Chereads / After an Unexpected Night / Chapter 11 - Bukan Pelakor

Chapter 11 - Bukan Pelakor

Natasha seketika menghentikan langkahnya saat hampir tiba di ruangan yang dituju. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Batinnya semakin resah saat menatap banyak pasangan suami-istri mondar-mandir di ruangan tersebut.

Seorang perawat keluar dari ruangan sambil menoleh ke sana ke mari seakan-akan sedang mencari seseorang. Seketika, Natasha gemetaran karena merasa jika perawat tersebut mencari dirinya.

'Ya Tuhan, saya tidak ingin melakukan ini. Beri petunjuk, Tuhan!' ratapnya dalam batin.

Natasha berusaha menguatkan hatinya sejenak, kemudian melangkah menghampiri seorang perawat yang masih berdiri di depan pintu dan mendekap sebuah map.

"Suster! Sa-saya ...." Natasha tak melanjutkan ucapannya karena merasa gugup di depan perawat rumah sakit itu.

"Iya. Ada yang bisa dibantu?" tanya perawat yang tampak ramah itu kepada Natasha.

"Selain pintu utama yang berada di depan, ada tidak jalan lain agar bisa keluar dari sini, Suster?" tanya Natasha kemudian. Ia tiba-tiba terbersit untuk melarikan diri dari rumah sakit agar tidak jadi melakukan aborsi. Batinnya benar-benar dirundung ketakutan.

"Maksud, Nyonya?" tanya perawat rumah sakit yang tampak kebingungan.

"Saya membutuhkan bantuan anda, Suster! Adakah pintu belakang untuk keluar dari rumah sakit ini? Maksud saya ... pintu lain selain pintu utama yang ada di depan. Saya mohon bantuannya, Suster!" ujar Natasha memohon bantuan dari perawat yang berdiri di depannya.

Mata Natasha mulai berkaca-kaca sambil menggenggam lengan perawat itu. Ia memohon untuk diantar menuju jalan keluar lainnya di rumah sakit itu selain jalan utama.

"Ayo, ikuti saya!" seru sang perawat rumah sakit itu, setelah termenung beberapa saat.

Natasha mengedarkan pandangan ke penjuru arah, kemudian bergegas mengikuti langkah perawat tersebut. Tak berapa lama, keduanya tiba di sebuah pintu arah samping dari rumah sakit tersebut.

"Di depan sana ada gang kecil. Nyonya belok kiri kemudian lurus jika mau ke jalan besar," ujar perawat itu mengarahkan telunjuknya.

"Terima kasih banyak, Suster. Saya gak akan melupakan kebaikan, Suster. Suster Eliza, sekali lagi saya ucapkan terima kasih," ujar Natasha sambil melirik ke arah nama yang tertera di seragam yang dikenakan perawat itu.

"Sama-sama, Nyonya."

"Doakan saya selamat sampai tujuan, ya, Suster," ucap Natasha sambil tersenyum. Batinnya merasa lega bisa keluar dari rumah sakit tanpa sepengetahuan Jimmy.

"Iya, Nyonya. Cepatlah berangkat! Saya juga akan kembali ke ruangan saya!" seru perawat itu.

Natasha mengangguk dan bergegas berlalu, sedangkan perawat itupun bergegas menuju ruangannya lagi. Ia mempercepat langkah keluar dari area rumah sakit sesuai petunjuk yang diberikan perawat itu.

Terbersit di pikiran Emily untuk pergi menuju terminal terdekat. Dengan berbekal seadanya, ia ingin pulang ke kampung halaman. Beruntung, semua barang berharga yang ia punya berhasil dibawanya semua untuk dijadikan biaya hidup selama di kampung.

"Maafkan saya, Tuan Diego. Saya harus menyelamatkan janin ini sendirian," gumamnya dalam hati sambil mengelus perut.

Natasha menuju halte bus yang tak jauh dari rumah sakit. Ia berhasil menumpang sebuah bus menuju terminal Blok M untuk beralih bus antar provinsi. Setidaknya, Natasha bisa bernapas lega dan bisa berpikir untuk kelangsungan hidupnya dan calon buah hatinya kelak.

***

Natasha turun dari kendaraan terakhir yang ditumpanginya. Ia melanjutkan berjalan kaki lagi menuju rumah yang telah lama ditinggalkannya. Sebuah rumah peninggalan orangtuanya.

Saat menyusuri jalan setapak, Natasha tersentak ketika ada sebuah mobil yang berhenti di sampingnya. Sontak, gadis bermata bulat itu menghentikan langkah sembari sebelah tangannya menyentuh lembut bagian perut. Kemudian menatap seorang laki-laki di balik kaca jendela mobil yang terbuka dengan melaju sangat pelan di sampingnya.

"Selamat malam, Nona! Mau ke mana? Bisa saya memberikan tumpangan?" sapa laki-laki itu terdengar ramah di telinga Natasha.

