HAPPY READING AND HAPPY WRITING
'Bunuh ibumu Psyce!'
'Dia selalu jahat padamu.'
'Selalu memukulmu bahkan membiarkanmu kelaparan,'
'tak mengurusmu dengan baik.'
'Dia bukan ibumu yang sebenarnya Psyce.'
Psyce membuka matanya cepat dan menahan nafasnya. Ia menatap sekeliling yang gelap kemudian menghela nafas panjang.
Ia masih di dalam hutan, namun winter sudah tak ada di sisinya. Bangun dan terduduk sembari menyandarkan punggungnya di batang pohon besar.
Hari malam sepertinya akan segera berakhir dan berganti dengan matahari yang menggantikan tugas bulan menerangi bumi. Lama ia melamun di depan sungai yang masih tenang memantulkan cahaya bulan, akhirnya langit berubah warna berwarna jingga.
Matahari sudah mulai menampakan dirinya di ufuk timur tepat di seberang sungai, di balik tebing yang besar itu. Psyce menghela nafasnya dan berjalan menghampiri air sungai.
Ia membasuh wajahnya dan meminum air sungai yang jernih. Winter sama sekali tak terlihat keberadaannya. Ia memutuskan untuk mencari buah buahan di dalam hutan untuknya dan untuk winter sembari menunggu temannya kembali.
Lama dirinya menunggu sampai hari semakin panas namun winter tak kunjung datang. Ia menatap ke dalam hutan. Jauh di dalam lubuk hatinya yang terdalam, dirinya pun berharap agar ibunya datang menjemputnya meskipun dalam kemarahan dan berakhir dirinya akan mendapatkan pukulan.
Mimpi itu terasa nyata untuknya hingga membuat Psyce enggan untuk percaya. Apa maksud dari mimpinya itu.
Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke rumahnya dengan membawa buah buahan yang ia ambil di hutan. Sebelum masuk ke dalam rumahnya, ia menatap rumahnya dari kejauhan.
Beberapa menit ia hanya berdiri mengamati dalam diam rumahnya, karena sedikit rasa takut menggelayuti hatinya. Apa ibunya akan membunuhnya kali ini.
Dirinya sudah tak pulang selama 2 hari, apa yang akan ibunya lakukan padanya. Terakhir kali dirinya bertemu dengan ibunya, hal yang tak baik terjadi.
Setelah menyiapkan dirinya dan menghela nafas berulang kali, Psyce akhirnya memberanikan diri untuk melangkah ke dalam rumahnya. Semuanya tampak normal dan masih tetap sama.
"Ingat untuk pulang juga kau?"
Psyce berjingkat terkejut dan segera menatap ibunya yang berada di belakangnya.
"Darimana saja kau?"
"Ak-aku.."
"Sudahlah, kau ini memang tidak bisa berbicara."
"Aku sudah memasak, ayo cepat ikut aku!"
Psyce masih diam di tempatnya berusaha mencerna apa yang terjadi pada ibunya. Ia masih menatap ibunya yang sudah masuk ke dalam ruang makan.
"Apa kau harus kupukul dulu baru kemari Madeleine?"
"I-iya bu,"
Psyce segera beranjak melangkah menyusul ibunya ke arah ruang makan.
Ia masih diam tak mengisi piringnya yang masih kosong. Takut takut bila ibunya kembali memarahinya jika ia terlalu lancang.
"Apa yang kau tunggu?"
"Cepat makan, makanan ini tak ada racunnya!"
Setelah ibunya berkata demikian, Psyce akhirnya mengambil makanannya dan memakannya dengan lahap tanpa menyisakan makananya sedikitpun.
"Apa kau baik baik saja?"
Psyce menelan makanannya dengan susah payah setelah mendengar apa yang diucapkan oleh ibunya.
"Terakhir kali aku memukulmu berlebihan"
"Ibu minta maaf Madeleine.."
Ibunya menundukan wajahnya dan kembali memakan makanannya. Psyce pun kembali makan dengan pikiran yang masih memikirkan sikap dan perkataan ibunya.
Apa ibunya akhirnya akan berubah dan memperlakukannya dengan baik kali ini? membayangkannya saja membuat Psyce tersenyum kecil. Ibunya akhirnya menerima dirinya.
"Aku baik baik saja bu."
Ucap Psyce.
"Syukurlah kau baik baik saja,"
"aku akan pergi bekerja setelah ini dan akan kembali besok pagi. Jadi kau bisa memakai kasurnya,"
"jangan tertidur dilantai lagi."
Ibunya beranjak dari kursinya dan pergi meninggalkan Psyce setelah mengatakan kalimatnya.
"Ibu.."
Garreta membalikan tubuhnya dan menatap Psyce yang juga menatapnya.
"Ada apa?"
"Ber-berhati hatilah."
Ucap Psyce terbata.
Garreta kembali melanjutkan langkahnya dan menutup pintu dengan sedikit keras. Senyum tak dapat disembunyikan lagi. Untuk pertama kalinya ibunya mengkhawatirkan dirinya, untuk pertama kalinya ibunya memasak untuk dirinya, untuk pertama kalinya ibunya tak memukulnya setelah ia pulang terlambat.
