POV Diego
Pagi-pagi sekali, bahkan ayam berkokok pun belum terdengar, Diego telah dikejutkan oleh ketukan pintu. Rupanya Merry mengeluh hipertensinya naik dan minta diantarkan ke rumah sakit untuk periksa sekalian cek kesehatan secara berkala.
Laki-laki itu lantas bersiap-siap, padahal baru semalam ia pulang ke rumah. Akhir-akhir ini ia lebih memilih pulang ke apartemen yang jaraknya lebih dekat dari kantor. Sebenarnya batinnya ingin meluapkan kerinduan pada kedua buah hatinya dan tentu saja dengan Natasha, pengasuh mereka.
"Apakah kamu udah menemui istrimu? Dia pulang kemarin siang," tanya Merry saat kendaraan mulai meninggalkan rumah mewah tersebut.
"Belum, Ma. Aku pulang larut malam, semalam. Bahkan semua telah tertidur. Hanya Ruth yang membukakan pintu untukku," balas Diego datar jika bersinggungan dengan nama istrinya.
"Mama jengkel dengan istrimu, Diego. Mulutnya begitu tajam dan berani melawanku," adu Merry membuat Diego menoleh dan tersentak seketika.
"Ada apa lagi dengan dia, Mama?" tanya Diego yang merasa geram. Ia lantas mengurangi laju kendaraan mobil mewahnya itu.
"Apa kamu udah tau, kalo Sasha telah berbadan dua? Ia kepergok istrimu sedang muntah-muntah di kamarnya. Lantas mengintrogasi Sasha. Begitu mengaku, Kathy memakinya habis-habisan," adu Merry lagi.
Diego benar-benar tercengang mendengar aduan Merry tentang wanita yang dicintainya itu. Beberapa Minggu sebelum ia pulang ke apartemen, Natasha tidak mengeluh apapun kepada dirinya saat terakhir bercinta.
"Brengsek!" teriak Diego sambil memukul bagian setir dengan sebelah tangannya. Ia mengumpat Kathy berulang kali dalam hati. Kemudian merasa tidak tega dengan Natasha.
"Nanti kita selesaikan di rumah, bagaimana baiknya," ucap Merry sambil mendekap tas dalam pangkuan.
"Iya, Ma. Apa perlu Sasha, aku bawa ke apartemen saja?" Diego meminta tanggapan Merry.
"Nanti kalau pulang, kita bicarakan sama-sama, baiknya bagaimana," balas Merry.
Kabut tipis masih menghiasi jalanan bersaing dengan asap-asap knalpot kendaraan saat mobil Diego mulai memasuki jalan raya. Hiruk pikuk aktivitas orang-orang di ibukota memang tiada habisnya. Diego merasa lega karena jalanan yang dilewatinya tergolong ramai lancar pagi ini.
Tak terasa kendaraan mulai memasuki jalanan menuju salah satu rumah sakit di kawasan Menteng. Dengan dikawal petugas parkir, Diego melaju pelan menuju tempat parkir rumah sakit tersebut.
***
Diego begitu sabar menemani sang ibu meskipun harus mengorbankan waktunya untuk ke kantor. Antrian yang tidak begitu panjang, akan tetapi pemeriksaan dan menunggu hasilnya memerlukan waktu lumayan lama. Namun, Diego tetap santai. Hanya saja pikirannya kali ini terfokus pada nasib Natasha.
Tak terasa menjelang sore hari semua urusan di rumah sakit telah selesai. Mobil yang dikemudikan Diego hampir tiba di rumah. Ia merasa lega karena kesehatan jantung sang ibu juga membaik seiring waktu. Hanya saja, ibunya tidak boleh terbebani dengan pikiran yang berat.
Merry tampak turun dari kendaraan saat Diego telah membukakan pintu untuknya. Alice tiba-tiba berlari dari dalam menyambutnya. Tak ada raut ceria di wajah gadis kecil itu membuat Diego dan Merry mengernyit bingung.
"Anak Papa kenapa? Mana Brenda?" tanya Diego sembari berjongkok di depan Alice yang mengusap-usap mata dengan lengannya.
"Papa, Bibi Shasa gak ada di rumah. Bibi Sasha ke mana, Papa? Kenapa gak mau main sama Alice, sama Brenda juga?" adu Alice kepada Diego.
"Memangnya ke mana, Bibi Sasha, Sayang. Apa dia sakit dan tiduran di kamarnya?" Diego balik bertanya pada anaknya.
"Bibi Sasha gak ada di kamar, Papa," sahut Alice yang tampak kecewa.
Diego yang merasa ada kejanggalan tentang Natasha, segera menggendong Alice dan melangkah ke lantai atas. Ia bergegas memasuki kamar Natasha yang memang benar-benar kosong. Namun, saat Diego membuka isi lemari pakaian Natasha, semua masih tampak rapi.
Dengan batin yang tak keruan, Diego lantas kembali turun dan memanggil semua asisten rumah tangganya. Ia akan bertanya, apa yang sebenarnya terjadi. Merry yang akan meminta diperiksa tekanan darahnya oleh Natasha ikut-ikutan panik, karena gadis itu memang tidak ada di rumah.