"Tidak usah, Tuan. Terima kasih sebelumnya!" tolak Natasha dengan sopan. Gadis berambut sebahu itu begitu berhati-hati dengan laki-laki, apalagi hanya sebatas bertemu di jalan.

"Ini sudah malam, Nona. Saya kasihan pada Nona. Ayolah!" seru laki-laki itu lagi. "Sebentar, sebentar, Nona! Apakah kita sebelumnya saling mengenal? Sepertinya, saya tidak asing dengan Nona," imbuh lelaki yang di pakaiannya tercantum nama Daren Wiguna yang berprofesi sebagai dokter.

Kedua alis Natasha tampak berkerut hampir bertautan. Ia seolah-olah berusaha mengingat, apakah pernah bertemu dengan Dokter itu. Memori otaknya lantas berputar ke masa lalu, mengingat saat-saat berkunjung ke rumah sakit. Dari dirinya praktik saat kuliah keperawatan hingga saat kedua orangtuanya meninggal dunia di rumah sakit karena kecelakaan.

"Maaf, saya lupa." Natasha menggeleng pelan, menegaskan bahwa dirinya tidak mengingat sosok Dokter di hadapannya itu.

"Sebentar ... apakah Nona yang pingsan saat kedua orangtua Nona meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas itu?" Lelaki yang berprofesi sebagai Dokter itu mencoba mengingatkan Natasha.

"Oh iya, saya ingat. Jadi, Dokter yang saat itu mengantar saya pulang, kan?" tanya Natasha kemudian dengan wajah berubah semringah. "Kenalkan, saya Natasha, Dok! Biasa dipanggil Sasha," imbuh Natasha memperkenalkan diri.

"Sebaiknya, Nona masuk ke mobil dulu! Kita bisa berbicara panjang lebar, sekalian saya antar Nona ke tempat tujuan!" seru sang Dokter, menawarkan diri.

Natasha lantas naik ke mobil di jok bagian depan, setelah Dokter itu membukakan pintu. Sesaat kemudian mobil melaju. Sepanjang perjalanan menuju rumahnya, Natasha masih banyak diam dan merasa canggung. Dia hanya menunjukkan arah jalan menuju rumahnya saja. Namun, laki-laki yang berprofesi Dokter itupun sepertinya juga memahami.

Tak terasa, Natasha tiba di rumahnya dengan menumpang mobil Dokter Daren yang sengaja mengantar. Gadis itu kemudian turun dari kendaraan roda empat tersebut, kemudian berjalan menuju pintu rumah peninggalan orangtuanya. Dokter Daren tampak mengikutinya dari belakang.

Natasha merogoh saku samping tas yang digenggamnya. Namun, sesaat kemudian dia merasa kebingungan. Dia pun merogoh saku bagian samping celana panjang yang dipakainya. Lagi-lagi, sepertinya Natasha tidak menemukan yang dicari.

"Saya kehilangan kunci rumah, Dok. Bagaimana ini?" keluh Natasha yang tampak panik.

"Tenang, Nona! Bolehkah, saya dobrak paksa pintunya? Nanti jika rusak, saya akan bertanggung jawab untuk memperbaikinya," ujar Dokter tersebut sembari tersenyum ke arah Natasha. "Ini jalan satu-satunya sementara ini, Nona. Biar Nona segera bisa masuk rumah," imbuh Dokter Daren.

"Boleh. Maaf, saya jadi merepotkan Dokter!" balas Natasha dengan raut malu-malu.

Sekuat tenaga, Dokter Daren mendobrak pintu. Sesaat kemudian pintu berhasil dibuka. Keduanya lantas memasuki rumah. Sejenak, Natasha meninggalkan Dokter Daren di ruang tamu. Ia menuju kamar untuk meletakkan tas.

Natasha meletakkan tas yang berisi dua helai baju. Baju yang seharusnya untuk ganti saat dirinya melakukan aborsi. Namun, hal yang paling menakutkan itu berhasil ia gagalkan. Usai meletakkan tas di sisi ranjang, ia kemudian menemui Dokter Daren lagi.

"Maaf, Dokter, saya tidak membuatkan minum untuk Dokter!" ujar Natasha begitu duduk di ruang tamu.

"Tidak mengapa, Nona. Tenang saja!" sahut Dokter tersebut dengan tersenyum.

Mereka berdua lantas berbincang sembari mengingat pertemuan mereka pertama kali. Natasha yang awalnya merasa canggung, makin lama makin santai. Ia tampak berkaca-kaca saat Dokter Daren menanyakan sebab kepulangannya ke kampung halaman.

Natasha memilih bungkam atas pertanyaan Dokter Daren. Rasa malu seketika bergelayut dalam batinnya jika berterus terang akan keadaannya saat ini. Dia takut jika Dokter itu menganggap dirinya pelakor. Apalagi saat ini, ada benih cinta dari Diego yang telah beristri.