----------
Esok harinya
"Winter.."
"Aku membawakanmu buku dongeng favoritku."
"Lihat, salju ini warnanya begitu mirip dengan warna bulumu!"
Psyce memperlihatkan halaman bergambar salju dan sesosok moster yang buruk rupa. Winter menatap gambar yang ditunjuk Psyce dengan memiringkan kepalanya kemudian berganti menatap Psyce.
"Ada apa winter? apa kau tak menyukainya?"
Elang tersebut hanya diam menatap Psyce.
"Kau sudah tau ya?"
"Tempat bersalju ini."
Winter masih diam dan hanya menatap Psyce. Burung tersebut mendekati Psyce dan melebarkan sayapnya untuk mengelus pipi gadis kecil itu.
"Aku tidak apa apa winter.."
"Kau mencemaskanku ya?"
"Aku bahagia sekali, karena kemarin ibuku begitu baik padaku."
Kedutan di pipinya sudah tak dapat ia tahan, tersenyum menutup matanya, ia mengelus bulu elang yang berada dipipinya yang membelai pipinya.
"Sudah kuduga, burung nakal itu pasti kembali lagi kesini."
"Kau tidak cocok bergaul dengan rakyat jelata sepertinya, kau itu burung langka yang mahal,"
"susah payah aku membelimu di pelelangan!"
Suara itu membuat Winter menyembunyikan dirinya di dekat tubuh Psyce. Sepertinya burung elang tersebut takut pada tuannya itu.
"Kau menakutinya pangeran!"
"Kau ini masih tak tahu cara merawat hewan ya?"
Psyce menyembunyikan winter di sisi tubuhnya dan memeluknya erat.
"Cepat kembalikan dia!" seru pangeran Rocco.
"Aku tidak mencurinya, burungmu sendiri yang datang kesini karena sudah muak denganmu!"
seru Psyce tak mau kalah.
Pangeran Rocco melipat tangannya.
"Biarpun dia sudah muak, tetap dia adalah burungku!"
"Aku sudah membelinya dan membebaskan dia dari tempat pelelangan,"
"seharusnya dia berterima kasih dan membalas budi."
Dahinya mengerut tak suka, matanya menatap tajam.
"Kau pikir burung itu sama dengan pikiran manusia?"
"Burung itu memang tidak sama dengan manusia, tapi seperti yang kau katakan."
"Burung itu pintar sehingga bisa membebaskan dirinya dari sangkar emasku."
Psyce mulai geram dengan apa yang ia dengar dari mulut bocah sombong di depannya yang sayangnya adalah pangeran. Setelah dipenjara, tentu saja ia akan memikirkan setiap sikap dan tindakannya pada orang di depannya.
Meskipun menyebalkan, Psyce tidak dapat berbuat hal lebih buruk karena kedudukannya mau dilihat dari manapun mereka bagaikan langit dan bumi.
"Apa rakyat jelata sepertimu bisa membaca?"
Psyce melihat bukunya yang juga dilihat oleh sang pangeran.
"Bukan urusanmu!" Segera tangannya menyembunyikan buku yang ia pegang di belakang tubuhnya.
"Tentu saja tidak bisa bodohnya aku mempertanyakan hal yang sudah jelas!"
pangeran Rocco melipat tangannya angkuh.
"Bagaimana bisa kau mengikuti kegiatan belajar jika untuk makan saja kau kesusahan?"
"Jaga mulutmu pangeran kalau kau masih menyayanginya!"
geram Psyce sembari mengepalkan kedua tangannya.
"Lalu apa yang ingin kau lakukan kalau aku tidak menjaganya?"
Psyce menerjang tubuh sang pangeran sampai tubuhnya terlentang dan memukuli kemudian menjambaki rambutnya.
"Hei-"
"Kau tak sadar jika sekarang prajuritku sedang mengamati kita? kau bisa terkena hukuman mati karena penyiksaan terhadap pangeran!"
"Aku sudah tidak peduli lagi!"
"Kau memang harus diberikan pelajaran pangeran sombong!"
seru Psyce sembari terus memukili tubuh pangeran Rocco.
Tangan pangeran menahan dan menangkis tangan Psyce yang masih menjambaki dan memukul tubuhnya. Setelah mendapat kesempatan, pangeran segera membalikan tubuhnya menjadi diatas Psyce.
Nafasnya terengah engah, ia menatap tajam Psyce dan memegangi kedua tangannya. Begitupun dengan Psyce yang terengah engah berusaha melepaskan tangannya dari genggaman tangan sang pangeran.
"Kau dalam masalah besar gadis kecil."
Dengan wajah yang masih penuh kesal, ia memukul wajah sang pangeran dengan dahinya membuat pangeran melepaskan kedua tangannya dan memegangi hidungnya. Kesempatan itu tak Psyce sia siakan, ia segera mendorong tubuh pangeran hingga ia terbebas.
Psyce kemudian berlari masuk ke dalam hutan untuk melarikan diri ke rumahnya.
"Hei! kembali kau!"
-
-
-
tbc