HAPPY READING AND HAPPY WRITING
Seorang anak perempuan di tengah hutan tengah mengejar kupu kupu yang terbang ke arah hutan. Pakaian yang sudah tak layak dipakai membungkus tubuh kecilnya. Kulitnya yang putih tertutupi dengan kotoran yang sudah tak dibersihkan entah berapa lama. Pipinya yang merona alami berwarna hitam karena tanah mengering. Rambut emas pirangnya yang cantik bila terkena sinar mentari bergumpal karena jarang terkena air.
Meskipun begitu, aura kecantikannya masih terpancar lewat senyumannya yang menghiasi wajahnya yang cantik dan manis ketika ia mengejar kupu kupu tersebut. Netra abu-abunya tak melihat kemana arah kakinya berlari untuk mengejar seekor kupu kupu yang terus terbang ke dalam hutan.
"Madeleine!"
"Madeleine!"
Suara seseorang yang memanggilnya membuat gadis kecil itu tersadar dan berhenti mengejar kupu kupu cantik yang sudah terbang entah kemana.
Raut wajahnya seketika ketakutan ketika mendengar suara tersebut memanggilnya. Tanpa membuang waktu lagi, gadis itupun berlari kembali untuk segera menemui seseorang yang memanggilnya.
Seorang wanita dewasa menatap tajam gadis kecil di depannya yang terlihat ketakutan. Gadis kecil tersebut diseretnya wanita itu dengan kasar sampai ke sebuah rumah tua yang kecil di sebuah desa yang sepi tepat di dekat hutan.
Setelah menyeret masuk gadis kecil tersebut, dilepaskannya tangan gadis itu dengan kasar pula. Ia menutup pintu di belakangnya dengan keras membuat gadis kecil terkesiap ketakutan.
"Sudah ku katakan untuk jangan membuat aku mencarimu! Aku sudah baik dengan mengurusmu dan membesarkanmu untuk berguna nantinya!"
"Kalau kau tidak berguna seperti ini lebih baik aku menjualmu kepada para bandit itu!"
"Apa kau akan terus memintaku untuk selalu menyiksamu agar kau mengerti?! hah?!"
Anak 11 tahun mana yang tak takut jika di bentak dan di perlakukan kasar oleh ibunya sendiri. Malangnya gadis kecil ini yang hampir setiap hari menerima perlakuan buruk dari orang yang ia sebut sebagai ibu.
Tangan wanita itu menampar gadis kecil didepannya hingga pipinya lebam dan sudut bibirnya mengeluarkan darah. Gadis kecil hanya bisa terisak pelan menerima perlakuan dari ibunya.
"Bu, kumohon berhenti.. ini sakit bu.. aku berjanji akan menjadi gadis yang berguna untukmu.." Gadis kecil itu memohon sambil menangis terisak memegangi kaki ibunya berharap berhenti memukulinya.
Setelah puas memukul dan menganiaya gadis kecil hingga jatuh meringkuk di lantai, wanita yang dalam keadaan tak sadar karena pengaruh alkohol itu menendang gadis kecil hingga ke pojok ruangan membuat gadis kecil terbatuk dan mengeluarkan darah.
"Haaah... dasar! Madeleine, jalang sialan! selalu membuatku repot!"
Garreta jatuh tertidur di atas kasurnya tak sadarkan diri karena mabuk hebat setelah melalui malam dengan seorang pria yang ia layani.
Madeleine kecil menangis sesegukan di pojok rumahnya dengan merasakan sekujur tubuhnya yang terasa perih luar biasa akibat perlakuan ibunya.
Ia merangkak pelan untuk berdiri dan melihat ke atas meja untuk mencari makanan sisa atau basi yang hendak ia makan. Perutnya bahkan tak terisi sejak dua hari yang lalu membuat rasa perih bertambah di bagian dalam tubuhnya.
Setelah menatap meja yang tak berisi apapun, ia berjalan dengan susah payah keluar rumahnya. Hari semakin terik, ia berjalan kembali masuk ke dalam hutan untuk menuju ke arah sungai yang biasa ia kunjungi.
Suara gemericik air yang mengalir mulai terdengar. Langkah kakinya yang terseok seok ia paksakan agar lebih cepat sampai ke tepi sungai.
Begitu ia sudah berada di tepi sungai, ia meminum air yang jernih itu dengan segera untuk meredakan rasa laparnya. Ia sampai terbatuk karena terburu buru menikmati air sungai tersebut.
