HAPPY READING AND HAPPY WRITING
Byurr!
Psyce seketika terbangun dari tidurnya kala air itu membasahi wajah dan tubuhnya memaksa agar matanya terbuka.
Matanya menatap sekelilingnya, untuk menjawab pertanyaan dalam kepalanya yang tengah memutar kembali apa yang terjadi padanya tadi malam. Dan kenapa dirinya bisa sampai ada disini.
Seingatnya, ia tertidur di dalam hutan tanpa sempat kembali pulang setelah memberikan potongan daging makanannya pada Winter.
Apa yang terjadi, dimana winter, kenapa ia bisa sudah berada dirumah, siapa yang membawanya, atau apakah dirinya tertidur sembari berjalan. Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dikepalanya.
Plak!
Belum sempat ia sepenuhnya tersadar, tamparan itu begitu keras hingga membuat telinga Psyce berdengung dan tak bisa mendengar apapun.
"Madeleine!"
"Jelaskan apa yang kau maksud dengan ini?!"
"Kau mau meracuniku hah?!"
Ibunya yang berbicara tak dapat ia dengar. Hanya gerakan mulutnya saja yang ia dapat lihat. Tangan ibunya memegang botol racun yang ia temukan di dapur. Sakit akibat tamparan itu masih membuat ia bingung harus bagaimana menjelaskan.
Yang bisa ia lakukan hanya menggelengkan kepalanya sembari mulai menangis sesegukan. Meskipun telinga tak dapat mendengar apa yang dikatakan oleh ibunya tapi ia mengerti apa yang ibunya coba katakan.
Psyce masih belum sepenuhnya dapat mendengar apa yang ibunya katakan. Beberapa detik ia berusaha memfokuskan pendengarannya yang belum juga kunjung membaik. Namun ibunya sudah menamparnya lebih dulu kembali.
Fungsi telinganya kembali, ia bisa mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh ibunya. Psyce tetap menggelengkan kepalanya dengan air mata yang terus keluar. Tangannya menangkup di depan dadanya berusaha memohon agar ibunya mengampuninya.
"Aku juga tak tau kenapa botol itu ada di dapur bu.."
"Aku menemukannya, percayalah bu."
"Aku tak berniat mencampurkannya pada makanan ibu, aku bersumpah."
"Tolong ampuni aku bu.."
"Ibu sakit, tolong hentikan, ibu.."
"Ibu aku tidak memasukannya.."
"Ibu.."
Sebanyak apapun Psyce berteriak, Garreta seakan menulikan telinganya. Ia terus memukul putrinya dengan membabi buta.
"Baru saja kemarin aku berbaik hati padamu, tapi kau berusaha membunuhku Madeleine?!"
"Seharusnya kau mati, seharusnya aku tak menolongmu dan anakmu!"
"Seharusnya kubiarkan saja dirimu di jalan itu.."
"Madeleine.. aku menyesal telah menolongnya!"
Garreta ikut menangis entah karena apa, tangannya berhenti memukuli Psyce yang masih menangis dan meringkuk di atas kasur dengan rambut yang sangat berantakan menutupi wajahnya. Hanya suara isakan tangis anaknya dan dirinya yang terdengar di dalam kamar ini selama beberapa detik, sebelum akhirnya Garreta memilih untuk keluar.
"Seharusnya aku menghabiskan makanan itu"
Brak!
Psyce masih menangis meringkuk diatas kasur setelah beberapa menit ibunya meninggalkannya dengan luka yang kembali ditorehkannya.
Dari semua siksaan yang dirinya dapatkan, mungkin hari inilah yang terburuk. Ibunya bahkan tak melakukan jeda saat ia memukuli tubuhnya dengan tongkat kayu yang biasa ia gunakan. Rasanya bagai tulang di dalam tubuhnya patah.
Suara elang terdengar di tengah tengah suara tangisnya, membuat ia menghentikan suara tangisnya dan mencari sumber suara.
Psyce bangkit dan bangun dari tidurnya. Dengan langkah yang diseret, Psyce keluar dari kamar dan melihat seisi rumah. Burung elang besar berwarna putih bertengger di jendela rumahnya.
"Winter.."
Begitu Psyce hendak menghampiri burung tersebut, winter terbang mengepakan sayapnya seolah meminta Psyce untuk pergi mengikutinya.
Takut takut terjadi sesuatu dengan burung itu, ia segera mempercepat langkahnya ke arah jendela.
"Winter.. kau mau kemana?"
Elang besar itu terbang ke arah hutan. Psyce mengerti, mungkin saja elang itu ingin dirinya mengikutinya.
Ahirnya, ia memaksakan diri untuk berjalan ke dalam hutan ke sungai tempat dirinya dan winter biasanya bertemu.
"Winter.."
Begitu mendengar suara Psyce, elang tersebut terbang mengepakan sayapnya ke arah Psyce, gadis itu mengulurkan tangannya agar burung tersebut bisa bertengger di dekatnya.
"Ada apa kau mencariku?"
"Kau lapar ya?"
"Maaf.. aku tak punya makanan winter"
Tangannya mulai mengelus lembut bulu winter. Elang itu menutup matanya seolah menikmati usapan lembut Psyce di tubuhnya. Tiba tiba sayap elang tersebut membentang dan mengusap pipi Psyce seolah mengetahui apa yang sudah dialami temannya.
