Matahari berada di garis batas paling barat cakrawala. Suasana sore yang khas dirasa, selepas Rumi memutuskan untuk berbaur dengan lingkungan luar. Gadis itu tak pulang ke rumah. Rencananya ia akan mulai mencari kerja paruh waktu. Rumi tak mau menghabiskan hari dengan sia-sia. Tak mudah dapat kerja di kota metropolitan, apa lagi dia belum punya gelar dan nama yang menjamin. Rumi akan lulus bulan depan. Namun, ia butuh uang mulai sekarang.
Toko besar di depannya mencuri perhatian Rumi. Jajanan aneka roti panggang sedikit menggunggah selera untuk menyantap, tetapi Rumi datang bukan untuk menghabiskan uangnya. Dia datang sebab membaca selebaran yang didapatkan olehnya sebelum ini. Informasi di dalam selebaran itu membawanya datang kemari. Berdiri bak orang kikuk, sebab Rumi tak tahu harus memulai dari mana. Ini adalah kali pertama untuk Rumi.
"Aku dengar mereka mencari karyawan berpengalaman." Seseorang menyela lamunan Rumi. Ditatapnya siapa yang baru saja datang. Senyum tipis yang khas, Gilang. Sang kekasih.
"Aku cari kemana-mana, ternyata kamu sudah ada di sini."
Rumi hanya tersenyum. Kembali memandang toko besar di depannya.
"Soal yang aku katakan di makam nenekmu, aku minta maaf." Gilang membuka suaranya. Memimpin pembicaraan dengan Rumi sore ini. "Aku di bawah pengaruh alkohol."
Rumi menatapnya. Dua pasang lensa pekat berwarna identik kini saling bertemu satu sama lain. Rumi diam, bisu dalam ketidakpercayaan. Bahkan kekasihnya datang di pemakaman sang nenek dalam keadaan yang tak pantas. Seharusnya Rumi bisa membentak dan mengatakan bahwa Gilang hanyalah bajingan gila yang terus menempel padanya.
"Sebagai gantinya, aku akan bantu cari pekerjaan. Ada beberapa teman yang—"
"Gilang." Rumi memanggil. Ia memutar tubuhnya. Si mungil ini terus saja memberikan tatapan mata yang sayu, membuat siapapun yang berkontak fisik dengannya akan iba. Tentu saja, siapa pernah mengira kalau Rumi sudah sebatang kara. Tinggal di tengah padatnya Kota Jakarta seorang diri. Harus pandai-pandai memilih jalan agar bisa melanjutkan mimpinya.
Rumi Nathalia, dia sama seperti yang lain. Si gadis muda yang punya segudang impian. Hidupnya hanya bergantung pada satu tujuan, neneknya. Namun tujuan itu sudah tiada sekarang. Rumi hanya hidup sebab ia belum ingin mati dipendam tanah.
"Aku gak butuh belas kasih dari siapapun, bahkan itu dari kamu sekalipun." Ia tersenyum tipis. "Jika punya teman yang punya tempat untuk kerja paruh waktu, cukup kayaknya tempatnya, aku akan datang sendiri."
Gilang menatap Rumi. Gadis ini sama sekali tak menyenangkan untuk Gilang. Gilang hanya menyukai fisiknya saja. Rumi cantik dengan tubuh yang diidamkan banyak perempuan di ibukota. Kulitnya bersih, tak ada luka. Semuanya hampir sempurna. Namun, sayangnya hanya sebatas itu saja. Ia tak bisa diajak bersenang-senang. Apalagi selepas neneknya meninggal dunia.
"Hm, baiklah ...." Gilang hanya mengangguk ringan. Tak mau mendebat. "Kamu mau masuk ke dalam?" Ia menunjuk ke arah pintu masuk. "Mau aku temenin?"
Rumi menggelengkan kepala. "Kamu ada les 'kan? Kamu boleh pergi."
Kecewa! Sedikit. Rumi selalu saja menolak kebaikan kekasihnya. Gilang hanya sebatas laki-laki yang diakui oleh Rumi ketika hatinya sedang baik, Rumi bahkan tak mau berbagi luka dengannya. Alasannya hanya satu, Rumi enggan merepotkan dirinya.
"Kalau gitu aku pulang." Pemuda itu tersenyum. Manggut-manggut menutup kalimatnya. Memulai langkah, selepas Rumi menyetujui kepergian Gilang.
