya yang begitu sulit. Lelaki itu mendedikasikan dirinya akan terus menjaga Natasha, meskipun cintanya ditolak.
"Terima kasih, Dok," balas Natasha kemudian.
"Tak usah mengucapkan terima kasih, aku telah berjanji untuk terus memperhatikan dirimu, Sha!" tegas Dokter Daren, membuat Natasha merasa tersindir. Batinnya merasa sungkan karena menolak tawaran untuk menjalin hubungan serius dengan Dokter tersebut.
Tak berapa lama, makanan yang dipesan Dokter Daren tiba. Keduanya lantas makan siang bersama di ruang kerja Dokter Daren. Beruntung, pasien telah tertangani semua sebelum jam makan siang.
Natasha diam-diam mengelus perutnya. Ia merasa sebentar lagi akan menjadi seorang ibu. Seketika, Natasha yang pernah bekerja di keluarga kaya raya itu menitikkan air mata.
"Kenapa, anda menangis? Apa anda merasakan sesuatu di perut?" cecar Dokter Daren usai meletakkan sendok di piring bekas makannya.
"Tidak, Dok. Saya hanya terbawa perasaan saja," sahut Natasha tanpa memberikan alasan yang jelas dirinya sampai menitikkan air mata.
"Trus, apa yang anda pikirkan hingga tampak bersedih seperti itu?" selidik Dokter Daren lagi.
"Saya hanya bingung, ketika nanti usai melahirkan, Dok. Apalagi jasa Dokter kepada saya sudah tak terhingga. Bagaimana saya akan membalasnya?" jelas Natasha kemudian sembari mengusap lelehan bening yang membasahi pipinya.
"Sudah kubilang ... anda tidak usah memikirkan apa yang tidak perlu dipikirkan! Anggap saya sebagai sahabat sekaligus saudara, Natasha!" seru Dokter Daren sembari menghampirinya yang duduk di ranjang brankar, ruang pemeriksaan klinik tersebut.
Dokter Daren meraih dan menggenggam kedua tangan Natasha. Dokter yang usianya lebih tua beberapa tahun itu terus meyakinkan asistennya itu. Wanita itu tampak mengangguk-angguk setiap kali Dokter Daren berbicara.
Keduanya lantas mengakhiri makan siang bersama dan menutup klinik sementara, sebelum dibuka lagi menjelang sore hari. Mereka berdua lantas berjalan kaki menuju rumah yang berada di samping klinik tersebut.
***
Malam telah merangkak naik. Namun Natasha dan Dokter Daren masih menangani pasien yang masih mengantri di ruang tunggu. Natasha keluar ruangan, kemudian memanggil seorang pasien--seorang ibu paruh baya yang tersisa satu-satunya dari pasien yang mengantre.
Natasha dan Dokter itu begitu cekatan, saling bahu-membahu menangani pasien yang datang, apapun keluhannya. Keduanya lantas bernapas lega saat tidak ada pasien lagi yang datang saat malam hari. Itu tandanya Natasha bisa beristirahat lebih awal dan tidak lembur.
Natasha masuk ke ruangan pemeriksaan untuk merapikan ruangan itu sebelum pulang. Sedangkan, Dokter Daren masih membuat laporan di meja kerjanya. Sesaat kemudian Natasha mendengar beberapa orang memasuki klinik.
"Siapa lagi, pasien yang datang? Padahal udah mau tutup," gumam batin Natasha sembari meletakkan alat-alat kesehatan pada tempatnya.
"Silahkan duduk dulu!" Natasha yang masih berada di ruang pemeriksaan mendengar Dokter Daren menyuruh pasien yang datang untuk duduk terlebih dahulu.
"Masih ada pasien yang datang lagi, ya, Dok?" tanya Natasha dari dalam ruangan kepada Dokter Daren.
"Iya, Sha! Apakah ruangan periksa sudah siap kembali?" sahut Dokter Daren kemudian.
"Sudah, Dok. Pasien boleh masuk!" balas Natasha lagi.
Natasha masih bersiap menyambut pasien yang datang di dalam ruang pemeriksaan. Namun, satu menit hingga lima menit berlalu tak ada yang masuk ke ruangan pemeriksaan. Justru, Natasha mendengar kasak-kusuk antara Dokter Daren dan seseorang yang diduganya pasien itu.
"Apakah staf perawat anda ada yang bernama Natasha? Tolong panggilkan segera, saya ingin bertemu dengannya, sekarang! Ada hal penting yang akan saya sampaikan padanya!" seru seorang lelaki yang suaranya begitu tidak asing di telinga Natasha. Asisten dokter itu seketika merasa gugup dan gemetar.
"Maksud, Anda?" tanya Dokter Daren kepada lelaki itu, saat Natasha menguping pembicaraan mereka.
Seseorang yang suaranya tidak asing di telinga Natasha itu belum terdengar menjawab pertanyaan Dokter Daren. Natasha termenung sejenak memikirkan cara bagaimana bisa keluar dari ruangan tanpa ketahuan. Namun, hal itu tidak mungkin dilakukannya mengingat hanya ada dua pintu di ruangan kerja Dokter Daren.
"Siapa lagi pasiennya, Dok?" tanya Natasha sembari keluar ruangan memberanikan diri.
Sang Dokter yang belum sempat mendengar jawaban dari orang itu, merasa terkejut, begitu melihat Natasha yang tiba-tiba keluar ruangan. Natasha lantas menatap seorang laki-laki yang telah dikenalnya cukup lama. Natasha yang merasa keberadaannya terancam, bergegas berlari keluar klinik melalui pintu samping. Ia berusaha melindungi diri dan buah hatinya.
"Tunggu! Jangan lari, kamu!" seru laki-laki bernama Jimmy sambil hendak mengejar Natasha. Namun, langkah Jimmy dan rombongannya itu dihalang-halangi oleh Dokter Daren, membuat Natasha lolos begitu saja.
Natasha terus berlari sembari memegang perutnya. Dia mengetahui jika Jimmy dan rombongannya mengejar dirinya. Bekas pengasuh anak itu berulangkali menoleh ke belakang.
Natasha masih berlari sambil terus memegangi perutnya dengan napas tersengal-sengal. Ia lantas bersembunyi di sebuah bangunan, bekas kandang kuda milik warga yang lumayan jauh dari klinik tempatnya bekerja. Suara langkah kaki rombongan Jimmy yang mengejarnya, membuat jantung Natasha berdegup kencang dan tubuhnya gemetar. Bahkan perutnya tiba-tiba terasa mulas.
"Ah ... sakit!" rintih Natasha dengan suara lirih saat menyandar di dinding. Ia yang merasakan basah saat sesuatu mengalir dari tubuhnya seketika melongok. Darah segar meleleh dari sela kedua pangkal pahanya.