Psyce yang terkejut segera menghapus sisa air mata di pipinya.
"Apa kau mengkhawatirkanku winter?"
"Kau burung yang sangat pintar yaa"
"Aku sebenarnya tidak apa apa.."
"Aku hanya.."
"Aku hanya-"
Suara tangisnya kembali terdengar, gadis itu jatuh terduduk dan melipat kakinya untuk menangis diantara lipatan lutut dan tubuhnya. Ia menuntaskan tangisnya yang tadi sempat tertunda.
Psyce masih menangis di depan winter yang hanya diam mengamatinya. Cukup lama gadis itu mengeluarkan air matanya yang seolah tak ada habisnya. Setelah waktu yang lama, akhirnya tangisnya mereda. Sesegukannya masih belum mereda.
Psyce menghapus air matanya dan berganti menatap winter yang masih setia menemaninya. Tangannya bergerak hendak mengelus bulu elang tersebut.
"Jangan-"
"Prajurit! tangkap gadis kecil itu!"
Suara seseorang membuat atensi Psyce teralihkan. Ia segera melihat dimana asal suara tersebut. Seorang bocah laki laki menunggangi kuda dengan beberapa pengawal kerajaan.
Psyce segera menghapus jejak air matanya kasar dan berdiri dari duduknya dengan susah payah.
"Aw- hei! lepaskan aku."
Baru saja ia berdiri, prajurit tersebut sudah memegangi tangannya.
Teriak Psyce berusaha melepaskan pegangan dua prajurit yang memegangi kedua tangannya. Tubuhnya terasa dihancurkan ketika kedua tangan prajurit itu memegangi kedua tangannya dengan keras. Kedua prajurit itu mengabaikan bagaimana penampilan dan kondisi tubuh Psyce.
Anak lelaki itu turun dari kudanya dan berjalan menghampiri Psyce yang terlihat kacau. Ia menatap Psyce dari atas hingga ke bawah, memperhatikan penampilannya.
"Bawa dia."
"Apa ini?! apa salahku?! berhenti, lepaskan aku!"
Psyce di seret untuk dipaksa berjalan mengikuti bocah laki laki di depannya.
"Hei bocah! lepaskan aku!" Psyce berteriak dengan lantang membuat langkahnya terhenti.
Dengan beraninya, Psyce bersikap tak sopan pada orang yang disebut pangeran itu. Yang bisa saja sewaktu waktu, semau pangeran, Psyce dihukumnya karena bertindak tidak sopan.
Kemana perginya Psyce yang tadi menangis karena takut pada ibunya seolah dirinya lemah.
"Nona, sebaiknya jaga ucapanmu karena beliau yang kau panggil adalah penerus kerajaan sekaligus kekaisaran negri ini!"
Salah satu prajurit tersebut mengacungkan pedangnya pada leher Psyce.
"Lalu itu alasan kalian untuk melarangku tau apa yang sebenarnya terjadi?"
Dengan berani dan tak mempedulikan apa yang baru saja dikatakan prajurit itu Psyce berkata lantang mengabaikan pedang yang siap menebas lehernya kapanpun sang pangeran memerintah. Tangan bocah laki laki yang adalah pangeran itu terangkat untuk menghentikan pergerakan prajuritnya.
"Tidak apa apa, jangan menghukumnya karena dia bodoh dan bukan bangsawan."
"Apa?!"
"Yang ku ucapkan memang benar, karena kau tidak memiliki dasar dasar pelajaran yang dimiliki bangsawan,"
"kau hanya rakyat jelata kan?"
"Lalu karena aku rakyat jelata, jadi kau seenaknya begini padaku?"
Psyce semakin menjadi.
"Nona, sudah dua kali anda berbicara tidak sopan pada yang mulia pangeran. Saya memperingatkanmu!"
"Ksatria Hugo"
"Mohon maaf pangeran.."
"Kau sudah mencuri burung elangku, burung elang istana"
"Itulah kesalahanmu anak kecil."
"Siapa yang kau panggil anak kecil?! bocah kecil."
Keduanya menatap sengit satu sama lain, tak ada yang mau mengalah.
"Sudah dua kali kapten pengawalku memberitahumu bahwa aku adalah pangeran yang akan menjadi kaisar, tapi kau tidak memiliki rasa hormat sedikitpun."
"Bagaimana rakyat akan mencintai calon raja mereka jika sikapnya saja sangat arogan sejak kecil."
"Seret dia"
"Baik yang mulia"
"Hei tunggu, aku tidak bersalah! aku tidak mencuri burung milikmu!"
seru Psyce tanpa bisa berbuat apapun.
Pangeran itu tanpa mempedulikan apa yang dikatakan oleh Psyce dan menyeret gadis itu untuk mengikutinya.
----------
Dan berakhirlah dirinya disini, di dalam penjara ruang bawah tanah dan menjerit terus menjerit kepada seseorang untuk minta dilepaskan.
"Tolong.."
"Tolong lepaskan aku!"
"Aku tidak bersalah.."
"Lepaskan aku!"
"Paman penjaga! tolong lepaskan aku!"
"Nona sebaiknya diam!"
"Bagaimana bisa aku diam sementara aku tidak bersalah dan dikurung disini."
"Dasar pangeran sialan!"
Ctas!
Psyce seketika diam dan tenang dalam penjaranya setelah penjaga memecut lantai dengan cambuk yang ia pegang.
-
-
-
tbc