Bukannya tak cinta, Rumi tau semuanya. Gilang berselingkuh dengan teman Rumi sendiri. Satu dua kali seseorang mengirim rekam gambar foto sang kekasih tidur dengan perempuan lain di sebuah hotel. Remaja di Kota Jakarta memang terkadang keras. Kehidupan yang ugal-ugalan seakan menjadi hal yang wajar sekarang ini. Gilang adalah pemuda yang bebas. Uang mendukung semuanya. Gilang adalah anak terakhir dari keluarga konglomerat yang hartanya tak akan pernah habis. Ia tak perlu takut dengan kalimat besok mau makan apa? Bahkan jika Gilang mau, ia bisa membeli toko kue di depannya sekarang juga.
Rumi menarik napasnya dalam-dalam. Selepas pacarnya benar pergi dari hadapannya, Rumi melangkah masuk ke dalam toko. Lonceng kecil berbunyi, pemiliknya adalah Hamba Tuhan. Pohon Natal ada di sudut ruangan, bola-bola kecil berwarna merah dan silver menghias. Lampu kecil berkelap-kelip di sana. Suasana Natal kental di sini. Nata nyaman, setidaknya pemilik toko punya keyakinan untuk menjamin semuanya.
Rumi berjalan ke arah meja kasir. Di sana seorang wanita muda, sedikit tua darinya mengemban tugas yang sedikit sibuk, tetapi untung saja, Rumi datang diwaktu yang tepat. Toko sedang sedikit sepi.
"Permisi ...." Manis nada berucap. Rumi menarik perhatian wanita dengan pakaian seragam yang khas. "Aku melihat selebaran yang membawa informasi bahwa toko ini—"
"Ah, mencari karyawan baru?" Dia menyahut, seakan tahu tujuan Rumi datang kemari tanpa harus gadis itu menjelaskan semuanya.
Rumi mengangguk-angguk. "Masih ada lowongan?" tanyanya dengan sedikit ragu.
"Maaf sekali. Namun, lowongan itu sudah diambil oleh anak SMA juga. Baru kemarin, kamu datang sedikit terlambat."
Bukan rejeki! Itulah kata orang-orang jaman dulu kalau mendapati situasi semacam ini. Tentu saja Rumi kecewa. Toko ini dekat dengan sekolahnya. Jam kerja paruh waktu juga berselang setengah jam dari dia pulang sekolah. Jika Rumi bisa bekerja di sini, maka ia bisa mengatur waktunya dengan baik. Sekolah, lalu pulang mampir bekerja paruh waktu hingga pukul sepuluh malam. Selepasnya ia bisa pulang dengan arah tujuan seperti biasanya. Itu tak akan merepotkan, sebenarnya. Namun, tenyata ini bukan jalan Rumi.
"Gak ada lowongan lagi?" tanya Rumi memastikan. Wanita di depannya menggeleng. "Untuk tahun ini sudah tidak ada. Mungkin tahun depan. Kamu bisa meninggalkan nomor ponsel, jika kami membutuhkan pekerja paruh waktu segera, kami akan menghubungi."
Rumi mengembangkan senyum. Ia tak mau banyak berharap. Namun, tak ada salahnya mencoba. Gadis itu mengambil pena di sisi meja, menyobek kertas dan menuliskan rentetan angka yang dihubungi nanti. "Tolong hubungi aku jika ada lowongan."
Wanita itu tersenyum. "Tentu."
••• Big Man Season 1 •••
Rumi keluar dari toko. Helaan napasnya yang panjang menjadi bukti bahwa ia akan pulang dengan tangan kosong. Tak ada jaminan pekerjaan yang ia genggam sekarang. Rumi harus menelan pil pahit untuk sementara waktu. Sebenarnya ia tak perlu banyak mengkhawatirkan itu. Bibi Nana akan membantunya selama dua bulan ke depan, artinya Rumi masih punya jaminan untuk hidup.
"Hasilnya pasti buruk, Nona!" Warna suara yang berat sedikit serak mengganggu langkah Rumi. Gadis yang baru saja ingin pergi dari toko menoleh. Di tatapnya siapa yang baru saja datang.
Pria itu ....
"Tak mendapatkan posisi kerja paruh waktu di sini?" Ia berjalan semakin dekat. Terus mencoba akrab dengan Rumi.
Ia mengulurkan tangannya. Seakan tahu Rumi bingung dengan kehadirannya. "Antoni, pengawal Mr. Tonny Ayres."
Ah! Sial. Pak tua itu lagi ....
... To be continued ...