Gadis kecil itu menatap pantulan wajahnya melalui air sungai yang jernih tersebut. Wajahnya penuh dengan luka lebam dan bekas tanah yang mengering. Segera ia membasuh wajahnya untuk menghilangkan tanah yang mengering di wajahnya.
Ia berbaring di sisi sungai beralaskan rumput hijau yang bersih. Luka yang ia rasakan masih terasa perih. Bahkan saat dirinya bergerak sedikit saja, luka tersebut membuat rasa sakitnya bertambah.
Matanya menatap langit biru yang terlihat indah diatasnya. Mimpinya untuk memiliki kehidupan yang lebih baik itu apakah terlalu tinggi seperti langit yang tengah ia tatap?
Dirinya tak tahu menahu siapa ayahnya, siapa dirinya, dan bahkan meragukan apa orang yang selalu menganiaya dirinya adalah benar ibunya atau bukan. Yang ia tahu hanyalah namanya adalah Madeleine Psyce.
Dadanya terasa sesak, luka ditubuhnya bahkan terasa lebih baik dibandingkan dadanya yang terasa sesak setiap kali ibunya memukul tubuhnya. Madeleine kecil memegang kalung yang selama ini dipakainya, memegang erat erat kalung tersebut sambil memejamkan matanya dan mulai terisak pelan.
Tak mengetahui apapun mengenai dirinya adalah rasa sakit terbesar dalam tubuhnya.
Padahal dirinya hanyalah gadis kecil berusia 11 tahun yang hanya mendambakan kasih sayang, tetapi kenapa di usianya kini ia bahkan harus memikirkan apa besok dirinya bisa makan.
----------
Psyce membuka matanya perlahan. Langit sudah berganti warna sejak terakhir ia melihatnya. Matahari sudah tergantikan dengan bulan sabit untuk menghiasi langit malam.
Seekor burung elang besar besar berwarna putih berada tepat disisinya.
"Waahh lucunya..."
Perlahan ia mendekatkan tangannya untuk mengelus elang tersebut.
"Burung yang cantik..."
"Darimana kau berasal?"
Psyce mengelus lembut elang tersebut yang hinggap di tangan kirinya. Senyumnya mengembang hanya karena elang tersebut mau hinggap di tangan kirinya.
Tak seperti yang terlihat, elang ini lebih baik dari yang ia perkirakan. Psyce terus mengelus bulu elang tersebut yang terasa sangat lembut.
Andai ia memiliki sedikit makanan, ia pasti akan memberikan elang ini makanannya. Pasti elang ini kelaparan hingga sampai mencari kemari.
"Maafkan aku elang, aku tak punya makanan untukmu... bahkan untuk diriku sendiri.." gumam Psyce lirih terlihat sedih.
Elang tersebut menatap Psyce bingung, lalu mengepakan sayapnya cepat untuk kembali terbang meninggalkan Payce.
"Hei kau mau kemana elang?" seru Psyce.
Raut wajahnya terlihat semakin bersedih. Sedetik kemudian, ia segera berdiri mengabaikan rasa sakitnya. Raut wajahnya berganti dengan kerutan kecemasan mengingat hari sudah malam.
"Gawat..aku harus segera pulang" gumamnya seorang diri.
Dengan langkah terseok seok ia berjalan untuk kembali ke rumahnya. Ditengah perjalanan pulang, ia mengambil ranting ranting kayu yang ada untuk dibawanya pulang.
Tanpa disadarinya, elang tersebut memperhatikan setiap pergerakan yang dilakukan oleh Psyce.
"Seorang gadis kecil yang rapuh..."
"Tapi menyimpan sesuatu yang besar"
Ucap seseorang yang tengah memperhatikan Psyce yang tengah berjalan ke luar hutan dengan langkah terseok seok. Senyumnya mengembang.
Ditaruhnya kayu tersebut di dapur rumahnya. Psyce melihat sekilas ke kamar ibunya yang masih tertidur membuat hatinya sedikit tenang.
Setelah menyalakan api dan menghangatkan tubuhnya, ia sedikit memasak makanan yang tersisa untuk ibunya makan setelah sadar nanti.
Psyce mengambil botol botol kaca yang berserakan dilantai rumahnya. Kemudian menyapunya hingga bersih agar bisa menjadi tempat yang nyaman untuk dirinya tidur dilantai malam ini.
"Gadis malang.."
"Apa aku bantu sedikit saja?"
-
-
-
tbc