"Nyonya Ruth, Anna ... apakah kalian tahu ke mana perginya Nona Natasha?" tanya Diego penuh selidik sambil menatap satu per satu asisten rumah tangga yang beraktivitas di dalam rumah mewahnya.
"Begini, Tuan. Tadi pagi Nyonya Kathy memerintahkan saya untuk menyampaikan sama Nona Natasha, kalau mulai pagi ini, dia tidak boleh mengasuh Nona Alice dan Nona Brenda. Kemudian, Nyonya juga menyuruh Nona Natasha untuk segera turun ke lantai bawah karena udah ditunggu Nyonya Kathy. Habis itu, saya tidak tahu lagi, Tuan," jawab Ruth dengan gemetar karena takut.
"Oh begitu. Bagaimana denganmu, Anna? Apa kamu tahu ke mana Nona Natasha pergi?" tanya Diego pada asisten rumah tangganya yang lain.
"Saya tidak tahu, Tuan," jawab Anna sambil menggeleng pelan.
"Sekarang, ke mana Nyonya Kathy?" tanya Diego yang mulai naik pitam. Wajahnya seketika memerah menghadapi kenyataan Natasha tidak ada di rumah.
"Tadi, Nyonya Kathy bilang mau ke villa yang ada di Puncak untuk menenangkan diri, katanya, Tuan. Nyonya bilang saat menitipkan Nona Alice dan Nona Brenda," jelas Ruth.
"Dasar!" umpat Diego sambil sebelah tangannya terangkat ke udara.
Merry yang berdiri di sudut ruangan seketika dadanya terasa sesak. Wanita lanjut usia itu memegangi sebelah dadanya.
"Diego, tolong antar aku ke kamar!" teriak Merry membuat Diego sigap menghampiri dan menuntun ibunya itu menuju kamarnya lagi.
Ia membaringkan ibunya di sisi ranjang. Sebentar-sebentar mulutnya mengumpat sang istri yang sepertinya menjadi dalang di balik kaburnya Natasha dari rumah.
"Sudahlah, Diego. Lebih baik dipikirkan dengan kepala dingin. Kalau begini, aku pun merasa bersalah dengan mendiang orangtuanya Natasha," ujar Merry dengan nada kecewa.
"Sebaiknya aku segera menghubungi asistenku terlebih dahulu, Ma. Aku akan memintanya untuk mencari anak buah untuk mencari keberadaan Natasha. Urusan Kathy akan aku selesaikan belakangan. Setidaknya aku harus tahu keberadaan Natasha saat ini. Aku begitu khawatir, Mama," ujar Diego.
"Iya," sahut Merry pelan.
Diego lantas keluar dari kamar ibunya dan melangkah menuju lantai atas lagi. Para asisten rumah tangga menatap heran dengan tingkah laku majikannya itu. Namun, Diego tidak peduli dengan mereka. Dalam batinnya saat ini ingin segera menemukan Natasha.
Begitu memasuki kamar Natasha, ia segera merogoh ponsel di saku bagian samping celana panjang yang dikenakannya. Diego lantas melakukan panggilan telepon pada Samuel.
"Halo, Samuel! Kamu masih di kantor?"
"Iya, Tuan. Puji Tuhan, pekerjaan telah beres semua, Tuan. Ada yang harus saya kerjakan lagi, Tuan?" tanya Samuel di ujung telepon.
"Terima kasih, Sam. Sekarang aku butuh beberapa orang untuk dijadikan anak buah. Aku sedang panik karena Natasha menghilang dari rumah," ungkap Diego.
"Baik, Tuan. Saya akan segera menghubungi teman-teman saya, Tuan."
"Secepatnya kirim kabar, Sam!" seru Diego, kemudian mengakhiri sambungan telepon yang belum sempat mendapat balasan balik dari Samuel.
Saking paniknya, Diego lantas keluar dari kamar Natasha dan turun lagi ke lantai bawah untuk melihat keadaan ibunya.
***
"Kamu sudah menghubungi asistenmu?" tanya Merry begitu Diego tiba di kamarnya.
"Sudah, Ma. Nanti juga Samuel mengabari lagi," balas Diego sambil menggeser kursi agar dekat dengan ranjang ibunya. Ia kemudian duduk.
"Ada yang ingin Mama katakan sama kamu. Mungkin ini saatnya, kamu harus mengetahuinya," ujar Merry yang tampak serius menatap Diego.
"Suatu rahasiakah, Mama?" tanya Diego penuh selidik.
Merry lantas mengangguk sambil menutup kemudian membuka matanya perlahan. Wanita itu kemudian meraih tangan Diego dan menggenggamnya erat.
"Ada apa sebenarnya, Mama? Apa berkaitan dengan Natasha? Apa Mama tidak marah, aku menghamilinya terlebih dahulu?" cecar Diego yang batinnya tidak sabar menunggu suatu rahasia yang akan diceritakan ibunya tersebut. Diego gugup sambil mengelus punggung tangan ibunya yang penuh kerutan itu.